Senin, 18 Mei 2009

Senja diKota Sinjai-2


"Bangunin ferdi, crot"
"Sssstttt...jgn berisik, gw kerjain dia dl" tangan kanannya pegang cabe hijau yang sudah dipangkas ujungnya, tak habis pikir jika Acrot memasukkan cabe itu ke mulut ferdi, aku gak bisa membayangkan bagaimana jika ia terbangun mencari pemadam kebakaran dipedalaman Pompanua yang jauh dari keramaian kota, aku hanya tertawa dalam hati.

Setelah kejadian Rinjani kami bekerja diPompanua, sudah dua hari kami berada disini, tak ada tempat bermalam karena jauh dengan perkampungan, kami memang tidak berniat utk mencari penginapan, kami sudah terbiasa tidur beralaskan kardus sisa dan beratapkan langit, nyamuk dan jangkrik adalah sahabat kami jika malam menjelang, dinginnya angin malam dan berisiknya suara-suara aneh ditempat asing itu hal lumrah (jawa : wajar), pekerjaan cepat selesai yang lebih kami pikirkan, karena lokasi selanjutnya sudah menunggu, ya...orang-orang intelek biasa menyebutnya profesional, kami tak tahu kita bertiga disebutnya apa, karena karyawan rendahan seperti kami yang dipikirkan hanya uang, semakin cepat menyelesaikan banyak lokasi semakin banyak kita mendapatkan uang. Dalam pekerjaan kami hanya ada kerja sama, standar tim untuk jenis pekerjaan kami adalah 4 orang, semenjak Jayus sakit diMakassar kami hanya bertiga mengerjakan setiap lokasinya, kebetulan yang kami kerjakan hanya instalasi penambahan antenna di setiap BTS. Base Transceiver Station berfungsi sebagai interkoneksi antara infra struktur sistem selular dengan Out Station. BTS harus selalu memonitor Out Station yang masuk ataupun yang keluar dari sel BTS tersebut. Luas jangkauan dari BTS sangat dipengaruhi oleh lingkungan, antara lain topografi dan gedung tinggi. BTS sangat berperan dalam menjaga kualitas GSM, terutama dalam hal frekwensi hoping dan antena diversity.

"Hua...hua...huaaaaaaaa...pedassssss...!!!" teriak Ferdi "Hahahahaaaaa....ngimpi apaan lu???" tawa Acrot tak ada habis-habisnya, celana yang ia pakai hampir melorot saja tak terasa, aku sangat menikmati pekerjaan ini dengan orang-orang seperti mereka. Unik dan lucu.
"Ganggu aja lu, sirik lu ya, gw lagi mimpi bercinta dengan Rinjani..." bela Ferdi sambil mengucek mata lalu tangannya berusaha meraih air mineral dlm botol plastik.
"Fer...kita sudah selesai diPompanua, setelah ini kita kemana lagi?" tanyaku.
"Ok aku laporan dulu sama bos, lokasi ini sudah On Air semalam, sekalian aku tanya kemana lagi setelah Pompanua, kalau aku pinginnya keSinjai, heheheeeee..." jawab Ferdi. Kecantikan gadis Sinjai itu hampir tak terhapus dalam ingatan Ferdi, meskipun selisih satu hari menikmati senja disana, aku dan Rinjani menaburkan kisah roman tanpa sepengatahuan kedua temanku saat itu, seratus persen aku hanya kagum bukan berarti takluk pada gadis yang baru saja kukenal. "Lupakan itu" paksaku dalam angan.

Awan mendung menggelantung dan sedikit air jatuh ketanah bagai jemuran yang baru saja diperas, angin masih semilir dipagi hari yang remang, selama dua hari kami merasakan panas yang luar biasa, benar kata ayah Rinjani, Pompanua sedang merindukan hujan, sudah beberapa bulan ini para petani resah menanti kedatangannya untuk mengguyur tanaman padi. Satu...dua...tiga dan seterusnya aku sempat menghitung tetes air hujan yang membasahi mukaku, selama dua hari pula kami tak mandi, hanya cuci muka diblumbang (jawa : empang) yang airnya sudah berganti warna, untuk buang air saja sudah beruntung.

