Selasa, 12 Mei 2009

Senja diKota Sinjai


Whusssss...kecepatan mobil terus bertambah, semakin penasaran ingin menikmati relax dari kepenatan menyetir, sebentar lagi kita sampai, ucap temanku yg tubuhnya paling tambun diantara kami, sudah berada dalam penantian waktu sangat panjang, perjalanan jauh yang melelahkan, hanya berbekal banyak air mineral dan banyak biskuit didlm mobil kami, 4 jam perjalanan dari makassar sudah terlewati, kami akan menuju daerah yang bernama Pompanua, kota kecil didaerah Sulawesi Selatan, semua tampak biasa aku lihat, ladang subur yang luas menghampar, peternakan kuda disepanjang jalan, rumah-rumah penduduk asli yg sederhana namun tampak anggun dengan banyak tanaman hias dipekarangannya, laki-laki bertelanjang dada membawa beberapa ikat kayu kering dipundaknya, dan yang paling aku suka angin siang semilir menyapaku lewat celah kaca jendela mobil.

"Bagaimana kabar Jayus?" kalimat yg dilontarkan Ferdi temanku paling kurus diantara kami, membuat pikiranku melayang jauh melewati sekian dimensi, maksut nama orang yg ada dlm pertanyaannya sekarang dalam keadaan sakit panas diMakassar, terpaksa kami tinggalkan karena pekerjaan sdh menunggu dikota kecil yang akan kami singgahi nanti. "coba aku telpon pak Andi" nada dering tunggu berdendang lagu dangdut, kami bertiga spontan tertawa sekenanya. "Saya sudah antar mas Jayus ke rumah sakit siang tadi, dia baik baik saja disini, kita sudah sampai toh?" Penjelasan pak Andi cukup menenangkan hati kami bertiga, pak Andi adalah orang asli suku Bugis, sudah lama tinggal dikota Makassar, sudah seperti saudara saja kami dengannya, kami slalu tinggal dirumahnya jika ada pekerjaan dikota itu, Jayus kami pasrahkan dulu perawatan dengannya, aku memutuskan untuk tidak mengajak Jayus bekerja di Pompanua karena panasnya tak kunjung turun pas hari keberangkatan, pak Andi termasuk orang yg sangat perhatian dan sabar, jika duduk berdua dengannya, selalu bercerita masa remajanya tinggal di Sopeng kabupaten Bone, ada cerita lucu yang slalu dia ceritakan berulang-ulang bahkan sampai ia lupa pdhl sudah menceritakan lg pada orang yg sama, waktu itu dia belajar menunggang kuda tak tau mengapa tiba-tiba kuda itu lepas dalam kandangannya, berlari kencang pelan lalu kencang seperti menggoda mpunya, pak Andi remaja terus mengejar tunggang langgang sampai pada keramaian pasar Sopeng, dia kebingungan saat kuda kesayangannya tak kunjung didapati, tengak sana tengok sini hanya banyak orang yg berlalu lalang tak karuan, setelah lelah mencari dan berkeluh, dia pasrah berjalan sempoyongan menahan nyeri kakinya, tak sengaja dilihatnya dipojok toko susu sepasang ekor kuda sedang bercumbu, saling bercanda layaknya manusia.

"Itu kan kudaku" ucapnya kaget "sssstttt...jangan berteriak, mereka saling mengenal, bukan cm mengenal, tp lebih dr sekedar kenal" dari arah yg tak diketahuinya seorang wanita berkerudung berucap. "Saya Devi, pemilik kuda putih, senang berkenalan" singkat kata singkat cerita pak Andi menjelaskan dengan rona malu-malu diwajahnya, ternyata gadis perkenalannya saat itu menjadi pendamping hidupnya sekarang, bahkan sudah dikaruniai satu anak. Setiap selesai cerita dia selalu tersenyum sendiri, geleng-geleng kepala menyadari bahwa jodohnya tak cukup dimengerti dengan kelakuan aneh kudanya, ternyata jodohnya berada kaki kuda, sesuatu yg memberi keberuntungan padanya.

"Jalu...ngelamun apa lu? Jangan sampai meleng, ntar nabrak lagi, gw blm kawin nih" temanku menarik lenganku dengan kencang, karena mobil yg aku setir oleng kekiri, rupanya aku tak sadar kalau sedang melamun.
"Kita istirahat aja crot, didepan ada warung" ajakku.

Warung yang kami singgahi tampak sunyi senyap, terpampang didepan banyak jagung segar, sepertinya baru saja dipetik dari ladang, aku berusaha menengok kedalam tak ada aktifitas yang berarti disana, tak ada suara minyak goreng panas yang gemericik diatas wajan (jawa : penggorengan), tak ada bau sedap nasi yang mengepul jika sedang matang, tak ada suara obrolan sesama manusia, aku mulai curiga.

"Ini warung kemana orangnya y?" Acrot mulai bingung, jawaban dari pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulut yg sama.
"Ada yg gak beres dengan warung ini?" bisikku pada kedua temanku. Langkah pelanku menelusuri dari samping warung, aku melihat dibelakang hanya ladang jagung yang luas, tak ada jalan lain lagi disana. Tapi aku melihat beberapa batang tanaman jagung patah tak sewajarnya, kecurigaanku semakin bertambah.
"fer...ambil besi dongkrak di mobil, kita bertiga jalan agak menjauh dari tanaman jagung yg patah dari arah yang berbeda, menyebar..."
"Crot...bawa belatimu, fer...besi dongkrak itu bekalmu, aku sudah pegang kayu" ucap pelanku.
"Jalu...emang ada apa?"
"Ayo jalan...!!! kita tak punya banyak waktu"

Setelah berjalan sekian puluh meter dari warung, aku mendapati sobekan kain putih, dugaanku tak salah tiba-tiba sekelebat bayangan berlari menjauhiku, justru mendekat kearah ferdi, aku mendengar mereka bertubrukan, ferdi teriak "sapa lu?!"
Kemudian mereka berkelahi hebat disana, mengakibatkan beberapa batang tanaman jagung patah, sosok lelaki berkulit gelap dan berbadan kekar namun tak lebih tinggi dari ferdi sedang bergumul dengan teman akrabku itu, aku berlari menerjang batang jagung yang lebat seperti ilalang besar didepanku, aku tubruk lelaki itu dari belakang, Acrot melempar belatinya, dengan tangan kosong dia kepalkan tangan, lalu tanpa bicara Acrot melayangkan pukulannya tepat diwajahnya, berulang kali Acrot memukulnya dengan puas, tangan dan kakinya sudah terkunci tubuhku, dengan tertatih lelaki itu berusaha bicara "a...a...aku tak jadi memperkosanya, ini uangnya aku kembalikan, le...le...lepas...kan aku...aku hanya petani jagung" darah segar keluar dari mulut dan hidungnya, aku melepaskan tubuh kekarnya, dia sudah tak berkutik ditanah.

"Ambil uang itu, itu uang mamak, mamak sedang sakit keras dirumah" suara kecil wanita menderu dari arah belakang kami, dia hanya mengenakan jarik (jawa : kain tenun khas daerah, ternyata disana ada) berantakan yg berusaha menutup tubuhnya. "biarkan dia pergi, dia pamanku yang tak tahu diuntung" lanjutnya.

Lepas dari kejadian itu, kami bertiga berusaha mengantar gadis malang itu kerumahnya, terpaksa mengorbankan pekerjaan yg sudah menunggu diPompanua, report lapangan bisa diatur lah sama pak bos dijakarta, kami serahkan ferdi ahli perayu.

Selama perjalanan hanya ketakutan yg dirasakan gadis itu, ferdi berusaha menghiburnya, namun ia hanya tersenyum sebentar, kata-kata yg keluar dari mulutnya hanya jawaban singkat dari pertanyaan panjang ferdi, Acrot dan aku cuma tersenyum. Berulang kali ferdi juga menawarkan biskuit dimobil, tapi hanya gelengan kepala yg ia dapatkan, "kasihan lu fer, sampai kapan lu bisa mendapatkan gadis, tampang lu aja seram kaya sandal gunung gw" ejek Acrot. Selama perjalanan hanya obrolan dan tertawa renyah dari kita bertiga saja, tak bersahut gadis lusuh itu.

"Kota Sinjai...!!!" aku membaca batas kota yg tertulis Selamat Datang di Kota Sinjai.
"Iya kak, ini kotaku, kota kelahiranku, itu rumah mamak" ucapnya lirih.

Senja menepi dibukit yang rapuh
Senja menaruh dalam sipit malam
Senja menabur bibit diladang CINTA
Senja dikota Sinjai

Derai tawa menyeruai dalam hening
Derai sumringah menghaturkan manis
Derai benih menuai CINTA
Derai cantik dikota Sinjai

"Ibu sangat berterima kasih pada kalian, anak ibu selamat, setelah ini ibu tidak mengijinkan dia berjualan sendiri di warung, biar bapaknya saja yang jualan disana setelah berladang" wanita itu berucap dengan sangat kesusahan, karena radang yang diderita tak kunjung sembuh.
"Silahkan dimakan jagungnya" lelaki berwajah keriput menawarkan jagung yg ada di piring plastik kepada teman-temanku.
Aku masih menimba sumur untuk mengisi air bekal mobil, badanku sangat lusuh, lebih lusuh dibandingkan dengan gadis yang kami tolong.

"Kakak saya bawakan sendiri, teman-temannya sedang ngobrol dg mamak, ayuk dimakan dulu, kebetulan mamak yg memasaknya, jagungnya masih segar pasti manis jika dimakan seketika" hampir aku tak mengenal gadis yang berkata semenit yg lalu, dia cantik mengenakan kaos putih lengan panjang menambah kesopanannya merayuku.

"Banyak banget, mana mgkn aku bisa habis"
"Kakak harus memakannya"
"Bagaimana kalau kita makan berdua, setuju kan?!"
"Aku malu dan senang jika makan berdua dengan kakak"
"Tak ada salahnya kok..."
"iiiihhhh tangan kakak kotor, biar aku saja yang mengupasnya"

Senja seketika berwarna merah
Senja seketika menghardik jiwa yg hampa
Senja seketika menghiasi rupa yg cantik
Indahnya Senja dikota Sinjai

"Oh ya namaku Rinjani...".

-pipowae-
(cerita ini kupersembahkan untuk Jayus, semoga lekas sembuh)

Tidak ada komentar: