Rabu, 30 Desember 2009

Akupun Korupsi


"Blok M...Blok M...Blok M..." teriak lelaki lusuh berbadan kurus, kondektur bis patas Grogol-BlokM yang mau masuk tol itu memperlambat laju mobil dibelakangnya. Dia turun mengajak calon penumpang yang berdiri dibelakang pembatas jalan.
"Ning Blok M...gak bayar juga papa ning. Awas pantatnya ketinggalan tuh...ntar diambil ama si gondrong" ucap ngawurnya membuat sewot wanita yang sedari tadi berdiri tengak-tengok menunggu bis kebanggannya.
"Kamprettt lu...mane utang lu, rokok seceng aje 2 minggu, kemarin elu dicari bang jampang katanya lu bawa kabur istrinya" jawab lelaki bertopi atribut partai sambil menggendong beberapa rokok, permen dan minuman ringan diperutnya, sisa kardus yang sudah tak terpakai sebagai tempatnya.
"Istri apaan, entu jablai yang nglorotin duit setoran, masa sejam nyamain setoran mikrolet, dua jam yang tersisa gue utang, pasti bang jampang mau nagih duit istrinya" obrolan jalanan terkadang membuatku terhibur, tak berapa lama sang kondektur lompat kedalam bis, melajulah besi berjalan yang sudah aus itu, mengeluarkan asap racun hingga menghiasi panasnya jalanan ibukota.

Dasir, Heru dan aku kebagian tempat duduk, biskota yang kita tumpangi tidak terlalu sesak, hanya sebagian saja yang berdiri, mungkin karena ini hari libur, Natal 25 Des 2009. Heru sibuk dengan telepon genggam barunya, temanku yang satu itu baru saja diterima CPNS diDepartemen Perdagangan, sebagai luapan bahagia dia memintaku untuk menemaninya ke Roxy, tabungan semasa kuliah dihabiskan untuk merayakannya.
"Anjrittt tuh cewe terbuat dari apa? Aku harus bisa mendapatkannya." kagumnya sejam yang lalu dilantai bawah Roxy. Heru sejak mengikuti test CPNS tak pernah keluar dari tempat kos-ku, begitu namanya muncul dikoran dengan status diterima, dia begitu girang dan berjanji mentraktirku dan Dasir. Tapi kebahagiannya tak menjalar menyelimuti rasa kecewaku dan kecewa Dasir, seandainya saja dia tak kepincut gadis SPG HP Titan mungkin perjalanan pulang ini tak terasa lapar. Uang tinggal segitu hanya untuk mendapatkan nomor telpon SPG HP.
"Yahhhh kalian jangan lemes gitu dong, aku jadi gak enak nih..." ucap Heru.
"Gimana gak lemes, kalau tau tabunganmu cuma 300rb aku milih gak ikut. Ini jakarta men..." ucap kesal Dasir, bibirnya tak ketinggalan memelas sebagai luapan kecewanya, njudir (jawa : cemberut).
"Habis mbak Lina tadi mau ngasih nomor HP, tapi syaratnya harus beli HPnya, ya terpaksa kalian bersabar dulu soal traktirannya" ngeles Heru.
"Udah...udah...udah...dari
pada laper mending kita dengerin musik seniman jalanan" ajakku.
Jika semua seniman jalanan seperti kedua lelaki yang berdiri menenteng gitar didepanku dan sang wanita berdiri dekat sopir, mungkin jakarta adem. Mereka menyapa para penumpang dengan sapa yang santun, mengajak penumpang merenung tentang gejolak negara ini, dengan banyak kritikan yang ditujukan pemerintahan saat ini bukan berarti rakyat tak menyukai pemimpinnya, baik pemimpin tingkat daerah maupun pusat, dari sekelas pak RT hingga ke pak presiden. Mereka dipilih untuk melaksanakan amanat yang amat berat, jika kasat mata rakyat tak melihat mereka bertindak tak sesuai amanat masih ada malaikat dan juga Tuhan yang akan mencatat.

Sebuah lagu "Sambutlah" yang dipopulerkan Denada bersenandung indah dibawakan seniman jalanan, wanita itu menyanyi dengan bebas dan lepas, mungkin kerasnya kehidupan jakarta yang membuatnya selalu mencari kepenatan himpitan kebutuhan sehari-hari, saat menyanyilah sebagai obat pelipur lara perutnya yang kosong.
"Kamu mau kemana, lih?" tanya Dasir disampingku, dia terbangun dari kantuknya sesaat tubuhku bergerak untuk berdiri.
"Aku kedepan dulu, aku lupa turunnya" jawabku.
"Okelah kalau begitu" Dasir kembali tidur.
Aku berjalan kedepan untuk melihat sejauh mana perjalanan, gedung MPR Senayan sudah terlihat disebelah kanan pandanganku. Rupanya masih jauh gedung BEJ.