Aku mengamati perubahan raut wajah dikaca spion mobil, debu meleleh disekitarnya bagai bedak perempuan yang tebal terkena air wudhu, aku lusuh hampir tak mengenali sendiri siapa aku, Acrot dan Ferdi juga lusuh namun mereka memutuskan untuk segera masuk mobil karena hujan bertambah deras, aku pandangi lebih seksama wajah jelekku, ternyata...aku berkumis.

"gantian lu Fer yang nyetir" pintaku.
"Jangan komplain kalau nyasar, aku belum tahu jalan kesana" jawabnya.
"Itu dia patoknya, 73km lg ke Bulukumba" celetuk Acrot.
Aku ingin menikmati alunan lagu dari Mely, ia begitu setia menemani sepanjang perjalanan kami, kaca mobil masih basah tampak berkilauan cahaya dipinggirannya. Tak terasa kita sudah jauh meninggalkan Pompanua untuk berkelana lagi ke lokasi lain, kabupaten Bulukumba adalah tujuan selanjutnya. Aku sudah sering mendengar kata itu, aku mengenal dari televisi, itupun waktu masih SMP.

"Wah...keren banget dia berkuda" ucap Acrot membangunkan kantukku, Acrot melihat seorang bertubuh kurus berkuda layaknya seorang ksatria, kecepatan kudanya sangat cepat melebihi kecepatan mobil kami, debu disetiap derap kaki kuda mengepul tak beraturan. Lelaki itu bertubuh gelap, selempang kain biru yang dia kenakan menambah kesan gagah jika dipandang. Kami sontak mengikuti arah kemana dia berkuda, tak jauh darinya ada rombongan orang berkuda berada dibelakang, mereka seperti saling mengejar. Ferdi mengendorkan kecepatan mobil, tak berfikir panjang dia memarkirkan mobil dipinggir jalan. Dibalik gundukan tanah ternyata ada hamparan tanah yang luas berkerumun banyak orang disana, mereka saling teriak sorak sorai menyemangati orang berkuda. "Perlombaan yang belum pernah gw saksikan sebelumnya, balapan kuda...!!!" kagum Acrot mengawali kekaguman kami berdua.
"Ayo turun bergabung bersorak-sorak" ajak Ferdi.
"Hmmmm...kayanya seru...!!!" gumamku.

Tegap derap langkah kuda
Menggugah semangat bak pahlawan
Semua bercerita tentang digdaya
Ayo pacu kudanya...!!!

Keringat menyengat bagai bangkai yang tersayat Menyeret keramaian dibalik bukit yang keramat Menorehkan luka bangga kemenangan Satu kuda akan berkata akulah Ksatria

Kita bertiga berjalan kesana, saling berpencar dalam kerumunan masyarakat sekitar tak membuat kami minder atau sungkan. Aku sekilas melihat ferdi diantrian es kelapa muda, tak tahu lagi kemana perginya Acrot, aku masih berjalan mencari tempat duduk untuk menikmati balapan kuda.

"Hore kakek menang...!!!" teriak gadis kecil disebelahku bersamaan dengan selesainya balapan, pemenangnya sudah ditentukan, perlombaan yang mengandalkan kecepatan memang sangat mudah ditentukan, penonton pun bisa memutuskan siapa pemenangnya.

"Sepertinya kita bukan orang sekitar toh?" pertanyaan dari seorang kakek itu pasti tertuju padaku setelah aku memandangnya cukup lama, karena aku ingin sekali berjabat tangan dengan sang juara, ia sambil berjalan kearah gadis kecil itu.
"Iya saya dari Jakarta, mau melanjutkan perjalanan ke Bulukumba, saya menyaksikan bapak berkuda, penasaran...sangat cepat sekali, nama saya Jalu..." ucapku menawarkan jabat tangan padanya. "Nama bapak Waempu, bapak berasal dari Sinjai...". Ramah tamah yang aku dapatkan tak hanya dari seorang kakek, setelah sekian lama saling bicara, gadis kecil itu membawakan dua buah kelapa muda, segar jika diminum saat keringat membasahi tubuhku. "Bapak juga punya anak sedang berada diBulukumba, mamak-nya cucuku ini, dia cerai dengan suaminya, dia seorang wanita yang jago berkuda, dia pergi meninggalkan Sinjai, lalu memutuskan untuk berjualan sayur disana" aku melihat keriputnya mewakili kegalauannya, pasti sudah lama sekali dia merindukan anaknya. "Saya turut prihatin, pak" ucapku dalam hati. "Bulukumba sangat menarik untuk diceritakan..." ucapnya sambil tersenyum merekah menghapus kesedihan terkenang anaknya, dia sangat kesusahan waktu meneguk air kelapa yang tinggal sedikit. "Biarkan bapak bercerita tentang Bulukumba..."

