Senin, 29 Juni 2009

Jujur Aku Ikhlas...


Dia masih memegang pinggangku sangat erat, kepalanya menopang dipundak, aku merasakan banyak air mata yg membasahi sweater-ku, suara isakan tangisnya samar-samar kudengarkan, karena helm standar yang kupakai cukup rapat untuk sekedar suara yang lirih, hanya angin nekat saja yang berani masuk kedalamnya. Sore itu kutancap gas motor berkecepatan 60km/jam, kulihat jam yang melingkar ditanganku menandakan waktu senja mulai menyambut malam, ya jam setengah 6.

"kau mau bawa aku kmana?" tanyanya lirih, tanpa aku jawab, aku hanya ingin dia mengira telingaku tak mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Tak lama dia menopangkan lagi kepalanya kepundak, layu seperti dedaunan lembab yang merindukan cahaya matahari.

Satu kelokan lagi akan tiba, sebuah gardu kecil menyambut kedatangan kami, seorang anak muda keluar memegang secarik kertas dan bolpen ditangannya. "seribu saja mas" ucapnya sambil mencatat plat nomorku disecarik kertas parkir. Wisata Pantai Lamaru Balikpapan.

"aku sudah menduga kau membawaku kesini, tempat yang selalu menginspiraku untuk bercerita, tempat untuk melepas keluhku, melepas sedihku" ucapnya bersamaan berhentinya motorku. Dia membuka jaket dan menyibakkan rambut yang semula sembunyi dibalik jaketnya.

"Dini mau es kelapa muda?" aku melihat sekeliling, kudapati segerombolan anak muda bermain bola dipinggir pantai, beberapa anak lelaki kecil berlarian menarik layang-layang diangkasa, beberapa gadis bersendagurau diatas batu besar yang mulai terkikis, mereka tertawa lepas seakan tanpa beban dihatinya, mungkin petang inilah ibu-ibu mereka mencari anak perawannya yang sudah selayaknya mereka pulang. Aku melihat penjual es kelapa muda tak jauh dariku berdiri, dua gelas es kelapa ples sirup manis cukup untuk melepas dahaga disore hari.

"aku semakin memahami ilmu ikhlas dan syukur, seperti alam menghargai bergantinya waktu siang dan malam, seperti karang besar dilaut yang rela melebur jadi bebatuan kecil dan kehilangan keindahannya, mungkin masih banyak lagi contoh yang Alloh berikan kepadaku..." ucap Dini mengawali cerita saat memutuskan duduk ditumpukan rumput yang terlihat lebat, dia melipat kaki untuk berusaha duduk dan kedua tangannya melipat pelan sweater-ku.

"seperti sweater-ku yang rela kau lipat-lipat dan kau basahi dengan air matamu..." gurauku mengawali tanggapanku mendengar keluhnya.

Dini menatapku sekilas, ada rona merah diwajahnya, lalu tersenyum menyambut es kelapa muda yang aku sodorkan, sore hari sangat inspiratif untuk bercerita apalagi diiringi angin besar menghempas tepat dimuka. Jidatnya yang halus mulai tampak berlipat, banyak menyimpan masalah berat yang hendak ia keluarkan, lalu matanya jauh menatap ke laut, nampak ada perahu kecil terombang ambing ditengah laut, satu orang tenang tetap melempar jaring ke laut, satu orang berusaha menyiapkan layar, kebiasaan rasa khawatir adalah wajar ketika semua berada dialam laut yang berontak.

"Uh...hahhhhhhhhhhhh...." Dini menarik nafas lalu mengeluarkannya kembali, membuat hampa yang ada didada kembali terisi dengan udara yang baru saja dia hirup.

"Pernah aku mengatakan, ilmu syukurku justru kudapat dari seseorang yang beragama non muslim. Aku adalah wanita biasa yang banyak orang berfikir tak punya kelebihan apa-apa, namun sebenarnya sejak dulu aku merasa penuh kelebihan. Bukan bermaksud menyombongkan diri. Sejak dulu dengan segala keterbatasan aku merasa kaya, aku merasa punya segalanya. Dilahirkan dari keluarga yg meski tak kaya namun cukup dihormati, punya keluarga yang saling menyayangi, banyak teman, diberi otak yang tak bodoh-bodoh amat, dan meski tak cantik namun banyak juga lelaki yang menaruh hati.

Aku cukup merasa bahagia dengan hidupku, hingga aku tak pernah meminta lagi pada ALLOH, aku malu karena kurasa semua sudah Ia berikan padaku. Hingga suatu waktu, aku harus kehilangan ayahku untuk selamanya.

Hari Pertama di Rumah Sakit.

Semula aku cukup sedih, tak henti-hentinya aku menangis setiap kali aku melihat ayahku berbicara dengan suara parau yang tak kumengerti, tergeletak tak berdaya pada ranjang rumah sakit dengan separuh badannya mati rasa. Hanya satu tangannya yang mampu bergerak menggapai-gapaiku seperti ingin memelukku, namun tak sampai. Aku mencoba mendekatkan wajahku agar aku bisa mendengar apa yang Beliau ucapkan. Namun aku tetap tak mampu mengerti karena syaraf lidahnya sudah rusak. Sepertinya aku tau apa yang ingin dikatakannya, "Din...kok gak kuliah, katanya hari ini ada ujian ?" tak sanggup lagi aku bendung air mataku, hingga aku berlari keluar ruangan, karna aku tak mau terlihat menangis didepan beliau.

Hari kedua.

Hari ini Ayahku dirujuk kerumah sakit yang agak besar, disinilah aku berkenalan dengan keluarga non muslim yang satu kamar dengan kami. Namanya Pak Edy, ia sakit sudah cukup lama dengan penyakit komplikasinya. Namun ia tak pernah menunjukkan rasa sedih, tertekan ataupun marah atas apa yang dialaminya. Bahkan masih sempatnya ia bersendau gurau dengan suster jaga. Aku cukup takjub.

Hari ketiga.

Masih terlihat jelas kesedihan dimataku yang ternyata terbaca dengan mudahnya oleh sepupu dari pak Edy yang ikut jaga beliau. Kamipun berkenalan. Aku masih ingat betul namanya "Aan Andy Marino" berasal dari lampung yang biasa aku panggil andint.

Hari Keempat.

Aku tak pernah tau apa yang akan dia tunjukkan padaku, tapi kali ini aku ikut saja ketika ia mengajakku berkenalan dengan seorang ibu bernama Ibu Lastri yang ternyata juga non muslim. Ibu lastri adalah seorang ibu yang suaminya habis operasi jantung, sedang kedua anaknya mengalami kecelakaan yang masing2 patah kaki dan satu gegar otak. Semua berada di Rumah sakit yang sama. Satu hal yang aku herankan, dari bibirnya masih tersungging senyuman, dan iapun masih tetap bersyukur dengan mengucap "Puji Tuhan Kami masih dikasihi oleh Tuhan..." Sungguh aku begitu takjub, ketika Andint jg mengatakan bahwa masih banyak yang mengalami kepahitan melebihi yang aku alami, tak seharusnya aku mengeluh karena mereka saja masih tetap bersyukur.

Hari selanjutnya.

Aku mulai mengerti apa itu Ikhlas dan syukur...
Aku ikhlas ketika ayahku akhirnya di ambil kembali...
Aku ikhlas ketika apa yang aku sayangi pergi dan tak kumiliki...
Karna aku yakin Alloh masih sayang aku...
Aku masih diberi kebahagiaan yang lain...
Aku masih punya banyak teman yang slalu mendukung... Tapi kali ini aku meminta banyak pada Alloh...

Ya ALLOH
Jangan biarkan aku menjadi lupa akan syukurku
Jangan biarkan hatiku menjadi kecil
Jadikanlah aku wanita biasa yang punya banyak nikmat
Jadikan aku wanita yang selalu ikhlas jika harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga sekalipun dalam hidupku
Karena smua yang aku miliki pasti akan diminta kembali oleh ALLOH" cerita Dini cukup menyita perhatianku untuk menyimak lebih dalam.

Matanya berlinang mengucap syukur
Senyumnya tegar menggumam ikhlas
Angin laut menebar wangi
Sewangi daun teh dikala ranum
Kilauan cahaya sore seindah raut wajah perawan
Menari dan tertawa terbahak menyibak cantiknya sahabatku

"aku tak mau pulang sebelum mentari terbit diesok hari, aku ingin menikmati malam dipinggiran Lamaru, melihat lampu kota Balikpapan dikala malam tampak dari kejauhan, menjawab lambaian jari-jari daun kelapa yang terjulur ketanah, mau kan kau menemaniku?" ajaknya.

"Din...aku tadi janji dengan ibumu untuk tidak membuatmu masuk angin, aku bilang cuma sebentar pergi ke pantai, kita harus pulang..." ucapku.

"Coba saja kau pulang, aku tak maksa, aku hanya ikut..." sewotnya terlihat dari nada bicaranya, aku mulai bangkit dari silaku, diapun mengikutinya.

Kucoba menggerakkan motorku, terasa berat digoyangkan kekanan dan kekiri.
"Wuaduhhhh gawat...siapa yang bocorin ban-nya, kok bisa sih keduanya kempes, ini pasti ada yang iseng..." kesalku.

"kenapa Win?" tanya Dini menambah bingungku.
"Oooo...itu tandanya kita disuruh pulang besok pagi...aku mau bermain ombak dulu ke pantai..." semakin bertambah bingungku dengan kalimat yg ia lontarkan.
"Kembali Din, kita harus pulang..." teriakku.

"Windu...maafin ya, aku yang kempesin ban-nya, kalau berani kejar aku..." teriak Dini ketika turun dari tangga besi yang menuju ke pinggiran laut, lalu dia berlari disepanjang pantai, riang menyiram air ke pasir-pasir yang kering, sesekali dia melempar sesuatu kelaut.

"Awas ya, aku kejar kau, sebelum langit berwarna gelap, aku bisa menangkapmu..." batinku.

Dia terus berlari
Membawa gerahnya senja
Meninggalkan jejak halus dipantai
Meneduhkan cumbu selaksa CINTA


-pipowae-

story by : rahma
imagination and written by : pipowae

Tidak ada komentar: