Minggu, 17 Februari 2008

GERIMIS


GERIMIS
Jakarta, 17 Februari 2008

Hari ini kudapati cahaya matahari menusuk rumput rumput liar, sehingga merubah nuansa segar tanaman yang dibiarkan tumbuh dihalaman rumah itu. Sinar mentari memaksa terobos awan-awan yang gelap, sesekali sang surya mengintip lewat celah-celah awan yang kantongi harapan nan tujuan. Lama-lama pandanganku sedikit tersapu kabur ketika air hujan mengguyur atap rumah sedikit demi sedikit lalu jatuh ketanah. Ya…hari ini gerimis, meskipun Jakarta pagi ini didominasi dengan cuaca cerah namun sedikit awan hitam berkerak kelam tampak didaerah Senayan, seperti hari-hari sebelumnya, sedikit air hujan itu yang selalu membuat sebagian anak manusia yang kekurangan ketahanan tubuh akan mengalami demam.

Aku berdiri menatap gerimis lewat jendela kamarku yang terbuka sejak fajar, aku tak pernah bosan pandangi keindahannya, karena aku suka dengan fenomena alam itu, meskipun kadang bisa membawa kedalam kenangan masa lalu terngiang lagi yang membuat airmataku berlinang.

Ketika kecil aku selalu menatap tak berkedip gerimis itu dengan berdiri diatas dingklik (jawa:kursi kecil dari kayu) dan tangan berpegangan teralis jendela, sembari kudengarkan ibu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disampingku, begitu indah begitu tentram suasana rumah. Tiba-tiba aku berteriak “ibu lihat, kolam ikanku penuh air, kapalku bisa berlayar lagi” aku sudah pandai membuat kapal-kapalan dari kertas, itu karena ayah, memang beliau selalu mengajariku dengan sekali contoh, membuatku tertantang membuktikan untuk bisa menirunya. Mulanya kucoba bongkar kapal kertas buatan ayah, kuperhatikan lipatan demi lipatan dengan seksama, hmm…aku mulai kebingungan waktu lupa lipatan selanjutnya, kulihat ayah cuma tersenyum kecut. “Ayah yakin kamu bisa” itu yang selalu terucap dari mulut beliau. Siang dan malam aku selalu menghafal lipatan demi lipatan, hingga satu hari aku bisa merangkainya sendiri, “sekarang kapal buatanku siap berlayar” ucapku penuh bangga, setiap hari aku menunggu gerimis turun, untuk berikan sedikit air dikolam kecilku. Namun yang ditunggu tak kunjung datang, meskipun begitu aku dengan sabar menunggu dan tersenyum.

Saat gerimis itu pula kenakalan kecilku dimulai, aku masih ingat ketika memecahkan gelas kesayangan ibu saat main bola didalam rumah, ibu sudah memeringatkan berulang kali, namun aku mengacuhkannya, hukuman dari beliau bakal aku terima secepatnya. Aku ingin berlari menghindari cubitan ibu yang pernah sempat membirukan pantatku, tapi kemana aku harus berlari, diluar gerimis. “Ibu sudah bilang, apa kamu tidak punya telinga!!” teriak keras ibu dari dapur membuat nyaliku menciut, aku berusaha lari tunggang langgang, mondar mandir dari ruang tamu ke teras rumah, kudapati pohon jambu air yang tumbuh dengan banyak ranting, sangat lebat sekali daun-daunnya, mungkin bisa menyelamatkan untuk bersembunyi sesaat dari pencarian ibu. Aku terus memanjat keatas sampai tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah rimbunnya pohon itu, “ibu tak melihatku” batinku lega, kemudian kupandangi kanan kiri atas bawah pohon jambu air itu, daun-daunnya tampak hijau menyekat, tak tahunya dibalik keindahannya banyak ulat-ulat menggelantung disana. Tangan kiriku, pergelangan kaki kananku, pundak sebelah kananku, dan punggungku terasa geli, seperti ada benda berjalan menggerayangi sekitar itu, “ibu…ada ulat di tubuhku” teriakku mengagetkan ibu dalam kebingungan pencariannya. Kedua tanganku berusaha menyingkirkan dan membuang ulat-ulat yang menari ditubuhku, hingga sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku terjadi, aku terpelanting kebelakang ketika kakiku tak kuat lagi menahan beban tubuhku, “gedubrakkkkk” aku terjatuh dari pohon itu.

Hari hari setelah itu aku jalani dengan rasa sesal, tak sekedar rasa nyeri dipunggung yang kurasakan, tetapi juga disekujur tubuhku tampak merah-merah dan gatal, kulitku bentol-bentol terkena racun ulat. Ibu dengan tekun mengusap-usap kulitku yang memerah dengan balsam, sesekali mulutnya meniup-niupkan angin disekitar siku tanganku yang terkelupas karena terbentur tanah, rasanya semriwing dan nyaman tapi sayang tak begitu lama. Beliau tekun menenangkan dengan nasehat yang membuatku menyesal tak mendengar peringatan saat itu.
Hingga setelah sembuh masih kudapati gerimis menghiasi suasana indah dihalaman rumahku, seketika aku bersedih ketika melihat ayah menumbangkan pohon jambu itu, “ayah kenapa dipotong pohon itu?” tanyaku, “buahnya gak ada tapi ulatnya banyak sekali nak, sangat membahayakan diri kita” jawabnya. Seandainya ayah tahu apa yang sebenarnya aku renungkan, aku sangat berterima kasih kepada pohon itu, dia telah memberiku pelajaran yang tiada terkira.
Aku masih jongkok terdiam memandang ayah membawa batang pohon jambu yang besar untuk dibuang ke sampah. “Nak…ambilkan sapu untuk ibu” pinta ibu membuyarkan lamunanku. Aku mulai beranjak dan tersenyum menyambut perintahnya.

Perjalanan masa kecilku mencari hikmah sungguh tak terbayangkan, sering melewatinya dengan diiringi gemericik air keberkahan dari langit. Tertawa menangis terdiam berteriak, segalanya aku lewati dengan senyum dan kesedihan, seperti masa usiaku menginjak enam belas tahun, gerimis kali ini berbeda dengan gerimis sebelumnya, satu per satu orang yang ada disekitarku pergi meninggalkanku, sahabatku Lina pergi jauh entah kemana, dia pindah rumah tanpa memberitahuku, seorang gadis tomboy yang sering membuat aku bingung dengan kelakuannya, tak pernah mau mendengarkan omonganku, tapi selalu muncul ketika aku membutuhkannya, kali ini aku semakin tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, gerimis mengiringi kesendirianku.
Tak berhenti kesedihanku sampai disitu, menyusul kenyataan yang tak pernah terbayangkan, tak berselang lama dari hari Lina meninggalkanku, salah satu orang yang aku kagumi kepribadiannya menutupkan mata untuk selamanya, Nenek dari Ibu meninggal dunia, beliau yang sejak kecil menemaniku bermain layang-layang dipantai ketika ayah dan ibu tak dirumah, beliau yang setiap sore menggendongku dengan menyanyikan shalawat badar berulang-ulang sampai aku tertidur, beliau juga yang tak pernah lama membuatkan bubur kinco (jawa:bubur dicampur gula aren cair) kesukaanku setiap kali minta.

Kesedihanku berangsur-angsur membuyar ketika suara gerimis menyamarkan bayang-bayang kelabuku. Dewasa dan terus bertambah dewasa pemikiran menyelubungi akal sadarku, kesedihan yang berlarut-larut akan menenggelamkanku kedalam belenggu nestapa, aku ingin gerimis kali ini tak sekedar memberi pelajaran dihari-hari yang lampau namun juga bisa membawa sinar terang harapan dikemudian hari, menemukan jalan keluar segala bentuk pertanyaan dan kebimbangan dalam batinku.

Aku tak berusaha mengalihkan pandangan dari gerimis itu, masih berdiri dibalik jendela yang kordennya beterbangan kesana kemari, aku amati terus awan yang masih berarak, mau berjalan kemana setelah dari Timur, oh jangan ke utara, disana masih ada pembangunan jalan flyover, aku yakin para pekerja jalanan itu tidak menginginkanmu, “jangan kau arahkan gerimis kesana, Angkasa” batinku. Tiba-tiba istriku memelukku dari belakang, kedua tangannya muncul dari sela-sela dadaku dan memelukku erat, merubah cuaca dingin kembali menghangat dengan dekapannya yang mesra. “Mas…sarapan dulu, nasi gorengnya sudah siap” tutur katanya membuatku membalikkan muka dan menatap matanya yang indah. “iya sayank…kita sarapan yuk” ajakku.

Imagination and written by : afif
Setting : Kamar kos paling tengah, selesai nulis ba’do dhuhur

Selasa, 12 Februari 2008

Cintaku Setipis Bulu Alis Versi Puisi


Akhirnya kutemukan satu masa yang biasa
Tidak seperti kala perpisahan yang mengagumkan
Masih berdiri dibalik jendela terbuka
Sambil kupandangi lebah menghisap bunga
Seakan malaikat tangkupkan tangan
Menyambut gugurnya putik yang beterbangan

Benarkah takdir memisahkan raga
Namun jiwa takkan rapuh menyangga
Sekelebat bayangan hinggap dan sirna
Diterjang ombak sebesar mantra

Tanganku tak mampu menghadang
Disaat keyakinanmu semakin kuat
Semakin juga menguatkan kasih
Aku takkan layu dikala merindu

Jadikan ia pasukan fisabilillah
Jangan kau menyerah untuk berdakwah
Neraka kau tampik, surga kau tadah
Kesetiaan…
Aku ingin kau menemani dalam beribadah
Menjemput pahala yang ada didepan mata
Yaitu…CINTA.

Jodoh...Aku Menjemputmu.


Perasaan gelisah masih tertanam dalam hati Kemal, duduk dikursi busa yang terbalut kain bercorak kembang-kembang guna menunggu giliran masuk keruangan Direksi, tampak pintu bertuliskan “Ruang Direktur” tepat berada didepan Kemal duduk menunggu, jantung berdegup semakin kencang tak beraturan, sesekali ia menengadahkan dagu untuk menatap sesaat tulisan itu tapi tak bertahan lama, lalu wajahnya tertunduk lesu dengan masih menyimpan perasaan tanya, tak biasanya seorang karyawan rendahan dipanggil langsung oleh direktur untuk menghadap ke ruangannya, jika orang yang mempunyai kesalahan atau ijin untuk mengundurkan diri atau ada kepentingan lain yang harus minta keputusan Direktur itu lumrah (jawa:wajar) untuk menghadap, tapi Kemal termasuk karyawan biasa yang mempunyai tanggung jawab hanya kepada kepala Divisinya, tak ada kepentingan apa-apa untuk menghadap Direktur, kalaupun ada kesalahan hanya Managernya yang dipanggil, ia pun juga tak ada niat untuk resign (arti:mengundurkan diri).

“mbak…mbak Desi, ada apa sih aku dipanggil pak Prakoso?” tanyanya penuh khawatir, seiringan wanita berambut panjang lurus berjalan didepannya, wanita yang biasa dipanggil mbak Desi itu adalah tukang terima telpon (baca:operator). Biasanya siapa saja yang ada kepentingan telepon masuk atau keluar harus berhadapan dengannya, suaranya memang merdu tak salah jika pak Prakoso menunjuknya sebagai operator, selain suaranya yang sesuai dengan wajah, ia juga cukup cekatan dalam bekerja.
“lah…meneketehe…hayooo dimarahin kali” celetuknya sambil melempar senyum dan berlalu.
“yeee…ditanya serius malah bercanda” balas Kemal.
“bismillah…semoga gak ada apa-apa” ucapnya dalam hati. Kembali menundukkan kepala, meskipun melihat kebawah tapi ia tak memperhatikan apa-apa yang ada dibawahnya. Lalu matanya terpejam tak lama terbuka lagi, mulutnya sambil berkomat-kamit membaca doa agar diberi rasa tenang.

Seketika muncul wanita berjilbab berdiri didepan Kemal, wanita itu memberanikan diri tuk menyapanya, tapi masih ragu.
“maaf mas…sandal yang mas pakai, itu sandal saya” sapanya halus, meskipun kata yang ia ucapkan sedikit, tapi membuat lawan bicara seakan terpaku melihat kesopanan nada bicara yang memikat.
Wanita berjilbab lebar itu menarik senyum yang anggun disertai dengan anggukan kepala tanda hormat membuat orang berfikir 13 kali jika ingin mengacuhkannya, Kemal sejenak berfikir siapa wanita itu yang mengaku-ngaku sandal yang ia pakai adalah sandal miliknya, ia tak pernah melihatnya dalam lingkungan kantor, bagaimana ia masuk, siapa namanya, mungkin terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, dengan segera ia patahkan dengan memandang alas kakinya.
“masyaAllah…aku dari tadi bawa sandal, kenapa gak kerasa ya?!” celetuknya tanpa ada rasa salah.
Memang panggilan mendadak pak Prakoso membuatnya gugup, Kemal mendengar kabar disuruh menghadap penguasa perusahaan tempat ia bekerja setelah selesai melaksanakan shalat sunnah menjelang pertengahan hari. Dengan terburu-buru ia memakai sandal yang ada diMusholla, tanpa melihat sandal siapa yang ia pakai, pikirnya sandal yang berada disitu adalah sandal umum.
Sangat disayangkan sebuah gedung berlantai 10 hanya memiliki satu Musholla yang hanya berkapasitas 50 jamaah, disetiap lantai dihuni satu macam perusahaan, setiap perusahaan minimal memiliki 20 orang pegawai muslim yang aktif shalat berjamaah, bisa dibayangkan jika waktunya shalat wajib tiba banyak yang bersabar menunggu giliran. Tapi tidak apa-apa, menunggu giliran masuk surga lebih hasanah daripada menunggu dalam hal kesesatan, Allah lebih suka menguji umatnya yang taat dengan kesabaran namun Allah akan membalasnya kelak dengan memberikan nikmat lebih dari yang kita bayangkan, itu janjiNya.

Suara pintu terbuka, itu terdengar dari suara pintu ruang direktur, tapi Kemal masih mencoba menenangkan rasa malunya terhadap wanita yang tak ia kenal.
“sekarang giliranmu” ucap pak Karto yang baru saja keluar dari ruangan pak Prakoso, wajahnya berbinar-binar mungkin ia menerima keputusan yang menyenangkan. Kemal menginginkan situasi yang sama menimpa dirinya. Tanpa berfikir panjang Kemal dengan segera masuk keruangan direktur tanpa memakai alas kaki.
“permisi pak…maaf saya menghadap tidak memakai alas kaki, lupa…” sapanya malu sambil nyengir ragu, rasa malu ditambah takut bercampur aduk entah apa jadinya, yang pasti sekujur tubuh gemetar tak tertahankan.
wis ora popo, aku cuma sebentar saja, mau ngobrol sedikit sama kamu” tangan pak Prakoso menarik pundak Kemal untuk menawarkan duduk diruangannya, bahasa tubuh pak Prakoso langsung dimengerti karyawan yang usianya termuda diperusahaannya itu.
“terima kasih, pak” jawab Kemal, hatinya sedikit rileks karena ucapan pak Prakoso membuat ketegangan menjadi lebur, sapa ramahnya melelehkan ragu yang semula membatu.
“saya ingin menyerahkan surat ini kepadamu dengan tangan saya sendiri, saya ingin kamu menerima tantangan yang saya tawarkan, nanti kamu buka sendiri isinya apa, sudah saatnya saya menunjuk anak muda yang kreatif seperti kamu” ucap pak Prakoso pelan nan tegas.
“saya tidak mengerti maksut bapak?” sahut Kemal.
Kemal adalah seorang anak muda yang sudah empat tahun bekerja diperusahaan itu, ia dikenal sebagai tukang gambar sipil maupun gambar elektro, ia sangat paham membaca gambar apalagi mengakumulasi project lewat gambar tehnik, melihat kemampuan yang dimiliki Kemal, seorang penguasa perusahaan sudah jauh hari meliriknya untuk menawarkan tantangan yang lebih menguji kekreatifannya, mempercayakan untuk menangani project dari awal sampai akhir. Itu memang bukan pekerjaan yang gampang bagi pemuda seusia Kemal, ia harus bisa mandiri berfikir bagaimana caranya project itu terselesaikan dengan cepat dan hemat, itulah yang diinginkan semua perusahaan, mengefisiensikan pengeluaran dan meraup sebanyak-banyaknya keuntungan.