Mitologi penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu'ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya". Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar diSulawesi yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "tanah kongkong", disitulah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batasan wilayah pengaruh kerajaan masing-masing. "Bangkeng Buki", yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompo Battang diklaim oleh pihak kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak kerajaan Bone berkeras mempertahankan Bangkeng Buki sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan. Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulukumupa", yang kemudian pada tingkatan dialeg tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba".

"Kakek...mamak pulang, mamak bawa baju baru untukku" teriak gadis kecil yang tak kutahu namanya, seorang wanita berkerudung menggandeng gadis kecil itu dari kejauhan. Lelaki yang sedang bercerita didepanku sekejap berhenti bersuara, dia palingkan kepala lalu menyipitkan mata dengan harapan jelas memandang dari kejauhan. Semakin dekat mereka berjalan, pak Waempu berdiri menyambut pelukan wanita berkerudung itu, wanita itu menangis dan bersujud dikakinya. Kesimpulanku mengarah pada cerita yang baru saja diucapkan pak Waempu setengah jam yg lalu, pasti dia anaknya yang pergi ke Bulukumba.

Surya bersinar dibalik pepohonan
Tangis dan tawa mengartikan suka
Oh kelana...bawa aku menyibak makna
Seakan esok hari bukan hakku

"Ini Nurani anakku, dan ini Jalu" ucap pak Waempu kepadaku dan kepadanya.
"Lain kali aku akan belajar berkuda dengannya" balasku menyambut jabat tangan Nurani.
"Tidak selihai apa yang diceritakan bapak kepada kak Jalu" jawabnya.
"Mamak...aku juga ingin belajar berkuda dengan mamak dan paman" celetuk gadis kecil itu membuat kami semua tersenyum ramah.

Aku berusaha melihat sekeliling, tak pula aku dapati sosok teman-temanku mendekat, sudah saatnya kami meneruskan perjalanan ke Bulukumba.

"Hai dorrrr..." Ferdi dan Acrot menepuk pundakku tiba-tiba.
"Dapet aja lu, kenalin gw juga dong" Ferdi memulai candanya.
"Jalu...cantik tuh cewe, gak kalah sama Rinjani deh" Acrot menimpali.
"Jangan sampe aku menatapnya lebih dari 3 detik, nafsuku bisa membutakan mataku, dia cantik secantik Rinjani" gumamku dalam hati.

"Sebentar lagi senja tiba, singgahlah dulu digubug kami" ajak pak Waempu kepada kami bertiga.
"Paman...mau kan melihatku memakai baju baru dari mamak, ayo paman kerumahku...!!!" gadis kecil itu merayu ala anak-anak.
Nurani hanya tersenyum manja, ibu muda beranak satu itu canggung menatap mataku.

Kembali ke sinjai, menikmati senja dengan wanita yang berbeda, mungkin akan mengilhami berkelanaku untuk mendapat cerita yang berbeda pula, oh andai Tuhan mengerti aku ingin bermanja dengan Rinjani dan belajar kuda dengan Nurani, Sinjai membuatku termenung dalam harap, bermandikan cahaya bulan dua kali dikota ini, debu segera sirna berganti dengan hiasan pernik-pernik bintang diangkasa.

Senja berlalu dalam galau
Luka yang dulu ada kini berubah canda
Cinta Rinjani membelenggu Nurani
Apakah benar senja masih bisa bersinar dikota ini


-pipowae-
(Berhubung "Jayus" sudah sembuh, cerita ini kupersembahkan untuk "Ferdi" dan "Acrot", semangat...!!!)


Tidak ada komentar: