Senin, 13 Juli 2009

Tolong Katakan Kepadanya


"Berangkat kerja, non..." sapa ibu Marsinah penjual nasi uduk didepan Masjid komplek rumahku. Beberapa hari ini aku semakin enggan menjawab sapanya setelah seminggu yang lalu ia berniat menjodohkanku dengan anaknya. Biarkan saja ia menyebutku gadis yg sombong, berjalan melenggang didepannya tanpa sapa. Aku punya alasan sendiri jika tak menyapanya hari ini, segera aku pergegas langkahku, karena yang biasanya aku tunggu sudah tiba tanpa hatiku larut dalam was was, yupz Bus Kopaja (Bus Koperasi Angkutan Jakarta) jurusan Rawamangun. Meskipun berdiri sesak dan pengap namun pagi ini terasa lebih segar, rintik hujan yang tak begitu deras mengguyur atap bus kota yang mulai aus dan berkarat.


Apa aku salah tak menyapa bu Marsinah, apa aku salah jika alasan lamarannya menjadi renggangnya silaturahim, apa aku salah jika menolak lamaran orang, apa mungkin bu Marsinah berfikir yang tidak tidak kepadaku setelah lamaran yang belum terjawab olehku, apa mungkin bu Marsinah berfikir aku sombong, karena seorang gadis pegawai bank yang selalu berpenampilan cantik dan wangi sehingga menghiraukan sapanya sebagai penjual nasi uduk yang kumal, apa aku salah dengan semua pertanyaan yang mengarah pada kesalahan, berjuta macam pertanyaan muncul dikepalaku, sampai aku memutahkannya namun tak mampu.

Aku mengenal bu Marsinah hanya dari cerita ibu dan tetanggaku, dia orang tua kesekian kali yang datang kerumah untuk melamarkan anaknya untukku. Menurut ibu anaknya lumayan rajin dalam hal ibadah, soal tampang itu relatif, itu yang ibu ucapkan kepadaku. Berbeda dengan tetanggaku, anaknya bu Marsinah tak layak bersanding denganku, selain pekerjaan yang belum mapan, selalu pulang malam, dan terakhir mereka membandingkan dengan Riky yang dulu, sangat jauh katanya.

"Maya cantik ya bu, apa sudah punya calon ? Bagaimana kalau dia dijodohkan dengan anak saya, Ahmad namanya..." ucapnya malam itu, aku hanya mampu bersembunyi dibalik kamar, ibu menemuiku seketika dengan mendapat jawaban yang sama dariku. "aku masih mencintai Riky, bu..." lirihku, ibu hanya menghela nafas panjang.

Seandainya saja Riky tidak mengecewakanku, tidak membuatku terluka berminggu minggu, aku tidak akan bercerita kepada ibu tentang kemunafikannya, aku masih belum bisa melupakan kesalahan Riky, ibu juga masih belum terima kecerobohannya, permintamaafannya tak cukup mengobati luka gadis ceria sepertiku. Namun cinta Riky seakan mematri relungku, tak mau pergi meskipun aku nilai dia itu tiada. Cinta itu belum sirna, meski sakitnya terasa sampai pada ujung nadi.

"Riky yang menghamiliku, Maya..." kata-kata Febi itu menghantuiku setiap saat, sahabat yang kupercaya seratus persen kini hanya setengah-setengah menjaga persahabatan itu, dia menikam cinta yang aku banggakan, dia mengambil Riky-ku disaat ladang luas cinta akan aku tebar benih bunga yang indah, apa mungkin Riky terlalu sempurna dimataku, kehidupan yang mapan, materi yang berlimpahan, wajah yang rupawan, sopan dan mencuri hatiku hingga tak berbekas ketika dia menyembunyikan kesalahannya, sehingga aku menghiraukan semua lelaki yang datang melamarku. Ya Alloh ini bukan mataku jika melihat namun tak terlihat kesalahan fatal Riky, cintaku kepadanya justru menggebu. Ini bukan pula hatiku jika sampai detik ini masih menyimpan cerita indah bersamanya, harus dibuang jauh-jauh, sejauh timur dan barat, dihancurkan berkeping-keping, diluluhlantakkan.