“sudah…surat itu kamu baca dirumah saja, oh ya kapan kamu nikah?” pertanyaan pak Prakoso menyimpang jauh dari apa yang sedang diangankan Kemal, belum tuntas ia bertanya-tanya apa isi yang ada didalam bungkusan amplop coklat yang dipegang, sudah muncul pertanyaan yang mengundang gundah dalam batinnya selama ini.
Semua orang sangat menginginkan pernikahan, begitu juga Kemal, hanya lewat sunah Rasul itulah yang bisa menghalalkan hubungan antara lawan jenis yang saling menyinta, jika sudah waktunya tiba obat untuk tambatan rindu hanyalah halalnya bercinta, jika berkobarnya persahabatan tak cukup lagi mencurahkan isi hati, apalagi yang dicari, jika insan terjerembab dalam keresahan hanya motivasi dari pasangan yang diharapkan, jika malam malam terasa sunyi dan angin malam tak lagi menebarkan hawa hangat, apalagi yang dicari, hanya pernikahanlah jalan menuju keberkahanNya.
“pernikahan itu sama dengan bisnis yang kita jalankan, jika kamu berani mengambil keputusan sekarang ya harus siap dengan resiko yang bakal dihadapi, kita tetap hadapi prosesnya tapi ingat hasil akhir yang kita ambil, kalau bisnis kita hasil akhir adalah keuntungan kalau pernikahan hasil akhir ya pahala dari Allah, yang penting barokah”.
Tak biasanya pak Prakoso berkoar tentang kebajikan, tapi kali ini beda, ia bukan berperan sebagai Direktur yang setiap hari mendoktrin karyawannya untuk bekerja seefisien mungkin demi mengejar laba tapi juga sebagai ustadz penyejuk jiwa disaat seorang karyawan merindukan dakwahan. Apa yang dikatakan beliau memang tak salah,
“itu dia pak, saya masih ada yang dipikirkan, masih ada yang kurang” cetus Kemal.
“kurang opo kowe?”
“kulo kirang kalih pak?!...maksutipun kalih sinten?”
“hwuahahahaaaaa” kelakar pak Prakoso tak bisa ditahan, serentak ruangan yang hanya diisi dua orang saat itu seraya ramai gelak tawa terdengar sampai keluar. Sambil mengucek-ucek mata, pak Prakoso melepaskan kacamata yang ia pakai, beliau masih tertawa cekikikan mendengar guyonan Kemal.
“Kemal…Kemal…diluar sana para bidadari itu antri menunggumu” ucapnya sambil menahan senyum lalu meneguk segelas air putih yang telah tersedia dimejanya.
“amin…semoga begitu” batin Kemal sambil tertunduk malu.
“kamu minum saja teh itu, tadi ada tamu buru-buru pulang, gak jadi diminum, sudah terlanjur dibuatin sama pak Wage, ayo minum” ajakan bapak Direktur yang semakin terlihat kerutan diwajahnya jika tersenyum.

Ini semua berkat pak Wage, karenanya rasa haus Kemal terobati sesaat, hilangnya rasa malu dan bingung terbalaskan dengan mendapat rizqi berupa minuman, tak heran jika semua karyawan termasuk Kemal selalu menaruh syukur kepada pak Wage, beliau yang setiap pagi tak pernah lupa tugas dan kewajibannya, meskipun sekedar office boy diperusahaan itu, ia tak pernah terlambat dalam melayani pak Prakoso dan para karyawannya. Tempat tinggal yang amat jauh tak pernah menghalanginya mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Jarak yang ditempuh dari desa Parung ke Sudirman memakan waktu satu jam dua puluh lima menit, yang membuat semua karyawan salut ia tak pernah mengeluh meskipun mengendarai sepeda motor vespa keluaran tahun 1982, motor tua yang selalu menemani kulitnya yang sudah kisut tersengat panas matahari, motor butut yang selalu membuat kesal jika hujan mengenai busi lalu mogok dijalan.

Pak Prakoso mulai membereskan agenda yang diperlukan untuk pertemuan dengan klien, tiba-tiba suara beep dari handphone-nya mengheningkan beberapa detik obrolan mereka berdua, pak Prakoso berkomat kamit membaca email yang diterima dari ponsel-nya, lalu membereskan kertas berisi penawaran harga yang semula berserakan dimeja, Kemal masih tampak memperhatikan kesibukan pak Direktur, tak lama Kemal mengambil inisiatif ijin keluar ruangan karena merasa pertemuan dengan pak Prakoso sudah cukup, lalu suara dehem disertai senyum ramah pak Prakoso mewakili jawaban setujunya.
Langkah gontai kaki Kemal untuk kembali ke meja kerja masih terasa berat, dengan adanya beban yang masih menyembunyikan jawaban belum pasti dalam batinnya atas pembicaraan dengan pak Prakoso, dari isi amplop coklat yang ia pegang sampai dakwahan nasehat menikah, tapi argumen yang terakhir tak merasa itu sebagai beban, ia merasa tertantang untuk mewujudkannya, tapi entah kapan, mengingat apa yang ia resahkan tak kunjung pergi dan menjelma menjadi hikmah, prioritas utama Kemal yaitu ikhtiar mencari seorang wanita yang mengutamakan ibadah demi tercapainya keluarga yang sakinah, nilai wanita dimata lelaki muslim adalah kecantikan, kekayaan, dan juga keturunan, tapi yang harus dinomor satukan adalah ibadahnya kepada Allah, percuma jika kecantikan dan kekayaan membutakan nafsu manusia, jika itu hilang dimakan usia dan tak kekal, kekhawatiran untuk bertahan apa bisa disombongkan.
Kemal berjalan santai tetapi pikirannya masih menerawangkan sesuatu, ia mulai membaca siapa wanita yang mau diajak menikah dengannya seketika tanpa mengenal pribadi masing-masing, sosok pemuda yang tak mengenal pacaran itu menerka-nerka dalam harap, sejak ditinggalkan Maya sahabatnya yang diam diam menaruh hati dengan Kemal, ia merasa minder bergaul dengan wanita, Kemal selalu berfikir hatinya jahat dimata wanita, sejak Maya menangisi sikap egois Kemal yang ternyata menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat. Kemal memang tak pandai membaca perasaan kaum hawa, seandainya waktu bisa diputar seperti mudahnya memutar mainan gangsingan yang arahnya tinggal ditarik berlawanan, Kemal akan menyambut maksut cinta tak terbaca dimata Maya.
Maya adalah sosok wanita yang memiliki semuanya, kecantikannya tak diragukan lagi, wajah cantik yang alami membuat semua lelaki tak berkedip memandang jika berhadapan dengannya. Kemal merasakan curahan hati ketika resah terasa nyaman terutarakan depan Maya, cara berfikirnya yang bijaksana jarang dipunyai kebanyakan wanita yang menjalani pendidikan psikologi di Universitas Indonesia itu.
“tidak…bukan Maya, dia bukan untukku, maafkan aku Maya, semoga kau bahagia dengan suamimu” batinnya mencoba menghilangkan rasa sesal yang hinggap tak lama pergi. Dan ia bersyukur persahabatannya tidak hancur mengikuti leburnya perjalanan cinta Maya, ternyata persahabatannya masih kekal sampai sekarang.

