Senin, 19 Oktober 2009

Lailatul Qadar


LAILATUL QADAR (cerpen)


Malam ini malam ganjil menjelang akhir bulan ramadhan, seharian tadi aku merayu mama untuk minta sebuah ijin keluar rumah malam ini.
"Mama gak ingin ada apa-apa sama anak gadis mama, malam ini mama sedang halangan, mama gak bisa ngejagain kamu, mbok Sholat Lailatul Qadar-nya diMasjid komplek saja" sarannya memunculkan sanggahku yang tak kalah ampuh.
"Ayolah mah...Ozy kan udah gede, toh gak sendirian kok, jarak Pasar Minggu-Pancoran kan deket..."
"Mama...sebelum mulai shalat Lailatul Qadar disana ada ustadz Jaiz yang terkenal itu, selama ini kan cuma lihat dari tv"
"Pokoknya jgn khawatir, ada Alloh yg ngejagain Ozy..." lanjutku.
"Iya mama ijinin, jaga gamis dan jilbabmu ya sayank..." pesannya.
"Dan juga qalbu...!!! Ozy pasti ingat itu mah..." pesan mama kepada anaknya selalu begitu, dan setiap hari akan berulang jika anak gadisnya keluar rumah.

Senyumku terus berderai ketika mama mengiyakan anaknya keluar rumah malam hari, sebuah restu dari orang tua bukankah doa, doa itu tak hanya membuatku berjalan dengan pasti namun amanahnya menguatkan untuk terus kujaga. Mama memahami yang kulakukan untuk ibadah, namun egonya untuk menjagaku terlalu khawatir. Semoga Alloh memaafkan apa yang terburuk dariku dan dari mama.

Jalanan macet sepanjang apa aku tak tahu, mobil-mobil berjejer hingga tak terlihat kasat mata. Sekedar melepas bosan kemacetan setelah baca doa adzan isya' berkumandang selesai, aku memutar musik yang ada CD Player-ku. Aku menengok kebelakang, mukena, sajadah, tas, cemilan, Mushab kecil, jaket, semua itu aku pastikan lagi dijok belakang mobil. Ini jangan sampai ketinggalan, buku kecil berisi catatan dan berbagai macam pertanyaan telah kusiapkan, ini biasa kugenggam setiap mengikuti pengajian. Kali ini aku tak mau ketinggalan melontarkan pertanyaan kepada Ustadz Jaiz, semoga ada kesempatan untuk mendengar jawabannya langsung.

Tak diduga i-phone ku bergetar, ada telpon masuk mengajak video streaming, rupanya dari Tasya sahabatku.
"Adeuhhhhh Ozy kamu dimana ?" wajah cantiknya yang terbalut jilbab putih terlihat dilayar smartphone-ku.
"Tasyaaaaa...kayanya kamu belum salam deh, tau gak sihhh aku masih kena macet didepan penjual bakso mercon, mobilku gak jalan-jalan dari tadi..." jawabku sekaligus mengarahkan camera i-phoneku pada tulisan besar bakso mercon disebuah warung pinggir jalan.
"Gmana mau jalan, coba kamu lihat deh, para jamaah tumpah ruah dijalanan, mereka semua menyambut datangnya Ustadz Jaiz, subhanAlloh tampan sekali..."
"Udah deh jangan lebay gitu..." sahutku saat tangan kiri Tasya menempel dipipi seolah pesonanya keluar berlebihan.
"Kamu bakal nyesel deh, mending kamu jalan kaki, mobilmu parkir didekat situ aja, disini parkiran udah gak muat...." pikiranku terlintas akan saran Tasya, tak berapa lama orang-orang yang semula berada dalam mobil pada keluar, dari arah belakang orang-orang itu berjalan melewati samping mobilku.
Aku buka kaca jendela "kok pada jalan kaki, memangnya ada apa mas ? " tanyaku pada lelaki berbaju rapi yang sudah terlihat lusuh karena mungkin baru pulang kerja.
"Katanya mobil sudah gak bisa jalan mbak, ada pengajian yang jamaahnya pada duduk ditengah jalan..." ucapnya santai.