Tak terasa sudah dua per tiga perjalanan yang kutempuh, kulihat sekeliling orang berdesakan, berjubel memasang tampang tegang dan tergesa. Mereka adalah orang metropolitan, yang sehari-harinya mengejar dan dikejar kebutuhan hidup. Berbagai macam corak keinginan, meningkatkan gaya hidup salah satunya harus terpenuhi.

Suasana pagi didalam bus kota membuatku melupakan sebentar tentang bu Marsinah, aku melihat bapak tua berkacamata sedang sibuk membaca surat kabar harian kota, anak-anak remaja berseragam sekolah saling bercerita tentang hebohnya ngeceng di Mall, seorang ibu berbaju kuning bersama anak kecil yang sepertinya mengantarkan ke sekolah, dibelakangnya ada pemuda berdasi yang sedari tadi memandangku, apa dia mengenalku.

Selama perjalanan hanya diam, aku perhatikan sekeliling dengan acuh, terkadang pak kondektur menegur karena tas yang aku bawa lumayan besar. "geser dikit dong non, sewa nih, kalau mau longgar sono noh, kuburan...!!!" sewotnya memaki penumpang seperti aku, diam dan diam lagi yang bisa aku lakukan.

Aku alihkan pandangan keluar jalanan, tiba-tiba penglihatanku terpaku pada sudut jalan, dari balik kaca jendela yang saat itu agak buram karena air hujan yang sejak tadi tak jua berhenti turun. "Sungguh indahnya...!!!" ucapku dalam hati, bagaimana tidak sepasang suami istri yang saling tersenyum bahagia berjalan berdua bergandengan tangan, si istri nampaknya telah hamil tua sedang sang suami..."MasyaAlloh...BUNT
UNG...!!!" teriakku dalam hati. Ya...salah satu tangannya telah buntung, namun tak kulihat rasa sesal dan malu dimata sang istri. Bahkan kulihat sang suami masih saja mencoba melindungi sang istri dari runtuhnya hujan dari langit dengan salah satu tangannya yang masih tersisa. TUHAN...?! Betapa mulia CINTA yang masih kau berikan pada si buntung ini. Betapa Kau jua masih memberi setitik kebahagiaan yang bagi dia. Aku sungguh terhentak dari lamunanku ketika aku sadar bahwa bus yang aku tumpangi akan sampai pada tujuan, Bank Mandiri Rawamangun.

"Copet...copet...copet...!
!!" teriak ibu berbaju kuning membuyarkan lamunan, seketika bus aku tumpangi berhenti mendadak, orang-orang tak ada yang bereaksi, ibu itu hanya menangis sesenggukan, aku melihat seorang pemuda turun dari bus mengejar lelaki yang membawa kabur tas itu, sesuatu yang berharga pasti ada didalamnya. Aku berusaha menenangkan dan mengajaknya turun dari bus, "surat berharga yang ibu khawatirkan, non..." Ibu itu mencoba menata kata-kata sedih.
"ibu minum dulu, sabar ya bu..." itu yang bisa aku lakukan, teh botol dingin segera aku tawarkan, lalu tangannya bersambut, sikecil berseragam sekolah hanya bengong melihat ibunya menangis.

