Kamis, 23 Juli 2009

Tolong Katakan Kepadanya-2


Aku tak pernah menduga pertemuan malam itu adalah pertemuan yang akan mengubah seluruh hidupku, aku adalah Maya, kemarin aku masih sebagai Maya yang tak pernah mampu percaya dg mahluk yg bernama cowok, setelah kelakuan bejat Riky menghancurkan mimpiku, mungkin mulai saat ini aku harus merubah penilaianku tentang cowok, aku harus tersenyum manis untuk almarhum ayahku dan juga Ahmad.

Hari ini genap enam bulan terlewati setelah bu Marsinah mengkhitbahku, saat itu dia tersenyum sumringah begitu aku menganggukkan kepala menerima pinangan Ahmad. Bu marsinah salah seorang ibu yang berjuang keras mendidik dan membesarkan kelima anaknya. Ditinggal suami sejak kelima anaknya membutuhkan panutan dan kerja keras seorang ayah, meskipun semangat bu Marsinah selalu tumbuh namun takdir yang bicara kenyataan. Hanya Ahmad yang bisa menyelesaikan sampai STM, yang lain hanya lulus SD, lalu kebanyakan dari mereka memutuskan bekerja dan berkeluarga dikampung.

Ahmad adalah lelaki kedua yang mencoba mengisi hatiku dengan keberanian yang mengesankan. Ada nilai tambah dihatiku untuknya, selain tampan dan agamis, dia juga lucu. Ahmad selama ini tidak berani memandangku terlalu lama, jika aku menyentuh tangannya, dia gemetar lalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Meskipun selama ini dia tidak pernah mengatakan kata Cinta kepadaku, aku yakin dia bukan lelaki yang lemah terhadap wanita. Aku merasakan ada yang gemetar dihatiku "tolong katakan kepadanya...aku mencintanya..." batinku mengiringi senyumku.

"Aduhhhh...anak ibu mau kemana udah cantik begini?" sindir ibu jika aku berbeda dari biasanya, pasti sebentar lagi dijemput Ahmad, itu tebaknya.
"Hari ini hari ulang tahun Jessica, Maya diundang untuk dua orang, rencana mau ajak Ahmad, boleh kan?"
"Iya boleh, hati-hati ya nak..." pinta ibu.

Aku melihat detak jarum jam terus berdetak, sepuluh menit lagi janji Ahmad datang menjemputku. Dia membawa kado untuk sahabatku, aku pasrahkan dia untuk membungkusnya, aku yakin pasti rapi. Aku sudah tak sabar melihatnya kenakan baju yang aku pilih. Dia pasti kelihatan gagah terbalut sweater diantara bajunya. Dia pasti sopan dengan gelagatnya yang mengagumkan. Dia pasti...handphone ku tiba-tiba bergetar sebentar, sms aku terima. "Maya berangkat saja dulu, aku tak bisa jemput tepat waktu, kita ketemu disana, sms-in alamatnya" dari nomor Ahmad.

Kekecewaan hanya sesaat, aku tidak boleh terlambat dipesta sahabatku. Aku bergegas untuk menepati amanat.
"Taxi...!!!" teriakku.
Selama diperjalanan aku bicara banyak dengan bapak sopir taxi, agar mengalihkan rasa khawatirku kepada Ahmad, berbagai macam pertanyaan dan jawaban tentang Ahmad berputar-putar dikepala. Tidak biasanya dia mengecewakanku dengan janjinya, semoga tidak terjadi apa-apa. Sesekali aku meraba handphone, tak ada getar yang menandakan sms maupun telpon masuk. "Astaghfirullah...aku lupa nge-cas, tak lama lagi baterainya lowbat, yahhhh langsung mati..."

"Belok kanan atau belok kiri, non..." ucap bapak sopir taxi.
"Iya itu pak, rumah yang banyak mobilnya..."
"Kok ada mobil aerio warna silver, itu kan mobilnya...ahh semoga saja bukan dia..." gumamku dalam hati.
"Hai Maya...lu cantik banget..." pujian Rani menyambutku.
"Jessica mana Ran ? Kok belum kelihatan ?! " tanyaku.
"barusan gwe telpon lagi dijalan, habis keluar salon, pokoknya gak bakal kalah cantik sama elu deh..." celotehnya.
"Yukkk masuk dulu, rilex and minum-minum dulu..." ajaknya.
Rumah ayah Jessica sangat luas, lantai bawah saja jika dibuka pintu kayu itu menghubungkan jalan ke taman yang asri, banyak tanaman yang rindang dan remangnya cahaya lampu taman yang menyinari air jernih dikolam renang, menambah suasana malam ultah Jessica menjadi indah. Aku memilih duduk di mini bar dekat ayunan kayu yang biasanya tempat membaca buku Jessica, jika hari libur tempat ini adalah tempat favoritnya, dari pagi hingga sore dia lebih menyukai bergelut dengan buku, Jessica yang cantik ternyata punya kesamaan denganku, Kutu Buku.

"teman-teman semua untuk menunggu teman kita yang berbahagia datang, kami tampilkan Group Band yg sengaja diundang dimalam ulang tahun Jessica, ST12...!!!" ucap MC yang tak lain dan tak bukan si Tiara, temanku sebangku waktu SMA.

"Charlie...charlie...charl
ie..." teriak cewek-cewek begitu sang vokalis ST12 keluar lalu melambaikan tangan kepada mereka, aku lebih memilih tetap duduk disini, ditemani sepotong "cake ice cream" dan segelas kristal berisi lemon tea. Dari kejauhan aku melihat sang vokalis menyapa tamu undangan dengan sopan, sesekali dia menyambut tangan cewek-cewek yang sedari tadi mencoba meraihnya.

Mereka mulai membawakan lagu yang tak asing lagi bagiku, "PUSPA, Putuskan Saja Pacarmu". Meriah suasana pesta malam ini, semua cewek berloncat-loncat mengikuti alunan melodi, penampilannya sempurna. Aku masih menyaksikan dari kejauhan, setiap kali mata kuarahkan ke gerbang pintu masuk, tak ada aktifitas yang berarti, hanya 5 orang satpam yang berjaga disana, banyak mobil mewah yang terparkir dihalaman sebagai materi penjagaannya. Hati ini berharap seorang pangeranku datang kesini saat aku sedang menyendiri, Ahmad pasti mencoba menelponku, sayang bateraiku tak mengijinkannya, ayo dong kamu kesini, batinku.

Sudah hampir satu jam ST12 membawakan banyak lagu, namun Jessica juga tak kunjung datang. Perasaanku jadi tak enak, aku harus menemui Rani, dia tak boleh larut dalam penampilan Charlie, meskipun anak itu nge-fans banget dengan ST12, dia tak boleh lupa dengan Jessica. Aku bangkit dari duduk untuk mencarinya dikerumunan, aku takut jatuh diantara lonjakan tamu undangan, sepatu hak-ku terlalu tinggi.

"Untuk lagu selanjutnya, ST12 akan persembahkan khusus untuk Jessica, "Saat Terakhir"..." ucap Charlie sang vokalis. Serentak tamu yang hadir berhenti loncat lalu diam sejenak, alunan suara Charlie menghipnotis mereka semua, termasuk aku. Aku melihat dikejauhan sosok lelaki yang kukenal sedang berdiri dekat kolam renang, dia memakai baju itu, warna biru kesukaanku dengan sweater putih tanpa lengan membalutinya. Aku melihat dengan samar, tapi aku yakin itu dia. Segera kuberlari mendekati, menghampiri tanpa sepengetahuannya, tanpa berfikir panjang aku peluk dia dari belakang.
"Ahmad...kena kau sayank...!!!" teriakku mengagetkannya. Dia berputar, kuharap dia menyambutku dengan gembira.
"Maya...!!!" dia memanggilku.
"Riky...!!!" serempak pelukanku melepaskan, aku hampir terjatuh kekolam saat kaget.
"Siapa Ahmad yang kau panggil sayank?" tanya Riky.
"Itu bukan urusanmu...!!!"
"Aku masih mencintaimu, Maya. Sebentar lagi aku akan menceraikan Febi, kita akan menikah..." ucap Riky membuatku jengkel.
"Jika kau berani menceraikan sahabatku, ajalmu tak semanis perjalanan hidupmu...!!!" teriakku bersamaan lariku meninggalkannya, aku tak ingin melihat wajah betinanya, dia bajingan lebih dari seorang bajingan sekalipun.
"Ingat Maya...aku akan mendapatkanmu...!!!" teriaknya dengan jelas terdengar orang-orang yang ada disekitar kolam.

Lagu ST12 mengiringi derai air mataku...

Kau akan pergi tinggalkan kusendiri
Begitu sulit ku bayangkan
Begitu sakit kurasakan
Kau akan pergi tinggalkan kusendiri

Dibawah batu nisan kini kau telah sandarkan Kasih sayang kamu begitu dalam Sungguh ku tak sanggup ini terjadi Karna ku sangat cinta

Satu jam saja
Kutelah bisa
Cintai kamu...kamu, dihatiku

Namun bagiku
Melupakanmu butuh waktuku seumur hidup

Satu jam saja
Kutelah bisa
Sayangi kamu...
Dihatiku
Namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup

Selamat jalan kasih...

----

"Jessica...elu kenapa ???!!!" tanya Rani mencoba membantu Jessica berjalan tertatih tatih. Keluar dari mobil taxi Blue Bird versi Merci dengan pak Min sopirnya. Ada yang aneh dengan sahabatku.
"Mobil elu kemana Jess ?" pertanyataan itu yang mau aku utarakan, namun sudah didahului Tiara. Aku mencoba menerobos kerumunan orang-orang yang menyambut Jessica dan pak Min turun dari Taxi.
"Jessica...wajah lu memar...!!!" ucapku.
"Maya...elu datang ? elu cantik banget dengan gaun itu..." ucap Jessica.
"Kasih Jessica kursi, Ran..."
"Ok May...gwe ambilin..."

"Makasih banyak teman-teman, kalian sudah datang diacara ultah gwe, kalian pasti menikmatinya kan ?!"
"Jess...kita semua menikmatinya, elu kenapa ?" ucap Tiara.
"Ceritanya seru Tiara, sewaktu Rani selesai telpon, gwe udah keluar dari salon, dan dijalan tuh macet banget tau gak sih..." cerita Jessica membuat para tamu undangan menyimaknya.
"Secara gwe harus buru-buru pulang, karena kalian udah pada nunggu. Semula gwe gak percaya kemacetan itu bakal lama, namun pak Min nenangin gwe dengan hidupin musik. Tak taunya diujung lampu merah ada api yang besar meliuk-liuk, gwe mengira ada kebakaran. Elu tau gak sih ternyata tawuran antar kampung, uhhhh...ahhhhhhh..." Jessica menarik nafas.
"Lalu Jess...?" Rani menyeka.
"Mereka gak cuma puluhan, mungkin ratusan, gila banyak banget tau gak sih, gwe ngliat puluhan batu-batu besar terbang ke udara. Tiba-tiba orang berlarian keluar mobil menyelamatkan diri, tawuran itu terus berlangsung, malah tambah menggebu, secara gwe panik bukan kepalang, pak Min menyarankan tetap dimobil, secara orang-orang membabi buta dijalanan. Ada yang bawa pedang samurai, ada yang bawa kapak, ada juga yang bawa palu, mereka semua memakai helm. Secara gwe nyaksiin semua itu, tepat diluar mobil gwe beberapa orang terkelepar dijalanan, darah dimana-mana tau gak sih. Jika gwe keluar bakal terluka, jika gwe tetap didalam apa jadinya. Yang bisa gwe lakuin cm berdoa, mobil sudah mulai pecah kaca depan karena batu besar nyasar tepat didashboard. Jika mereka melihat bisa-bisa gwe diperkosa kali, secara gwe pake gaun yang terbuka lengan dan punggung. Bayangin deh, Ran...gmana takutnya gwe waktu itu...??!!! Mereka semua kalap..." Jessica mulai teratur mengeluarkan nafas.

"Bagaimana elu bisa keluar, Jess...??" tanyaku.
"Huhhhh...itu yang gwe sesalin May, kenapa juga gwe gak nanya siapa nama orang yang nyelametin gwe dan pak Min itu. Pak Min sempat nanya gak?" tanya Jessica ke pak Min. Yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
"dia memecahkan kaca belakang mobil, dimana gwe duduk, dia menyuruh gwe keluar, lengan dan mukanya terluka karena pecahan kaca, tuh orang terus melindungi gwe dan pak Min untuk dibawa ketempat aman, dia terus menggandeng gwe, gwe kagum ma dia..."

"Yahhhh...malah cerita cinta deh..." celoteh Rani.
"Ok gak papa, yang penting elu dan pak Min selamat, lanjut pestanya..." Tiara menyahut.
Aku melihat Jessica tersenyum bahagia, entah apa yang sedang dia fikirkan, matanya hanya menerawang, mungkin mencoba menggambarkan kejadian yang belum pernah terjadi dengan seorang Jessica sebelumnya.