Tanpa pikir panjang aku ikuti saran Tasya meniru orang-orang berjalan, mobil pink mungil Honda Jazz berkaca gelap aku tinggal dipinggir jalan, tak lupa membawa bekal yang berada dijok belakang.
Sepanjang jalan orang-orang berlalu lalang dengan antusiasnya, mereka tak bersahabat, tak ada sapa diantaranya, seperti asing dimata, padahal jika aku perhatikan mereka berjalan dengan tujuan yang sama, Masjid Al Munawar Pancoran. Atau mungkin mereka ingin buru-buru melihat dari dekat Ustadz Jaiz seperti Tasya sahabatku.
Diseberang jalan seorang ibu berpakaian serba hitam menggendong gadis kecilnya kesompoyongan lalu jatuh ketika sirine mengaung, orang-orang yang jalan dibelakangnya berusaha menyusul langkah kakinya, ia tersenggol dan telungkup dijalan. Pemandangan yang memilukan, tak ada yang menolong. Apakah ini yang dinamakan dunia yang fana, semua pada buta ketika ada pahala yang ditawarkanNya ada didepan mata tak terlihat, mereka justru berlomba-lomba menuju masjid ingin menyambangi Ustadz Pujaannya.

Ya Alloh tujuanku bukan untuk itu, jauhkan aku dengan dunia yang membutakan ini, aku ingin menjemput Lailatul QadarMu. Aku yang akan menolongnya, terus berlari menyebrang jalan, terlihat ibu itu sangat kesusahan meraih tangan anaknya yang terus menangis, karena orang-orang begitu banyak yang berlari dan berdesakan disekitarnya.
Tiba-tiba kakiku terpelanting hebat karena pijakan tanggul dijalan rupanya rapuh, aku terjatuh, semua yang kubawa terberai dijalanan. Aku mengerang kesakitan, tapi kupikir ibu itu lebih membutuhkan pertolongan. Aku berusaha bangkit untuk meraih dulu Mushabku, aku berhasil menggenggam kembali kitab kebanggaanku.

Hahh...anak itu tak ada, ibu itu masih belum bangun dalam telungkupnya, aku berhasil memeluk tubuhnya.
"Ibu...mari saya bantu..." aku merasakan kakiku terkilir, jalanku pincang jika ingin membopongnya.
"Tolong...tolong...tolong bantu angkat..." teriakanku bagai angin lalu, sirine Masjid dan deru suara klakson menulikan telinga orang-orang. Aku berusaha semampu untuk membawanya kepinggir jalan.
"Tolong dekatkan anak itu kepadaku..." pintanya penuh harap. Telunjuk yang gemetar mengarah pada pojok tembok pinggir jalan tak jauh dariku.
"Anak itu...siapa yang menolongnya...?" batinku tak menyisakan tenagaku untuk istirahat sejenak, aku berjalan kearahnya. Sigadis kecil itu masih terus menangis.
"Malam ini cerah, banyak bintang diangkasa, jika terus menangis, bintang mulai redup mendengar isak tangismu adik cantik..." sapaku.
"...." dia diam.

"Malam ini ibu berbuat kesalahan, barang bawaan ibu terlalu banyak, belum lagi Geyza yang minta gendong..."
"Maksut ibu...?" tanyaku.
"Ibu menghalangi jalan mereka yang ingin menuju Masjid untuk mendengarkan Tausiyah Ustadz Jaiz..." jawabnya.
"Wahai Alloh sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi Maaf, Engkau mencintai pemaafan karena itu berikanlah maaf kepadaku*" tangannya menengadah keatas, aku hanya menatap air mata yang mengalir dipipinya.
* doa yg diajarkan Rasulullah ketika menjumpai Lailatul Qadar (HR. Ibnu Majah).

Malam terus melanjutkan ceritanya.

*****

Suasana depan Masjid Al Munawar Pancoran begitu riuh ketika sebuah mobil caravan panjang terbuka pintu otomatisnya, keluarlah seorang berjubah putih menyengirai senyum yang menawan. Tangannya yang halus siap menjadi rebutan para jamaah yang berjubel sedari tadi menunggunya keluar untuk mencium. Mungkin itu salah satu yang membedakan antara orang semakin tinggi tingkat ilmu agama dengan ilmu dunia. Begitu dihormati layaknya panutan urusan akhirat.

Wangi semerbak parfum bunga keluar dari pesonanya, dia berjalan begitu pelan memberi kesempatan khalayak ramai untuk menatapnya lebih dekat.
"Ustadz...ustadz...ustadz.
.." teriak banyak orang dari berbagai penjuru, beliau hanya senyum dan menangkupkan kedua telapak tangannya, santun.
"Jamaah Rahimakumullah...beri kami jalan..." Ustadz itu bicara sepatah kata. Kontan jamaah yang berada tak jauh darinya, melebar memberi jalan.

Dikejauhan namun masih dilingkungan Masjid....

Seorang gadis cantik berusaha jinjit diantara kerumunan jamaah yang jauh lebih tinggi darinya. Dia menyiagakan kamera handphone untuk terus menyala, agar tak menyianyiakan momen yang ia inginkan.
"Aku harus dapat gambar pak Ustadz dari dekat, agar Ozy percaya dengan apa yang aku katakan..." batinnya.
"Permisi bang...bukan mahram nih..." ucapnya ceria.

Malam terus menyajikan bintang bersinar...

*****

Aku berjalan bergandengan dengan bunda Geyza. Dia tak menyebutkan nama aslinya, ibu itu lebih suka dipanggil bunda Geyza, kami kembali pulih setelah tadi istirahat cukup lama. Semua barang bawaanku sudah terkumpul, kembali ku periksa. Mukena, sajadah, tas, cemilan, Mushab kecil, jaket sudah kembali dalam genggaman.

"Ada yang kurang...???!!!" teriakku spontan.
"Fauziah...apakah sebuah buku yang kau cari ?" tangan Bunda Geyza menyodorkan buku, ternyata tidak salah itu buku catatanku.
"Terima kasih, bu..." ucapku.
"Iya...ayo jalan lagi..." ajaknya.
"Sebentar bu, ada yang tidak wajar dengan bukuku...".
Aku membaca kembali catatan yang tadi siang kutulis dikamar, satu pertanyaan yang dibawahnya ada jawabannya.
Perbedaan waktu atau jam dengan negara lain tentang turunnya Lailatul Qadar, karena pernah Rasul bersabda Lailatul Qadar adalah malam yg cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan lemah (HR. Ibnu Khuzaimah).
Aku lanjutkan membaca sebuah jawaban yang cukup panjang.
Lailatul Qadar merupakan rahasia Alloh, untuk itu dianjurkan agar setiap muslim mencarinya disepuluh malam terakhir, sabda Rasul "carilah dia pada sepuluh malam terakhir dimalam-malam ganjil" (HR. Bukhori Muslim). Malam-malam ganjil yang dimaksut dalam hadits diatas adalah malam ke 21, 23, 25, 27, dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara maka malam-malam ganjil dibeberapa negara menjadi malam-malam genap disebagian negara lain, sehingga untuk lebih berhati-hati maka carilah Lailatul Qadar disetiap malam pada sepuluh malam terakhir.

Karena tidak ada yang mengetahui kapan jatuhnya Lailatul Qadar itu kecuali Alloh, maka cara yang terbaik untuk menggapainya adalah beri'tikaf disepuluh malam terakhir, Rasulullah dan sahabat pernah melakukan itu.

Semoga bermanfaat jawabannya.

Aku membalik kertas berikutnya...

InsyaAlloh lain kali aku akan menjawab semua pertanyaan yang ada didalam buku ini, aku berhutang budi padamu, sejak kau mengenalkanku dengan Ustadz Mukhlis, ilmuku semakin bertambah.
Aku tak bisa menemui malam ini.
Aku harus pergi secepatnya, ada pesan singkat yang datang dari pak Karman penjual nasi goreng, coba diingat-ingat tempat kita pertama kali berjumpa. Dia yang memberi berkah untukku dan untukmu ketika Indonesia bersholawat.
Dia sedang operasi gagal ginjal, mohon doanya.

Mataku mengalir butiran air, menetes hingga merubah raut mukaku untuk bersedih.

"As alullahal 'adzima rabbal'arsyil 'adzim ayyasy fiyak...Aku mohon kpd Alloh yg Maha Mulia pemilik Arasy Yang Agung, agar Dia menyembuhkan" batinku dalam hati.

Masih seperti dua hari setelah kita kenal, mengapa nomorku tetap tak bisa dihubungi, kali ini aku berikan jawaban atas pertanyaanmu, SUARAMU ADALAH AURATMU, maka...jaga itu Fauziah, gadis cantik calon penghuni surga.

Salam, afa-

Buku itu segera kututup, aku dekap bersama Mushab, serasa ada yang hilang dalam hatiku. Apakah itu yang dinamakan ego, ketika keyakinanku kembali dalam sukma, aku merasakan Mushab itu menghangatkanku. Ya Alloh aku bersujud dalam malam-malammu, jaga pak Karman dan afa, jika mereka tak sempurna maka apalah aku ini.

"Fauziah...ala bidzikrillah tathmainnul qulub..." tangisku dalam batin.

-pipowae-
"beristighfarlah...selagi kau masih hidup"