"ini tasnya, bu..." seorang pemuda berkeringat dan lusuh tiba-tiba mengulurkan sebuah tas yang beberapa menit lalu berpindah tangan.
"copet itu sudah sering mencari mangsa didalam bus itu, dia memang berkedok karyawan yang memakai baju rapi dan berdasi, lain kali hati-hati..." aku perhatikan pemuda itu berbicara dengan nafas tak teratur.
"Ibu sangat berterima kasih nak..."
"Iya bu, sama-sama..."
"ini ada sedikit uang, mungkin tak seberapa besar dengan jasa yang kau lakukan..."
"Tidak bu, saya ikhlas kok, terima kasih banyak..."
"Kalau begitu ini kartu nama ibu, jika kamu perlu sesuatu bisa menghubungi dinomor ini, nama suami ibu, Sasmito"
"Ibu sedang buru-buru, hari ini hari pertama anak ibu masuk sekolah, jadi tidak boleh terlambat, siapa namamu anak muda?"
"Nama saya Ahmad..." jawaban pemuda kepada ibu itu mengagetkanku.
Aku berusaha melukis sosok yang tak jelas dalam bayangku, seperti apa yang dikatakan tetanggaku, mengapa mereka menilai anak bu Marsinah hanya lewat kacamata riben, yang justru tak jelas seutuhnya. Seorang pemuda yang didepanku memang sosok Ahmad yang jauh berbeda dengan apa yang pernah aku dengar, dia tampan, perawakannya tak jauh dengan Riky, senyumnya manis, dia hanya berbeda sifat dengan Riky, dia alami dan tak ada kepalsuan di wajahnya, dia pahlawan dadakan yang membuatku terkesima saat ini, dia ikhlas membantu orang, kerja kerasnya membuahkan hasil meskipun saat ini hanya ucapan terima kasih dari seorang ibu yang dia tolong.

Apa benar dia Ahmad, apa benar dia yang akan mengkhitbahku lewat bu Marsinah, mengapa aku jadi salah tingkah, sungguh ini bukan aku, Maya yang tegar ketika melihat sosok yang akan masuk dalam hati menggantikan posisi Riky, apa benar dia Ahmad anak bu Marsinah.

Ibu itu segera menyetop taxi yang lewat, orang orang yang semula berkerumun segera membubarkan diri setelah kepergian ibu dan anak tadi.

"Mas Ahmad tinggal dimana ?" tanyaku kepada sosok pahlawan dadakan yang berhati mulia. Dia mencoba menghabiskan minuman air mineral yang terlihat mengembun dibotolnya.
"Jalan Ridwan V, Cempaka Putih..." jawabnya.
Alamatnya tak seperti yang aku harapkan, alamat itu bukan daerah komplekku, jauh sekali, harus melewati beberapa kelokan lagi untuk sampai disana.
"Dia bukan Ahmad anak bu Marsinah" kesimpulanku dalam hati.
"Maaf mbak saya harus pergi, sudah ditunggu, maklum pekerja borongan harus tepat waktu..."
Dia pergi tanpa mendengar apa yang akan aku tanya selanjutnya, dia telah berlalu.

Ya Alloh mengapa hatiku masih belum bisa ikhlas, kembali terpatri pada cinta Riky, kecewa saat pemuda bernama Ahmad katakan alamatnya, buta sesaat ketika melihat sosok pemuda menjadi pahlawan dadakan, kenapa aku masih belum belajar pada kenyataan hidup yang sebenarnya tidak untuk disesali.

Setidaknya aku mendapat sebuah pelajaran hidup tentang CINTA, yang sebenarnya bukan melihat fisik atau materi, bukan pula dari keinginan untuk memiliki, namun dari rasa ingin melindungi dan menyayangi, dengan sepenuh hati, sebagaimana si Buntung yang melindungi istrinya dari terpaan hujan meski dengan satu tangan yang tersisa, Cinta tak pernah memilih pada siapa dia akan berpaut, kapan maupun dimana. Hari ini aku belajar satu lagi bab dalam mata rantai materi pelajaran hidup yang panjang yang harus kuselesaikan.
Aku belajar menghargai hidup. Aku belajar menghargai cinta. Aku belajar menghargai waktu yang masih tersisa di hidupku, karena aku takkan pernah tau SATU DETIK kedepan apa aku masih sempurna, atau menjadi TIDAK SEMPURNA. Karena TUHAN mampu memberi apapun pada kita.