"Itu apa yang elu genggam Jess...?" tanyaku.
"Dia memberikan gwe kado, dia mengatakan kado ini seharusnya untuk sahabat dari orang yang dikasihinya, karena dia datang terlambat, percuma kado ini disampaikan, lalu dia menyerahkan ke gwe..."
"Gwe bilang hari ini hari ultah gwe, dia baik banget, Maya..." aku melihat rona merah Jessica tidak dari make up, tapi dari rasa kagum terhadap orang itu.
"Apa mungkin dia Ahmad-ku?!" tanyaku dalam hati.
"Jess...boleh gwe peluk elu ?? ajakku.
"Jangan jatuh cinta kepadanya, Jess... Kado itu memang buat elu dariku, sahabatmu..." batinku dalam hati.

"Gwe harus pulang, Jess... Udh malem, Met ultah ya..." aku mencium pipi Jessica.

Aku harus pergi secepatnya dari sini, aku tak mau bertemu Riky sementara Ahmad terluka disana, aku yakin yang diceritakan Jessica dan melihat dari kado yang ia pegang, pasti Ahmad yang berjasa. Sampai saat ini hatimu masih terlalu murni untuk disentuh kejahatan dan kebohongan, kejadian demi kejadian kau selalu ada untuk menolong, bahkan Jessica sahabatku sendiri kagum denganmu, ya Tuhan jika semua itu terjadi denganku, apa Ahmad akan selalu ada untukku.

"Aku tau dimana kau berada sekarang sayank, Ahmad pasti merasa bersalah denganku, janjinya untuk datang sudah lebih dari terlewati..." gumamku didalam taxi.
"kita sudah sampai, non..." abang Taxi berkata.
Masjid Istiqlal Jakarta, papan semen bertuliskan itu masih terlihat, lampu sorot masih terang menerangi jalan masuk parkir Masjid Besar di Jakarta ini. Aku pergegas langkah, karena yang kucari belum terlihat. Kebiasaan menyendiri dimasjid tidak terlewat dari perhatianku tentang Ahmad, aku tau dia menyukai masakan yang manis, aku tau idola pemain sepakbolanya, tim kesayangannya, jenis buah yang ia suka, bahkan sampai warna sarung yang sering ia pakai sewaktu sholat, aku tau.

Pintu masuk Masjid sebelah timur, itu yang kutuju.
"Itu dia...tak salah lagi..."
"Assalamu'alaikum..." lirihku membuyarkan matanya yang semula terpejam. Jari-jarinya masih memilin pelan butiran tasbih kecil yang berjumlah 33 biji.
"Ahmad...ayo kita pulang..." ajakku.
"Tidak ada yang disesalkan, kau telah berbuat sesuai dengan jalanmu, aku tak kecewa..." lanjutku.
"Mengapa kau tak pernah mengatakan kata Cinta untukku ?" tanyaku mengisi kekosongan, udara malam membelai bibirnya yg sedang berdzikir.
"Masih...." ucapnya.
"Jelas terlihat olehku keraguan dimatamu. Aku bukan seperti mantan kekasihmu dulu, yang mengkhianatimu, karena aku juga pernah terluka dan rasanya begitu menyakitkan. Dulu memang pernah ada yang mengisi palung hatiku, namun itu dulu. Sekarang yang ada hanya kamu, tak ada yang lain selain kamu bahkan tak boleh ".

"Masih...." lanjutnya.
"Masih saja ku lihat rasa khawatir itu lewat ucapanmu. Aku tau semua seperti sulit dipahami, karena sekuat apapun kujelaskan padamu kau takkan pernah mengerti. Betapa aku memilih kamu untuk menjadi pasanganku. Bukan karena aku menghormati ibu saja. Bukan pula karna aku tak cinta. Semua begitu sulit dijelskan oleh kata-kata manusia. Harusnya ada sebuah kata yang mengungkapkan perasaan ini selain sekedar kata CINTA semata. Tapi aku memang tak bisa mengatakan kata CINTA untuk sembarang orang. Meski kau sekarang telah jadi kasihku. Aku hanya CINTA Pada ALLOH, Rasul, istri dan keluargaku nanti" ucapnya membuatku terharu, sejauh itukah berfikir tentang pertanyaan yang kulontarkan.

"Ahmad...pelipismu berdarah, kita harus pulang, jgn fikirkan itu..." ajakku untuk membuatnya berbesar hati.
"Bersabarlah... Karna suatu hari nanti aku pasti berkata AKU CINTA KAMU"
"Ya Alloh...tolong katakan kepadanya, aku juga cinta dia..." batinku terharu mengatakannya. Kusentuhkan bibirku dipipinya dengan lembut, dia membuka matanya untuk melihatku.

Aku tersenyum ketika melihat tingkahnya yang serba salah, jari-jarinya semakin percepat memilin butiran tasbih.
"Astaghfirullah..." ucap Ahmad.
"Maya...aku harus wudhu lagi..."

Sapanya merendah bertafakur
Desahnya meninggi beristighfar
Dia katakan cinta dengan hati...
Darah ini suci, hanya untukmu jejaka

Bibirku menyentuhmu
Ada ikhlas yg tersirat, hasratku patahkan nafsu
Tolong katakan kepadanya
Jangan paksa aku menikmati gemintang sendirian

"Maya tasbihku ketinggalan diMasjid"
"Ahmad kita sudah jauh dr Istiqlal"
"tenang mas nanti biar ta ambilkan, kasih nomornya saja, begitu nyampe sana ta miskol, habis ini kemana mas?"
"kanan pak"
"ya boleh, saya setuju sekali kalo makan"
"hihihiiiii...abang taxi-nya ternyata budi (baca : budeg dikit)" Maya tersenyum manis sepanjang malam.

-pipowae-
nama penaku
imagination and written by : pipowae
(cerita ini kupersembahkan bagi mereka yg tak pernah salah dimata Alloh, selain Muhammad ada gak y, Ya Alloh Gusti mugi ngapuro...!!!)

Senin, 13 Juli 2009

Tolong Katakan Kepadanya


"Berangkat kerja, non..." sapa ibu Marsinah penjual nasi uduk didepan Masjid komplek rumahku. Beberapa hari ini aku semakin enggan menjawab sapanya setelah seminggu yang lalu ia berniat menjodohkanku dengan anaknya. Biarkan saja ia menyebutku gadis yg sombong, berjalan melenggang didepannya tanpa sapa. Aku punya alasan sendiri jika tak menyapanya hari ini, segera aku pergegas langkahku, karena yang biasanya aku tunggu sudah tiba tanpa hatiku larut dalam was was, yupz Bus Kopaja (Bus Koperasi Angkutan Jakarta) jurusan Rawamangun. Meskipun berdiri sesak dan pengap namun pagi ini terasa lebih segar, rintik hujan yang tak begitu deras mengguyur atap bus kota yang mulai aus dan berkarat.


Apa aku salah tak menyapa bu Marsinah, apa aku salah jika alasan lamarannya menjadi renggangnya silaturahim, apa aku salah jika menolak lamaran orang, apa mungkin bu Marsinah berfikir yang tidak tidak kepadaku setelah lamaran yang belum terjawab olehku, apa mungkin bu Marsinah berfikir aku sombong, karena seorang gadis pegawai bank yang selalu berpenampilan cantik dan wangi sehingga menghiraukan sapanya sebagai penjual nasi uduk yang kumal, apa aku salah dengan semua pertanyaan yang mengarah pada kesalahan, berjuta macam pertanyaan muncul dikepalaku, sampai aku memutahkannya namun tak mampu.

Aku mengenal bu Marsinah hanya dari cerita ibu dan tetanggaku, dia orang tua kesekian kali yang datang kerumah untuk melamarkan anaknya untukku. Menurut ibu anaknya lumayan rajin dalam hal ibadah, soal tampang itu relatif, itu yang ibu ucapkan kepadaku. Berbeda dengan tetanggaku, anaknya bu Marsinah tak layak bersanding denganku, selain pekerjaan yang belum mapan, selalu pulang malam, dan terakhir mereka membandingkan dengan Riky yang dulu, sangat jauh katanya.

"Maya cantik ya bu, apa sudah punya calon ? Bagaimana kalau dia dijodohkan dengan anak saya, Ahmad namanya..." ucapnya malam itu, aku hanya mampu bersembunyi dibalik kamar, ibu menemuiku seketika dengan mendapat jawaban yang sama dariku. "aku masih mencintai Riky, bu..." lirihku, ibu hanya menghela nafas panjang.

Seandainya saja Riky tidak mengecewakanku, tidak membuatku terluka berminggu minggu, aku tidak akan bercerita kepada ibu tentang kemunafikannya, aku masih belum bisa melupakan kesalahan Riky, ibu juga masih belum terima kecerobohannya, permintamaafannya tak cukup mengobati luka gadis ceria sepertiku. Namun cinta Riky seakan mematri relungku, tak mau pergi meskipun aku nilai dia itu tiada. Cinta itu belum sirna, meski sakitnya terasa sampai pada ujung nadi.

"Riky yang menghamiliku, Maya..." kata-kata Febi itu menghantuiku setiap saat, sahabat yang kupercaya seratus persen kini hanya setengah-setengah menjaga persahabatan itu, dia menikam cinta yang aku banggakan, dia mengambil Riky-ku disaat ladang luas cinta akan aku tebar benih bunga yang indah, apa mungkin Riky terlalu sempurna dimataku, kehidupan yang mapan, materi yang berlimpahan, wajah yang rupawan, sopan dan mencuri hatiku hingga tak berbekas ketika dia menyembunyikan kesalahannya, sehingga aku menghiraukan semua lelaki yang datang melamarku. Ya Alloh ini bukan mataku jika melihat namun tak terlihat kesalahan fatal Riky, cintaku kepadanya justru menggebu. Ini bukan pula hatiku jika sampai detik ini masih menyimpan cerita indah bersamanya, harus dibuang jauh-jauh, sejauh timur dan barat, dihancurkan berkeping-keping, diluluhlantakkan.

Tak terasa sudah dua per tiga perjalanan yang kutempuh, kulihat sekeliling orang berdesakan, berjubel memasang tampang tegang dan tergesa. Mereka adalah orang metropolitan, yang sehari-harinya mengejar dan dikejar kebutuhan hidup. Berbagai macam corak keinginan, meningkatkan gaya hidup salah satunya harus terpenuhi.

Suasana pagi didalam bus kota membuatku melupakan sebentar tentang bu Marsinah, aku melihat bapak tua berkacamata sedang sibuk membaca surat kabar harian kota, anak-anak remaja berseragam sekolah saling bercerita tentang hebohnya ngeceng di Mall, seorang ibu berbaju kuning bersama anak kecil yang sepertinya mengantarkan ke sekolah, dibelakangnya ada pemuda berdasi yang sedari tadi memandangku, apa dia mengenalku.

Selama perjalanan hanya diam, aku perhatikan sekeliling dengan acuh, terkadang pak kondektur menegur karena tas yang aku bawa lumayan besar. "geser dikit dong non, sewa nih, kalau mau longgar sono noh, kuburan...!!!" sewotnya memaki penumpang seperti aku, diam dan diam lagi yang bisa aku lakukan.

Aku alihkan pandangan keluar jalanan, tiba-tiba penglihatanku terpaku pada sudut jalan, dari balik kaca jendela yang saat itu agak buram karena air hujan yang sejak tadi tak jua berhenti turun. "Sungguh indahnya...!!!" ucapku dalam hati, bagaimana tidak sepasang suami istri yang saling tersenyum bahagia berjalan berdua bergandengan tangan, si istri nampaknya telah hamil tua sedang sang suami..."MasyaAlloh...BUNT
UNG...!!!" teriakku dalam hati. Ya...salah satu tangannya telah buntung, namun tak kulihat rasa sesal dan malu dimata sang istri. Bahkan kulihat sang suami masih saja mencoba melindungi sang istri dari runtuhnya hujan dari langit dengan salah satu tangannya yang masih tersisa. TUHAN...?! Betapa mulia CINTA yang masih kau berikan pada si buntung ini. Betapa Kau jua masih memberi setitik kebahagiaan yang bagi dia. Aku sungguh terhentak dari lamunanku ketika aku sadar bahwa bus yang aku tumpangi akan sampai pada tujuan, Bank Mandiri Rawamangun.

"Copet...copet...copet...!
!!" teriak ibu berbaju kuning membuyarkan lamunan, seketika bus aku tumpangi berhenti mendadak, orang-orang tak ada yang bereaksi, ibu itu hanya menangis sesenggukan, aku melihat seorang pemuda turun dari bus mengejar lelaki yang membawa kabur tas itu, sesuatu yang berharga pasti ada didalamnya. Aku berusaha menenangkan dan mengajaknya turun dari bus, "surat berharga yang ibu khawatirkan, non..." Ibu itu mencoba menata kata-kata sedih.
"ibu minum dulu, sabar ya bu..." itu yang bisa aku lakukan, teh botol dingin segera aku tawarkan, lalu tangannya bersambut, sikecil berseragam sekolah hanya bengong melihat ibunya menangis.

"ini tasnya, bu..." seorang pemuda berkeringat dan lusuh tiba-tiba mengulurkan sebuah tas yang beberapa menit lalu berpindah tangan.
"copet itu sudah sering mencari mangsa didalam bus itu, dia memang berkedok karyawan yang memakai baju rapi dan berdasi, lain kali hati-hati..." aku perhatikan pemuda itu berbicara dengan nafas tak teratur.
"Ibu sangat berterima kasih nak..."
"Iya bu, sama-sama..."
"ini ada sedikit uang, mungkin tak seberapa besar dengan jasa yang kau lakukan..."
"Tidak bu, saya ikhlas kok, terima kasih banyak..."
"Kalau begitu ini kartu nama ibu, jika kamu perlu sesuatu bisa menghubungi dinomor ini, nama suami ibu, Sasmito"
"Ibu sedang buru-buru, hari ini hari pertama anak ibu masuk sekolah, jadi tidak boleh terlambat, siapa namamu anak muda?"
"Nama saya Ahmad..." jawaban pemuda kepada ibu itu mengagetkanku.
Aku berusaha melukis sosok yang tak jelas dalam bayangku, seperti apa yang dikatakan tetanggaku, mengapa mereka menilai anak bu Marsinah hanya lewat kacamata riben, yang justru tak jelas seutuhnya. Seorang pemuda yang didepanku memang sosok Ahmad yang jauh berbeda dengan apa yang pernah aku dengar, dia tampan, perawakannya tak jauh dengan Riky, senyumnya manis, dia hanya berbeda sifat dengan Riky, dia alami dan tak ada kepalsuan di wajahnya, dia pahlawan dadakan yang membuatku terkesima saat ini, dia ikhlas membantu orang, kerja kerasnya membuahkan hasil meskipun saat ini hanya ucapan terima kasih dari seorang ibu yang dia tolong.

Apa benar dia Ahmad, apa benar dia yang akan mengkhitbahku lewat bu Marsinah, mengapa aku jadi salah tingkah, sungguh ini bukan aku, Maya yang tegar ketika melihat sosok yang akan masuk dalam hati menggantikan posisi Riky, apa benar dia Ahmad anak bu Marsinah.

Ibu itu segera menyetop taxi yang lewat, orang orang yang semula berkerumun segera membubarkan diri setelah kepergian ibu dan anak tadi.

"Mas Ahmad tinggal dimana ?" tanyaku kepada sosok pahlawan dadakan yang berhati mulia. Dia mencoba menghabiskan minuman air mineral yang terlihat mengembun dibotolnya.
"Jalan Ridwan V, Cempaka Putih..." jawabnya.
Alamatnya tak seperti yang aku harapkan, alamat itu bukan daerah komplekku, jauh sekali, harus melewati beberapa kelokan lagi untuk sampai disana.
"Dia bukan Ahmad anak bu Marsinah" kesimpulanku dalam hati.
"Maaf mbak saya harus pergi, sudah ditunggu, maklum pekerja borongan harus tepat waktu..."
Dia pergi tanpa mendengar apa yang akan aku tanya selanjutnya, dia telah berlalu.

Ya Alloh mengapa hatiku masih belum bisa ikhlas, kembali terpatri pada cinta Riky, kecewa saat pemuda bernama Ahmad katakan alamatnya, buta sesaat ketika melihat sosok pemuda menjadi pahlawan dadakan, kenapa aku masih belum belajar pada kenyataan hidup yang sebenarnya tidak untuk disesali.

Setidaknya aku mendapat sebuah pelajaran hidup tentang CINTA, yang sebenarnya bukan melihat fisik atau materi, bukan pula dari keinginan untuk memiliki, namun dari rasa ingin melindungi dan menyayangi, dengan sepenuh hati, sebagaimana si Buntung yang melindungi istrinya dari terpaan hujan meski dengan satu tangan yang tersisa, Cinta tak pernah memilih pada siapa dia akan berpaut, kapan maupun dimana. Hari ini aku belajar satu lagi bab dalam mata rantai materi pelajaran hidup yang panjang yang harus kuselesaikan.
Aku belajar menghargai hidup. Aku belajar menghargai cinta. Aku belajar menghargai waktu yang masih tersisa di hidupku, karena aku takkan pernah tau SATU DETIK kedepan apa aku masih sempurna, atau menjadi TIDAK SEMPURNA. Karena TUHAN mampu memberi apapun pada kita.

Cinta pertama menghanyutkan segala
Hingga menggerlapkan mimpiku
Samudra membentang hanya untuk mengubur

Kutulis sebaris kata untuk cinta
Ikhlasku untukMu, Ya Robbi
Terlantun bagiMu yang menyentuh jiwa
Sebagaimana ikhlas sang istri si buntung
Mengapa hanya kesempurnaan yang aku fikirkan

----
Malam hari aku coba bicara dengan ibu, aku ceritakan kejadian demi kejadian tadi siang, ibu tersenyum melihat anaknya yang cantik sedang tersipu.
"Jadi anak ibu sudah bertemu dengan seorang Ahmad yang baik hati" goda ibu sambil menyisir rambutku yg lurus dan sudah mulai panjang.

"Assalamu'alaikum..." suara salam dari pintu masuk, aku dan ibu masih berada dikamar, ibu segera menjawab salam lalu berdiri menghampiri asal suara salam itu.
"Saya datang lagi, namun kali ini saya ajak anak, ini yang namanya Ahmad anak saya" aku mendengarkan dari balik kamar, tidak salah lagi itu suara ibu Marsinah.
"Ahmad kaget saya ajak kesini, dia juga belum pernah melihat Maya, namun dia ikhlas dengan apa yang akan menjadi pilihan ibunya"
"Sepertinya Maya masih harus meneruskan belajarnya meskipun dia sudah bekerja, dia belum bisa menerima lamaran dari siapapun, maaf bu Marsinah..." kalimat ibu begitu tertata, aku bangga mempunyai ibu yang bisa mengambil alasan yang tepat, meskipun sebenarnya itu bohong.
"Bagaimana nak ? Ibu sangat ingin mendapatkan menantu seperti ning Maya" kalimat bu Marsinah sepertinya tertuju kepada anaknya.
"Jika itu keinginan ibu, saya siap menunggunya sampai kapanpun..." suara itu samar kudengarkan.

Tak berapa lama ibu masuk ke kamarku, ibu memandangku dengan penuh harap.
"Tolong katakan kepadanya, jgn menungguku hingga senja berkabut telaga, aku msh berdiri menyelesaikan sulaman benang CINTA yg kusut..." ucapku hingga tak sanggup bendung air mata, aku menangis.
"Anakku...tidak adil jika kalian tidak saling jumpa, kau bisa menyimpulkan seorang pahlawanmu jika kau melihat sendiri lalu terkesima, kau bisa ikhlas tatkala melihat istri sang buntung sangat ceria, indah bukan keadilan yang ibu utarakan ? Temui mereka, nak..." kata-kata ibu sangat bijaksana.

"Ahmad...!!!"
"Mbak yang waktu itu bertemu dijalan?!!!" Ahmad berdiri menghormatiku datang.
"Allohu Akbar...!!!"
"Alloh yang punya rencana, lewat tangan ibu semua menjadi indah" ucapnya.

Tak sanggup lagi ku tahan gelora yang ada dihatiku untuk memiliki Ahmad, sesungguhnya hati ini menginginkanmu sejak peristiwa itu, mulai sekarang dan seterusnya aku tak harus sembunyi dari rasa ini, aku harus bangkit menyambut hari-hariku, ternyata Cintaku ada didepan mata.

"Ibu...tolong katakan kepadanya, sejak fajar sudah tak lagi berkabut, sejuta warna pelangi menghiasi ladang, siap menyambut mekarnya bunga dahlia, rusa bersayap putih dan kupu-kupu penebar madu siap menyambut senyumku, sungai kecil nan jernih mengartikan hatiku telah kosong dan siap untuk dijamah" ucapku berbisik ditelinga ibu.

"Alhamdulillah, itu baru anak ibu"

-pipowae-
Little stoy by : rahma and pipowae
Imagination and written by : pipowae
(cerita ini kupersembahkan bagi mereka yang menghargai kesulitan hidup menjadi keindahan semata, Lemah lan Kendhil, Gusti Allah sing Moho Adil)