"Korupsi Adalah Pekerjaan?" ucapku setelah membaca buku yang ditenteng gadis berbaju ungu yang berdiri disebelahku, aku sedikit heran dengan judulnya, hingga membuatku menatap buku itu tak berkedip.
"Lucu juga judulnya, pulang kuliah mbak?"
"Iya..." jawabnya.
"Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari koruptor?"
"Owh kamu pasti membaca buku ini ya, mau baca?. Pekerjaan sebagai koruptor itu tidak mudah, apalagi untuk mencuri uang rakyat, terlebih dahulu penguasa harus mengimingi-ngimingi dengan janji surga. Dia harus lantang berteriak akan memberantas hangus para koruptor, mungkin jika ditulis didalam buku diaryku ungkapan itu tak muat untuk menyalinnya" jawabnya.
"Heheee betul juga ya..." timpalku.
"Jika kita ingin menjadi koruptor hebat, kita harus pandai memainkan sebuah teater, ada sutradara dan tokoh, dan rakyat hanya boleh menangis setelah melihat ending yang menggembirakan bagi koruptor dan rekan" lanjutnya menjelaskan.
"Itu ya materi yang ada didalamnya? Kalau menurutku para koruptor itu ada karena munculnya kesempatan, mereka biasanya memanfaatkan kelemahan birokrasi, oh ya satu lagi kurangnya pemahaman tentang bahayanya diakhirat jika korupsi" ucapku, suara bising biskota menghiasi obrolanku dengannya. Siang itu menjadi obrolan yang mengasyikkan tentang topik yang kita dapat, dia sangat pintar memaparkan opininya. Sesekali aku melihat Dasir dan Heru, kedua temanku itu masih konsentrasi dengan aktifitasnya. Heru masih sibuk dengan HP barunya, dan Dasir masih menikmati kantuknya.

"Materi didalamnya banyak sekali yang menarik, sebagian ditulis oleh temanku Arif Hidayat" suara deru biskota yang menyurutkan pendengaranku darinya.
"Jiwa korup muncul tidak hanya dikalangan pejabat atau orang berkuasa saja, tapi juga muncul dikalangan masyarakat juga, bahkan masyarakat kalangan bawah" timpalnya kembali. Gadis berkulit sedikit gelap itu menata rambutnya yang tersapu angin, tangan kirinya masih memegang erat pegangan besi dekat jendela kaca.
"Betul banget, bahkan terkadang masyarakatlah yang menjadi sumber aparat korup, seperti contohnya pembuatan ktp ataupun sim. Masyarakat inginnya pengurusan yang cepat dengan jalur yang tidak tepat" ucapku. Tempatku berdiri tak jauh darinya hanya ada 2 orang lelaki lain yang menemani kita berdiri, aku juga bergelantungan layaknya mereka. Sepertinya mereka juga sibuk dengan tujuannya, membiarkan kami berdua membicarakan topik yang sedang memasyarakat, korupsi.

"Lalu bagaimana dengan hukum?" tanyaku.
"Hukum adalah milik yang berkuasa dan berduit. Negara kita ini bahkan akan runtuh jika masyarakatnya terus membanggakan materi dibanding nilai kehidupan yang lain. Rakyat kecil yang tak mempunyai duit hanya akan menjadi korban ketidakadilan" jawabnya lugas. Gadis itu sesekali tersenyum jika mengakhiri pendapatnya, suaranya masih jelas terdengar walaupun klakson berisik biskota membuyarkan obrolan.
"Koruptor bisa mengambil apa saja yang ada didepan kita, bahkan bantuan bencanapun mereka gagahi. Mereka mendirikan panti asuhan dan menanam orang-orang yang mengatasnamakan derma, dan disisi lain mereka mengambil apa yang bisa diambil dari situ. Didalam masjid mereka bisa saja berkhotbah lalu didalam pekerjaan mereka menyunat anggaran. Disaat musim haji tiba mereka berangkat ke Mekkah, setelah pulang mereka menerima amplop sebagai suap, dan masih banyak lagi contoh lainnya" lanjutnya. Aku hanya mengangguk.

"Tapi apa bangsa kita akan hancur secepat itu?" tanyaku.
"Susah untuk menghentikan koruptor, seperti sudah mengakar bahkan sudah menjadi kebiasaan kalau korupsi itu sebuah pekerjaan"
"Tapi kan negara kita kaya, sumber daya alamnya melimpah" timpalku.
"Memang. Tapi kita semua harus sadari, justru kekayaanlah yang membuat diri kita rapuh. Kita terlalu bangga dengan apa yang ada disekitar kita, namun kita tidak mau berfikir untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin menjadi sebuah sumber kehidupan yang layak dan bermoral".
"Iya...kamu benar..."
"Apa yang belum sempat kita pikirkan sudah terpikirkan oleh koruptor. Mereka itu manusia cerdas namun lemah dalam moralitas" lanjutnya.
"Kamu pintar, kuliah dimana?" tanyaku.
"Aku ambil sospol di Trisakti. Oh ya sebentar lagi aku turun" gadis itu sepertinya menyukai luapan opininya. Kami berdua hanya menempatkan sebagai masyarakat yang peduli, simpati, dan juga pengkritik. Tak ada yang tersakiti antara keduanya, dia tersenyum manis ketika memasukkan kembali buku yang semula disodorkan kepadaku.
"Bang...Al Azhar ya" ucapnya pada kondektur yang berjarak 2m dari kami.
"Kamu turun dimana?" tanyanya padaku.
"Sa...ma..." jawabku gugup. Harusnya aku turun diSCBD, berhubung aku ingin sekali menggali pengetahuannya, tidak ada salahnya aku turun di Al Azhar untuk berbincang tukar pengetahuan. Jarak SCBD dan Al Azhar cukup jauh, aku melihat Heru masih asyik otak-atik HP, dia pasti update status Facebook-nya. Oh tidak…Dasir malah tertidur pulas bersandar dibahu Heru.
"Maaf teman-teman...sekali kali aku meninggalkanmu, semoga mereka kembali dijalan yang benar, walaupun sekarang sudah tersesat cukup jauh, heheheee..." batinku.
Tiba-tiba kondektur teriak.
"Al-Azhar...Al-Azhar...Al Azhar..."
"Turun yuk..." ajaknya.
"Ayukkkk..." jawabku sambil mengucapkan terima kasih pada bang sopir.

Kami sudah ditrotoar depan masjid Al-Azhar.
"Obrolan kita tadi mengasyikkan ya..." aku mengawali obrolan kembali setelah turun dari biskota.
"Ehmmm kamu bisa aja, yang pasti kita sebagai kaum pemuda menjaga negara ini jangan sampai bangkrut, kita harus bangkit berantas korupsi, jangan suka menebar tipu muslihat seperti para koruptor" timpalnya.
"Heheee iya betul...dan tidak boleh licik melebihi kelicikan Abunawas dalam cerita 1001 malam" timpalku.
"Cerita 1001 malam?" herannya. Gadis bermata coklat dan berambut sedikit pirang itu menatap mataku cukup lama, sepertinya dia kurang mengerti dengan cerita 1001 malam.
"Itu apa? Aku pernah dengar, cuma gak tau detailnya" tebakkanku tepat, dia pasti belum mengerti cerita 1001 malam.
"Aku punya banyak waktu untuk menceritakannya" aku menyarankan.
"Ehmmmm...bagaimana kalau nanti malam? Aku traktir kamu bakso diBlok S, setuju?" ajaknya.
"Aku lihat HP dulu ya..."
"Kamu ada janji?" tanyanya.
"Ehmmm...nggak sih, cuma pingin nyatat nomor HPmu, heheee...".
"Kamu bisa aja, aku gak suka pria yang bercanda. Namaku Wulan, gak usah dicatat nomor HPku, habis isya' aku tunggu disana"
"Aku Galih, insyaAlloh"
Kami berpisah dipinggir jalan, dia gadis yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, sepertinya berbagai problematika negeri ini adalah makanan wajib baginya. Harusnya kaum muda semua sepertinya, melihat dan berfikir lalu bersikap. Semoga negeri ini tidak melahirkan para korupsi yang handal kedepannya.
"Waduhhhh gawat...aku juga korupsi terhadap teman-temanku, heheheee korupsi kenalan ama Wulan. Aku yakin mereka pasti menyesal" batinku.

Aku tak tahan mau kesitu
Ada gadis Trisakti berbaju ungu
Plis jangan kencang-kencang menusuk hatiku
Karena diriku pasti malu

Asrama tak selalu jadi satu
Tapi boleh dong aku tahu namamu
Jangan biarkan binar matamu terus menggodaku
Karena diriku pasti malu

Cerita 1001 malam aku juga tak tau
Tolong beri hambaMU 1 malam untuk membaginya
Kamulah jelitaku
Selama tak ragu, aku takkan malu untuk menjadi mau

"Arisannya bang..." kondektur belagu tadi menagih uang kepada pemuda yang tertidur pulas dibangku nomor tujuh dari depan.
"..." yang ditagih gelagapan segera bangun.
"Tadi kan udah bayar bang..." pemuda disebelahnya membela temannya.
"Galih kemana Her..."
"Gak tau..."
"Ini udah nyampe mana bang?" tanya Dasir pada kondektur.
"Lha...ini tomang, sebentar lagi ke grogol, kalian dari tadi ditarik sikacamata bilang duitnya dibawa ama yang tidur" Heru reflek membenarkan kacamatanya.
"MasyaAlloh...ini biskota udah balik lagi? Kita berdua tadi udah dari Grogol..."
"Gak bisa, pokoknya bayar dulu" bentak kondektur.
"Asemmmm dikerjain Galih...!!!"