Cinta pertama menghanyutkan segala
Hingga menggerlapkan mimpiku
Samudra membentang hanya untuk mengubur

Kutulis sebaris kata untuk cinta
Ikhlasku untukMu, Ya Robbi
Terlantun bagiMu yang menyentuh jiwa
Sebagaimana ikhlas sang istri si buntung
Mengapa hanya kesempurnaan yang aku fikirkan

----
Malam hari aku coba bicara dengan ibu, aku ceritakan kejadian demi kejadian tadi siang, ibu tersenyum melihat anaknya yang cantik sedang tersipu.
"Jadi anak ibu sudah bertemu dengan seorang Ahmad yang baik hati" goda ibu sambil menyisir rambutku yg lurus dan sudah mulai panjang.

"Assalamu'alaikum..." suara salam dari pintu masuk, aku dan ibu masih berada dikamar, ibu segera menjawab salam lalu berdiri menghampiri asal suara salam itu.
"Saya datang lagi, namun kali ini saya ajak anak, ini yang namanya Ahmad anak saya" aku mendengarkan dari balik kamar, tidak salah lagi itu suara ibu Marsinah.
"Ahmad kaget saya ajak kesini, dia juga belum pernah melihat Maya, namun dia ikhlas dengan apa yang akan menjadi pilihan ibunya"
"Sepertinya Maya masih harus meneruskan belajarnya meskipun dia sudah bekerja, dia belum bisa menerima lamaran dari siapapun, maaf bu Marsinah..." kalimat ibu begitu tertata, aku bangga mempunyai ibu yang bisa mengambil alasan yang tepat, meskipun sebenarnya itu bohong.
"Bagaimana nak ? Ibu sangat ingin mendapatkan menantu seperti ning Maya" kalimat bu Marsinah sepertinya tertuju kepada anaknya.
"Jika itu keinginan ibu, saya siap menunggunya sampai kapanpun..." suara itu samar kudengarkan.

Tak berapa lama ibu masuk ke kamarku, ibu memandangku dengan penuh harap.
"Tolong katakan kepadanya, jgn menungguku hingga senja berkabut telaga, aku msh berdiri menyelesaikan sulaman benang CINTA yg kusut..." ucapku hingga tak sanggup bendung air mata, aku menangis.
"Anakku...tidak adil jika kalian tidak saling jumpa, kau bisa menyimpulkan seorang pahlawanmu jika kau melihat sendiri lalu terkesima, kau bisa ikhlas tatkala melihat istri sang buntung sangat ceria, indah bukan keadilan yang ibu utarakan ? Temui mereka, nak..." kata-kata ibu sangat bijaksana.

"Ahmad...!!!"
"Mbak yang waktu itu bertemu dijalan?!!!" Ahmad berdiri menghormatiku datang.
"Allohu Akbar...!!!"
"Alloh yang punya rencana, lewat tangan ibu semua menjadi indah" ucapnya.

Tak sanggup lagi ku tahan gelora yang ada dihatiku untuk memiliki Ahmad, sesungguhnya hati ini menginginkanmu sejak peristiwa itu, mulai sekarang dan seterusnya aku tak harus sembunyi dari rasa ini, aku harus bangkit menyambut hari-hariku, ternyata Cintaku ada didepan mata.

"Ibu...tolong katakan kepadanya, sejak fajar sudah tak lagi berkabut, sejuta warna pelangi menghiasi ladang, siap menyambut mekarnya bunga dahlia, rusa bersayap putih dan kupu-kupu penebar madu siap menyambut senyumku, sungai kecil nan jernih mengartikan hatiku telah kosong dan siap untuk dijamah" ucapku berbisik ditelinga ibu.

"Alhamdulillah, itu baru anak ibu"

-pipowae-
Little stoy by : rahma and pipowae
Imagination and written by : pipowae
(cerita ini kupersembahkan bagi mereka yang menghargai kesulitan hidup menjadi keindahan semata, Lemah lan Kendhil, Gusti Allah sing Moho Adil)

Tidak ada komentar: