Senin, 18 Mei 2009

Senja diKota Sinjai-2


"Bangunin ferdi, crot"
"Sssstttt...jgn berisik, gw kerjain dia dl" tangan kanannya pegang cabe hijau yang sudah dipangkas ujungnya, tak habis pikir jika Acrot memasukkan cabe itu ke mulut ferdi, aku gak bisa membayangkan bagaimana jika ia terbangun mencari pemadam kebakaran dipedalaman Pompanua yang jauh dari keramaian kota, aku hanya tertawa dalam hati.

Setelah kejadian Rinjani kami bekerja diPompanua, sudah dua hari kami berada disini, tak ada tempat bermalam karena jauh dengan perkampungan, kami memang tidak berniat utk mencari penginapan, kami sudah terbiasa tidur beralaskan kardus sisa dan beratapkan langit, nyamuk dan jangkrik adalah sahabat kami jika malam menjelang, dinginnya angin malam dan berisiknya suara-suara aneh ditempat asing itu hal lumrah (jawa : wajar), pekerjaan cepat selesai yang lebih kami pikirkan, karena lokasi selanjutnya sudah menunggu, ya...orang-orang intelek biasa menyebutnya profesional, kami tak tahu kita bertiga disebutnya apa, karena karyawan rendahan seperti kami yang dipikirkan hanya uang, semakin cepat menyelesaikan banyak lokasi semakin banyak kita mendapatkan uang. Dalam pekerjaan kami hanya ada kerja sama, standar tim untuk jenis pekerjaan kami adalah 4 orang, semenjak Jayus sakit diMakassar kami hanya bertiga mengerjakan setiap lokasinya, kebetulan yang kami kerjakan hanya instalasi penambahan antenna di setiap BTS. Base Transceiver Station berfungsi sebagai interkoneksi antara infra struktur sistem selular dengan Out Station. BTS harus selalu memonitor Out Station yang masuk ataupun yang keluar dari sel BTS tersebut. Luas jangkauan dari BTS sangat dipengaruhi oleh lingkungan, antara lain topografi dan gedung tinggi. BTS sangat berperan dalam menjaga kualitas GSM, terutama dalam hal frekwensi hoping dan antena diversity.

"Hua...hua...huaaaaaaaa...pedassssss...!!!" teriak Ferdi "Hahahahaaaaa....ngimpi apaan lu???" tawa Acrot tak ada habis-habisnya, celana yang ia pakai hampir melorot saja tak terasa, aku sangat menikmati pekerjaan ini dengan orang-orang seperti mereka. Unik dan lucu.
"Ganggu aja lu, sirik lu ya, gw lagi mimpi bercinta dengan Rinjani..." bela Ferdi sambil mengucek mata lalu tangannya berusaha meraih air mineral dlm botol plastik.
"Fer...kita sudah selesai diPompanua, setelah ini kita kemana lagi?" tanyaku.
"Ok aku laporan dulu sama bos, lokasi ini sudah On Air semalam, sekalian aku tanya kemana lagi setelah Pompanua, kalau aku pinginnya keSinjai, heheheeeee..." jawab Ferdi. Kecantikan gadis Sinjai itu hampir tak terhapus dalam ingatan Ferdi, meskipun selisih satu hari menikmati senja disana, aku dan Rinjani menaburkan kisah roman tanpa sepengatahuan kedua temanku saat itu, seratus persen aku hanya kagum bukan berarti takluk pada gadis yang baru saja kukenal. "Lupakan itu" paksaku dalam angan.

Awan mendung menggelantung dan sedikit air jatuh ketanah bagai jemuran yang baru saja diperas, angin masih semilir dipagi hari yang remang, selama dua hari kami merasakan panas yang luar biasa, benar kata ayah Rinjani, Pompanua sedang merindukan hujan, sudah beberapa bulan ini para petani resah menanti kedatangannya untuk mengguyur tanaman padi. Satu...dua...tiga dan seterusnya aku sempat menghitung tetes air hujan yang membasahi mukaku, selama dua hari pula kami tak mandi, hanya cuci muka diblumbang (jawa : empang) yang airnya sudah berganti warna, untuk buang air saja sudah beruntung.

Aku mengamati perubahan raut wajah dikaca spion mobil, debu meleleh disekitarnya bagai bedak perempuan yang tebal terkena air wudhu, aku lusuh hampir tak mengenali sendiri siapa aku, Acrot dan Ferdi juga lusuh namun mereka memutuskan untuk segera masuk mobil karena hujan bertambah deras, aku pandangi lebih seksama wajah jelekku, ternyata...aku berkumis.

"gantian lu Fer yang nyetir" pintaku.
"Jangan komplain kalau nyasar, aku belum tahu jalan kesana" jawabnya.
"Itu dia patoknya, 73km lg ke Bulukumba" celetuk Acrot.
Aku ingin menikmati alunan lagu dari Mely, ia begitu setia menemani sepanjang perjalanan kami, kaca mobil masih basah tampak berkilauan cahaya dipinggirannya. Tak terasa kita sudah jauh meninggalkan Pompanua untuk berkelana lagi ke lokasi lain, kabupaten Bulukumba adalah tujuan selanjutnya. Aku sudah sering mendengar kata itu, aku mengenal dari televisi, itupun waktu masih SMP.

"Wah...keren banget dia berkuda" ucap Acrot membangunkan kantukku, Acrot melihat seorang bertubuh kurus berkuda layaknya seorang ksatria, kecepatan kudanya sangat cepat melebihi kecepatan mobil kami, debu disetiap derap kaki kuda mengepul tak beraturan. Lelaki itu bertubuh gelap, selempang kain biru yang dia kenakan menambah kesan gagah jika dipandang. Kami sontak mengikuti arah kemana dia berkuda, tak jauh darinya ada rombongan orang berkuda berada dibelakang, mereka seperti saling mengejar. Ferdi mengendorkan kecepatan mobil, tak berfikir panjang dia memarkirkan mobil dipinggir jalan. Dibalik gundukan tanah ternyata ada hamparan tanah yang luas berkerumun banyak orang disana, mereka saling teriak sorak sorai menyemangati orang berkuda. "Perlombaan yang belum pernah gw saksikan sebelumnya, balapan kuda...!!!" kagum Acrot mengawali kekaguman kami berdua.
"Ayo turun bergabung bersorak-sorak" ajak Ferdi.
"Hmmmm...kayanya seru...!!!" gumamku.

Tegap derap langkah kuda
Menggugah semangat bak pahlawan
Semua bercerita tentang digdaya
Ayo pacu kudanya...!!!

Keringat menyengat bagai bangkai yang tersayat Menyeret keramaian dibalik bukit yang keramat Menorehkan luka bangga kemenangan Satu kuda akan berkata akulah Ksatria

Kita bertiga berjalan kesana, saling berpencar dalam kerumunan masyarakat sekitar tak membuat kami minder atau sungkan. Aku sekilas melihat ferdi diantrian es kelapa muda, tak tahu lagi kemana perginya Acrot, aku masih berjalan mencari tempat duduk untuk menikmati balapan kuda.

"Hore kakek menang...!!!" teriak gadis kecil disebelahku bersamaan dengan selesainya balapan, pemenangnya sudah ditentukan, perlombaan yang mengandalkan kecepatan memang sangat mudah ditentukan, penonton pun bisa memutuskan siapa pemenangnya.

"Sepertinya kita bukan orang sekitar toh?" pertanyaan dari seorang kakek itu pasti tertuju padaku setelah aku memandangnya cukup lama, karena aku ingin sekali berjabat tangan dengan sang juara, ia sambil berjalan kearah gadis kecil itu.
"Iya saya dari Jakarta, mau melanjutkan perjalanan ke Bulukumba, saya menyaksikan bapak berkuda, penasaran...sangat cepat sekali, nama saya Jalu..." ucapku menawarkan jabat tangan padanya. "Nama bapak Waempu, bapak berasal dari Sinjai...". Ramah tamah yang aku dapatkan tak hanya dari seorang kakek, setelah sekian lama saling bicara, gadis kecil itu membawakan dua buah kelapa muda, segar jika diminum saat keringat membasahi tubuhku. "Bapak juga punya anak sedang berada diBulukumba, mamak-nya cucuku ini, dia cerai dengan suaminya, dia seorang wanita yang jago berkuda, dia pergi meninggalkan Sinjai, lalu memutuskan untuk berjualan sayur disana" aku melihat keriputnya mewakili kegalauannya, pasti sudah lama sekali dia merindukan anaknya. "Saya turut prihatin, pak" ucapku dalam hati. "Bulukumba sangat menarik untuk diceritakan..." ucapnya sambil tersenyum merekah menghapus kesedihan terkenang anaknya, dia sangat kesusahan waktu meneguk air kelapa yang tinggal sedikit. "Biarkan bapak bercerita tentang Bulukumba..."

Mitologi penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu'ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya". Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar diSulawesi yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "tanah kongkong", disitulah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batasan wilayah pengaruh kerajaan masing-masing. "Bangkeng Buki", yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompo Battang diklaim oleh pihak kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak kerajaan Bone berkeras mempertahankan Bangkeng Buki sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan. Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulukumupa", yang kemudian pada tingkatan dialeg tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba".

"Kakek...mamak pulang, mamak bawa baju baru untukku" teriak gadis kecil yang tak kutahu namanya, seorang wanita berkerudung menggandeng gadis kecil itu dari kejauhan. Lelaki yang sedang bercerita didepanku sekejap berhenti bersuara, dia palingkan kepala lalu menyipitkan mata dengan harapan jelas memandang dari kejauhan. Semakin dekat mereka berjalan, pak Waempu berdiri menyambut pelukan wanita berkerudung itu, wanita itu menangis dan bersujud dikakinya. Kesimpulanku mengarah pada cerita yang baru saja diucapkan pak Waempu setengah jam yg lalu, pasti dia anaknya yang pergi ke Bulukumba.

Surya bersinar dibalik pepohonan
Tangis dan tawa mengartikan suka
Oh kelana...bawa aku menyibak makna
Seakan esok hari bukan hakku

"Ini Nurani anakku, dan ini Jalu" ucap pak Waempu kepadaku dan kepadanya.
"Lain kali aku akan belajar berkuda dengannya" balasku menyambut jabat tangan Nurani.
"Tidak selihai apa yang diceritakan bapak kepada kak Jalu" jawabnya.
"Mamak...aku juga ingin belajar berkuda dengan mamak dan paman" celetuk gadis kecil itu membuat kami semua tersenyum ramah.

Aku berusaha melihat sekeliling, tak pula aku dapati sosok teman-temanku mendekat, sudah saatnya kami meneruskan perjalanan ke Bulukumba.

"Hai dorrrr..." Ferdi dan Acrot menepuk pundakku tiba-tiba.
"Dapet aja lu, kenalin gw juga dong" Ferdi memulai candanya.
"Jalu...cantik tuh cewe, gak kalah sama Rinjani deh" Acrot menimpali.
"Jangan sampe aku menatapnya lebih dari 3 detik, nafsuku bisa membutakan mataku, dia cantik secantik Rinjani" gumamku dalam hati.

"Sebentar lagi senja tiba, singgahlah dulu digubug kami" ajak pak Waempu kepada kami bertiga.
"Paman...mau kan melihatku memakai baju baru dari mamak, ayo paman kerumahku...!!!" gadis kecil itu merayu ala anak-anak.
Nurani hanya tersenyum manja, ibu muda beranak satu itu canggung menatap mataku.

Kembali ke sinjai, menikmati senja dengan wanita yang berbeda, mungkin akan mengilhami berkelanaku untuk mendapat cerita yang berbeda pula, oh andai Tuhan mengerti aku ingin bermanja dengan Rinjani dan belajar kuda dengan Nurani, Sinjai membuatku termenung dalam harap, bermandikan cahaya bulan dua kali dikota ini, debu segera sirna berganti dengan hiasan pernik-pernik bintang diangkasa.

Senja berlalu dalam galau
Luka yang dulu ada kini berubah canda
Cinta Rinjani membelenggu Nurani
Apakah benar senja masih bisa bersinar dikota ini


-pipowae-
(Berhubung "Jayus" sudah sembuh, cerita ini kupersembahkan untuk "Ferdi" dan "Acrot", semangat...!!!)


Selasa, 12 Mei 2009

Senja diKota Sinjai


Whusssss...kecepatan mobil terus bertambah, semakin penasaran ingin menikmati relax dari kepenatan menyetir, sebentar lagi kita sampai, ucap temanku yg tubuhnya paling tambun diantara kami, sudah berada dalam penantian waktu sangat panjang, perjalanan jauh yang melelahkan, hanya berbekal banyak air mineral dan banyak biskuit didlm mobil kami, 4 jam perjalanan dari makassar sudah terlewati, kami akan menuju daerah yang bernama Pompanua, kota kecil didaerah Sulawesi Selatan, semua tampak biasa aku lihat, ladang subur yang luas menghampar, peternakan kuda disepanjang jalan, rumah-rumah penduduk asli yg sederhana namun tampak anggun dengan banyak tanaman hias dipekarangannya, laki-laki bertelanjang dada membawa beberapa ikat kayu kering dipundaknya, dan yang paling aku suka angin siang semilir menyapaku lewat celah kaca jendela mobil.

"Bagaimana kabar Jayus?" kalimat yg dilontarkan Ferdi temanku paling kurus diantara kami, membuat pikiranku melayang jauh melewati sekian dimensi, maksut nama orang yg ada dlm pertanyaannya sekarang dalam keadaan sakit panas diMakassar, terpaksa kami tinggalkan karena pekerjaan sdh menunggu dikota kecil yang akan kami singgahi nanti. "coba aku telpon pak Andi" nada dering tunggu berdendang lagu dangdut, kami bertiga spontan tertawa sekenanya. "Saya sudah antar mas Jayus ke rumah sakit siang tadi, dia baik baik saja disini, kita sudah sampai toh?" Penjelasan pak Andi cukup menenangkan hati kami bertiga, pak Andi adalah orang asli suku Bugis, sudah lama tinggal dikota Makassar, sudah seperti saudara saja kami dengannya, kami slalu tinggal dirumahnya jika ada pekerjaan dikota itu, Jayus kami pasrahkan dulu perawatan dengannya, aku memutuskan untuk tidak mengajak Jayus bekerja di Pompanua karena panasnya tak kunjung turun pas hari keberangkatan, pak Andi termasuk orang yg sangat perhatian dan sabar, jika duduk berdua dengannya, selalu bercerita masa remajanya tinggal di Sopeng kabupaten Bone, ada cerita lucu yang slalu dia ceritakan berulang-ulang bahkan sampai ia lupa pdhl sudah menceritakan lg pada orang yg sama, waktu itu dia belajar menunggang kuda tak tau mengapa tiba-tiba kuda itu lepas dalam kandangannya, berlari kencang pelan lalu kencang seperti menggoda mpunya, pak Andi remaja terus mengejar tunggang langgang sampai pada keramaian pasar Sopeng, dia kebingungan saat kuda kesayangannya tak kunjung didapati, tengak sana tengok sini hanya banyak orang yg berlalu lalang tak karuan, setelah lelah mencari dan berkeluh, dia pasrah berjalan sempoyongan menahan nyeri kakinya, tak sengaja dilihatnya dipojok toko susu sepasang ekor kuda sedang bercumbu, saling bercanda layaknya manusia.

"Itu kan kudaku" ucapnya kaget "sssstttt...jangan berteriak, mereka saling mengenal, bukan cm mengenal, tp lebih dr sekedar kenal" dari arah yg tak diketahuinya seorang wanita berkerudung berucap. "Saya Devi, pemilik kuda putih, senang berkenalan" singkat kata singkat cerita pak Andi menjelaskan dengan rona malu-malu diwajahnya, ternyata gadis perkenalannya saat itu menjadi pendamping hidupnya sekarang, bahkan sudah dikaruniai satu anak. Setiap selesai cerita dia selalu tersenyum sendiri, geleng-geleng kepala menyadari bahwa jodohnya tak cukup dimengerti dengan kelakuan aneh kudanya, ternyata jodohnya berada kaki kuda, sesuatu yg memberi keberuntungan padanya.

"Jalu...ngelamun apa lu? Jangan sampai meleng, ntar nabrak lagi, gw blm kawin nih" temanku menarik lenganku dengan kencang, karena mobil yg aku setir oleng kekiri, rupanya aku tak sadar kalau sedang melamun.
"Kita istirahat aja crot, didepan ada warung" ajakku.

Warung yang kami singgahi tampak sunyi senyap, terpampang didepan banyak jagung segar, sepertinya baru saja dipetik dari ladang, aku berusaha menengok kedalam tak ada aktifitas yang berarti disana, tak ada suara minyak goreng panas yang gemericik diatas wajan (jawa : penggorengan), tak ada bau sedap nasi yang mengepul jika sedang matang, tak ada suara obrolan sesama manusia, aku mulai curiga.

"Ini warung kemana orangnya y?" Acrot mulai bingung, jawaban dari pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulut yg sama.
"Ada yg gak beres dengan warung ini?" bisikku pada kedua temanku. Langkah pelanku menelusuri dari samping warung, aku melihat dibelakang hanya ladang jagung yang luas, tak ada jalan lain lagi disana. Tapi aku melihat beberapa batang tanaman jagung patah tak sewajarnya, kecurigaanku semakin bertambah.
"fer...ambil besi dongkrak di mobil, kita bertiga jalan agak menjauh dari tanaman jagung yg patah dari arah yang berbeda, menyebar..."
"Crot...bawa belatimu, fer...besi dongkrak itu bekalmu, aku sudah pegang kayu" ucap pelanku.
"Jalu...emang ada apa?"
"Ayo jalan...!!! kita tak punya banyak waktu"

Setelah berjalan sekian puluh meter dari warung, aku mendapati sobekan kain putih, dugaanku tak salah tiba-tiba sekelebat bayangan berlari menjauhiku, justru mendekat kearah ferdi, aku mendengar mereka bertubrukan, ferdi teriak "sapa lu?!"
Kemudian mereka berkelahi hebat disana, mengakibatkan beberapa batang tanaman jagung patah, sosok lelaki berkulit gelap dan berbadan kekar namun tak lebih tinggi dari ferdi sedang bergumul dengan teman akrabku itu, aku berlari menerjang batang jagung yang lebat seperti ilalang besar didepanku, aku tubruk lelaki itu dari belakang, Acrot melempar belatinya, dengan tangan kosong dia kepalkan tangan, lalu tanpa bicara Acrot melayangkan pukulannya tepat diwajahnya, berulang kali Acrot memukulnya dengan puas, tangan dan kakinya sudah terkunci tubuhku, dengan tertatih lelaki itu berusaha bicara "a...a...aku tak jadi memperkosanya, ini uangnya aku kembalikan, le...le...lepas...kan aku...aku hanya petani jagung" darah segar keluar dari mulut dan hidungnya, aku melepaskan tubuh kekarnya, dia sudah tak berkutik ditanah.

"Ambil uang itu, itu uang mamak, mamak sedang sakit keras dirumah" suara kecil wanita menderu dari arah belakang kami, dia hanya mengenakan jarik (jawa : kain tenun khas daerah, ternyata disana ada) berantakan yg berusaha menutup tubuhnya. "biarkan dia pergi, dia pamanku yang tak tahu diuntung" lanjutnya.

Lepas dari kejadian itu, kami bertiga berusaha mengantar gadis malang itu kerumahnya, terpaksa mengorbankan pekerjaan yg sudah menunggu diPompanua, report lapangan bisa diatur lah sama pak bos dijakarta, kami serahkan ferdi ahli perayu.

Selama perjalanan hanya ketakutan yg dirasakan gadis itu, ferdi berusaha menghiburnya, namun ia hanya tersenyum sebentar, kata-kata yg keluar dari mulutnya hanya jawaban singkat dari pertanyaan panjang ferdi, Acrot dan aku cuma tersenyum. Berulang kali ferdi juga menawarkan biskuit dimobil, tapi hanya gelengan kepala yg ia dapatkan, "kasihan lu fer, sampai kapan lu bisa mendapatkan gadis, tampang lu aja seram kaya sandal gunung gw" ejek Acrot. Selama perjalanan hanya obrolan dan tertawa renyah dari kita bertiga saja, tak bersahut gadis lusuh itu.

"Kota Sinjai...!!!" aku membaca batas kota yg tertulis Selamat Datang di Kota Sinjai.
"Iya kak, ini kotaku, kota kelahiranku, itu rumah mamak" ucapnya lirih.

Senja menepi dibukit yang rapuh
Senja menaruh dalam sipit malam
Senja menabur bibit diladang CINTA
Senja dikota Sinjai

Derai tawa menyeruai dalam hening
Derai sumringah menghaturkan manis
Derai benih menuai CINTA
Derai cantik dikota Sinjai

"Ibu sangat berterima kasih pada kalian, anak ibu selamat, setelah ini ibu tidak mengijinkan dia berjualan sendiri di warung, biar bapaknya saja yang jualan disana setelah berladang" wanita itu berucap dengan sangat kesusahan, karena radang yang diderita tak kunjung sembuh.
"Silahkan dimakan jagungnya" lelaki berwajah keriput menawarkan jagung yg ada di piring plastik kepada teman-temanku.
Aku masih menimba sumur untuk mengisi air bekal mobil, badanku sangat lusuh, lebih lusuh dibandingkan dengan gadis yang kami tolong.

"Kakak saya bawakan sendiri, teman-temannya sedang ngobrol dg mamak, ayuk dimakan dulu, kebetulan mamak yg memasaknya, jagungnya masih segar pasti manis jika dimakan seketika" hampir aku tak mengenal gadis yang berkata semenit yg lalu, dia cantik mengenakan kaos putih lengan panjang menambah kesopanannya merayuku.

"Banyak banget, mana mgkn aku bisa habis"
"Kakak harus memakannya"
"Bagaimana kalau kita makan berdua, setuju kan?!"
"Aku malu dan senang jika makan berdua dengan kakak"
"Tak ada salahnya kok..."
"iiiihhhh tangan kakak kotor, biar aku saja yang mengupasnya"

Senja seketika berwarna merah
Senja seketika menghardik jiwa yg hampa
Senja seketika menghiasi rupa yg cantik
Indahnya Senja dikota Sinjai

"Oh ya namaku Rinjani...".

-pipowae-
(cerita ini kupersembahkan untuk Jayus, semoga lekas sembuh)

Bersepeda (misteri)


Pagi ini sangat cerah, cahaya matahari tampak lurus memotong rumah kaca kebunku, fajar tadi sempat sedikit hujan mengguyur halaman rumah, hanya sebagian yg tergenang air, tak perlu lagi aku menyiram tanaman mama sebagai tugas rutin anak kesayangannya, aku mau langsung bersepeda, mulai sekarang aku tak boleh lg manja, tak perlu merepotkan orang lain, tak perlu menunggu distasiun halte cintaku. Sejak putus ma Sutha, aku tak lagi menunggu dia datang menjemputku, seperti orang dungu dibuatnya aku dihalte, pagi-pagi buta sudah berdiri sendirian, ihhhh gak lg deh.

Yah hari ini aku semangat bersepeda ke kantor, seperti semangatku untuk segera bertemu teman sesama bersepeda dijalan nanti. Baju ganti, handuk, sabun cair, peralatan make-up, handphone, semua tertata rapi ditas kecilku. "hmmm...sdh lengkap semua...apalagi y, jgn sampe ada yg ketinggalan..." batinku. "Ups...hampir sj ketinggalan, pembaluttttt...".

"Vita sayang...hari ini kamu dianter papa ya?" teriak mama didapur.
"Bersepeda mah..." Jawabku.
Kembali dari awal aku tak mau merepotkan siapapun, meskipun niat papa tulus karena ingin menjaga anaknya sampai akhir hayatnya aku tetap kekeh BERSEPEDA ke kantor. Aku ingin bebas menggenjot, bebas berkeringat, so pasti bebas berteman dengan siapa saja dijalanan. Aku ingin bercerita hari-hari bersepeda, kejadian setiap kejadian dijalanan membuatku dewasa, itu tujuan utamaku, aku ingin merubah cupetku, aku ingin merubah kekanak-kanakanku.

Setelah pamitan dengan orang tua, aku awali berkelanaku dengan mengikat tali helm sepeda, sip...aku tancap.

Jantungku memacu cepat, keringat mengucur deras tak beraturan. Jarak yg kutempuh masih setengah jam lagi, asap mengepul diseluruh penjuru jalanan kota, jakarta telah diracuni dengan masyarakatnya sendiri, gengsi dan moral tak beradab bercampur untuk mengotori jantung mereka. Aku hanya bersikap ramah kepada siapapun yg memandangku dengan picik, mereka sangat merendahkan kaum yang terbelakang, aku sempat mencemooh pemerintah dengan munculnya program busway, namun bersamaan dengan itu showroom mobil dan motor bermunculan dimana-mana, persyaratan kredit yg ditawarkan sudah seperti beli kartu perdana gsm, sangat mudah aktifnya dengan ketik di hp langsung bisa menikmati obrolan murah, tak berhenti bicara seperti burung beo berkicau.

Apa mereka semua yg berkendara mesin tak mendengar dijauh kedalaman jantungnya berteriak minta tolong. Apa mereka tak berhenti berfikir bahwa dirinya telah menyetorkan uang kepada cukong-cukong lempoh (jawa : cacat) dengan kredit yang bunganya jauh lebih tinggi dari bunga bank, mending berhenti sejenak berfikir merasakan nikmatnya jika hidup di Belanda. Ketertiban berkendara tak sesumpek disini, bersepeda lebih banyak drpd yg berkendara mesin, hidup sehat setiap saat bisa dilakukan disana, olah raga tak perlu diluangkan pada hari libur semata.

Aku berhenti sebentar dijalan layang kalibata, setelah lewati tanjakan yang lumayan tinggi. Alhamdulillah...rasa hausku hilang sesaat, gumamku setelah meneguk air mineral. Menatap kereta api berjalan kencang dari arah pasar minggu menuju kota dari atas membuatku tertantang melihat kebawah.

Tiba tiba...
"Tolong...tolong...tolong saya...!!!" teriak seseorang dari bawah jalan layang, tepatnya dibawahku berdiri, aku melihat kakinya terperosok digubangan tanah dekat rel kereta, dia terluka parah, sepeda motornya terpental jauh darinya, pikiran kecilku menyimpulkan dia tertabrak kereta api listrik yg baru saja lewat. Aku juga melihat banyak orang dibawah, apa mereka tak ada yg berusaha menolong orang itu, kenapa mereka sebagian melanjutkan aktifitasnya, sebagian hanya melihat miris, sebagian terus-terusan membunyikan klakson mobil dan motornya karena bunyi alarm gardu kereta segera menutup kembali gerbangnya. Mengapa tidak ada yg peduli, mengapa tak ada yg ringan tangan, mengapa tak ada yg beraksi, mengapa...mengapa dan mengapa??? Aku bs berbuat banyak JIKA aku berada dibawah, knapa harus ada kata jika untuk menolong orang, knapa tidak ada kata HARUS dalam diriku, walaupun aku seorang gadis aku bisa melakukannya, mengapa semua orang dibawah itu???!!! Bingungku dlm hati, apakah ini yg disebut kehidupan di kota metropolitan, yang semua serba profesionalitas. Semua ada bagian masing-masing untuk melakukan satu hal, apa harus menunggu pak polisi dan ambulance datang menyelematkan org itu dengan opname dirmh sakit, oh...sebenarnya mereka sadar, cobaan Tuhan tidak datang sesuai rencana kita.

"Nona...tolong saya...!!!" Dia sontak memanggil nona dan menatapku.

"Aku harus turun...!!!"
"Kamu mau kemana??" tanya tiba-tiba lelaki yg aku tak tau kapan dia berada disebelahku, dia menatap begitu tajam, aku hanya bisa memandang matanya, karena mulutnya tertutup tabung filter debu dan memakai helm serupa dg helm sepedaku, aku lsg menyimpulkan dia seorang berkendara sepeda seperti diriku.

"Tak perlu kau menolongnya, ingat kau seorang gadis, dan dia seorang berkendara motor, seharusnya dia tahu kapan bisa dan tidaknya menerobos gerbang kereta" ucapnya sambil perlahan membuka penutup tabung penyaring debu dimukanya. Sekarang aku bisa lihat dengan jelas raut wajahnya, dia memang tak lebih tampan dr Sutha, namun lebih istimewa dr mantan pacarku yg brengsek itu.
"Tak ada yg menolong, namanya musibah rahasia Allah, kita harus menolongnya" umpatku.

"Coba lihat kebawah sekarang..." ajaknya.
"Dia menghilang, itu modus penipuan yg terbaru dikota ini, dia pergi bersama dengan sebagian orang yang menolongnya dengan mobil van yg parkir diujung sana, dengan alasan diantar ke rumah sakit terdekat" jari kekarnya menunjuk arah kejauhan dr lokasi kejadian.
"lalu dilain hari ditemukan bangkai korban-korban yang keluarganya tak bisa menebus orang yg menolong td dengan sejumlah uang yg mereka inginkan" penjelasannya sangat tertata.

"Aku berangkat duluan ya, selamat datang di rimba nya jalanan dan menyebarnya kriminalitas...!!!" ucapnya tergesa lalu pergi begitu saja.

"Apa benar ucapan lelaki itu???" batinku, aku pastikan lg melihat kebawah, semuanya macet namun tenang, tak seperti saat kejadian, berjalan seperti biasa, seperti sebelum kejadian.
"Uhhh...knapa aku jd mikir itu, adeuuhhhh cantik kamu bakal terlambat" gumamku seketika.


-pipowae-

MERDEKA?


"Pak Karto datang!!!" Teriak Samsul, temanku yg duduk didekat pintu.

Langkah tegap seorang lelaki setengah baya terdengar dari jarak yg cukup jauh menurutku, suara sepatu mengkilap kecoklatan mengiringinya, dengan mengenakan baju safari yg masih terlihat lusuh seperti belum distrika, rambutnya klimis belah pinggir membuat daya tarik wanita sejamannya tertaksir, tak pula gadis-gadis jaman sekarang, bahkan mencibir. Pernah temanku Lusi bilang "idihhh najis tuh rambut, kebanyakan jely, bentar lagi ratu lalat membawa pasukan utk bangun istana disitu" wkwkwkwkwkkk teman se genk nya berderai tawa.

Pak Karto seorang duda, dia mengabdikan sebagai guru honorer disekolahku baru 3 tahun, namun begitu disegani bila dia sedang mengajar, sorot matanya menyapu seluruh ruangan kelas membuat murid-murid menunduk berlagak membaca dan menulis buku dihadapannya, ciri khasnya setiap selesai pelajaran selalu mengingatkan muridnya dengan pesan moral dan kata-kata bijak, tapi tak satupun tertanam pada anak didiknya, kata-kata itu seolah berlalu seperti bau amis sampah yg selalu lewat kelasku tiba-tiba jika menjelang siang.

Sekolahku terletak tak jauh diantara pasar ikan dan tempat pembuangan sampah, sungguh menyiksa memang tapi begitulah fasilitas yg cocok bagi anak-anak seperti kami. Sekolah Menengah Atas lulus itu sudah cukup, tak ada gairah untuk melanjutkan penggapaian cita-cita yg lebih. Semangat pak Karto mengajar tak seperti semangat kami sbg murid yg belajar, berada ditempat kumuh dan lingkungan lokalisasi murahan itu mengubur angan-angan Sentot Prawirodirjo "kemerdekaan indonesia diiringi dengan kemerdekaan pendidikan".

Sudah empat puluh lima menit pak Karto menjelaskan pelajaran sejarah, dia teriak tegas selama itukah bangsa ini dijajah oleh kompeni, selama itukah kita didera kebodohan, negara yg luasnya tak lebih dari sepertiga pulau jawa bisa membodohi negara kita yg besar.
"Anakku apa yg akan kalian perbuat jika sdh lulus nanti?" Tanyanya.
Semua diam, semua bengong, semua saling melirik.
"Mau jadi buruh cuci, atau tukang ojek, atau bahkan kuli? Kalian sebenarnya bisa berbuat banyak. Nita...berapa jauh kampus Undip darisini?".
Yg ditanya tak langsung jawab, lalu pak Karto melanjutkan "hanya tinggal naik satu kali angkot, kalian bs meneruskan kemerdekaan bangsa ini dengan cita-cita yg besar, memang tak mudah menembus gedung yg megah itu, kompeni berkulit gelap lebih keji dari kompeni kulit putih, mereka menjajah kalian dengan melambungkan biaya sarjana, bapak berharap semangat kalian tak hanya seperti semangat caleg-caleg yg gagal, lakukan seperti semangat jendral Sudirman menyingkirkan penjajahan...!!!"

Tak berapa lama pak Karto menutup buku bersampul biru sambil melihat jam yg melingkar ditangannya, sudah saatnya dia meninggalkan pelajaran.

Tiba-tiba sekelebat aku melihat tangan Bagus meremas dada Dina.
"Apaan sih lu???" bela Dina.
"Cantik...ntar malem gw pke lu" balas Bagus.
"Anjritttt...apa lu bilang...bangke lu...!!!"
"Gw punya stok banyak, kita nyimeng bareng-bareng, persetan bangsa ini merdeka, yg penting nih malem kt nikmati indahnya surga..." lanjutnya.
"yukkk...gw ikutan dong" timpal Lastri.

-pipowae-