Kemal sudah duduk dimejanya, menatap laptop yang sedari tadi ditinggalkannya untuk menghadap pak Direktur, laptopnya dibiarkannya nyala, tampak layarnya yang ber-background gelap masih kosong tanpa terbuka program selama ia tak ditempat, Kemal masih senyum-senyum sendiri.
jodoh adalah salah satu dari sekian anugrah yang menjadi rahasia Ilahi, aku segera datang menjemputmu” kata yang tak terucap dalam suara.
Keyakinan Kemal mulai terbaca dari mengepal tangan kanan yang kuat, ia yakin manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, lelaki yang baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik dan sebaliknya. Mau tak mau ia harus belajar dari kegagalan masa lalu yang tak pandai memahami perasaan wanita, Kemal mulai membuka hati yang dulu keras untuk menjadi lunak, sekeras apapun batu karang akan hancur jika terus menerus terpercik air, ia tak boleh mempertahankan egoisnya, ia tak boleh ragu dan tak boleh jadi pengecut, harus berani mengambil sikap, sudah sepantasnya untuk memfokuskan diri memimpin sebuah keluarga.
Senyumnya melebar dan dibarengi anggukan kepala yang tak terhitung berapa kali ia melakukannya, karena teringat salah satu artikel yang pernah ia baca. Seorang yang tidak mau menikah karena enggan memikul beban beristri, anak-anak dan rumah tangganya adalah seorang penakut dan pengecut. Sebaliknya seorang yang hidup dengan berbagai keluarga dan rumah tangga adalah pemberani, ia adalah orang yang menang dalam kancah pertempuran.
“bismillah…aku melangkah menuju sunnahmu ya Rasul, berkahi ya Allah niat hambaMu, amin” semakin kuat dan bulat tekat yang diyakini Kemal.

Tepukan tangan pak Wage dipundak Kemal yang secara tiba-tiba mengagetkannya, mungkin dari tadi pak Wage memperhatikannya dari kejauhan, sambil menaruh mangkok yang berisi pempek yang sejak pagi dipesan Kemal, pempek yang sudah kelihatan tak hangat lagi itu disajikan dengan pelayanan tulus pak Wage, meskipun kelihatan sudah tak mengundang selera namun perhatian pak Wage yang menghangatkan suasana menjadi tak hambar, ia sengaja menyimpannya didapur karena ia tahu yang mpunya dipanggil keruang pak Prakoso.
“ada apa toh mas, dari tadi senyum-senyum sendiri?”
“gak ada apa-apa pak, cuma teringat sesuatu”
“ya berarti ada apa-apa dong”
“wah pempek yang tadi pagi saya pesan ya, kenapa gak dimakan sekalian pak”
“yah…saya kan sudah dibelikan satu, itu sudah cukup mas”
Setiap kali Kemal menyuruh beli makanan selalu memberi uang dua kali lipat harga makanan itu, biar pak Wage ikut merasakannya. Pak Wage memang terkenal ringan tangan, sering ia menolak imbalan jasa yang diberikan setelah membelikan makanan karyawan, dengan alasan sudah kewajiban melayani mereka. Adalah Kemal yang selalu membuatnya merasa tak enak, pak Wage selalu tak bisa menolak pemberian Kemal, kedekatan Kemal dan pak Wage seperti anak dan bapak, rayuan Kemal untuk memberi imbalan kepadanya tak bisa dikalahkan. Ikhlas memberi kepada sesama harus diterima ikhlas juga bagi penerima, rizqi itu datangnya dari Allah, kalau pak Wage menolak berarti tak mempercayai Kemal yang telah dipasrahi Allah menyampaikan rizqi itu ke pak Wage. Alasan itu pernah terucap dari mulut Kemal, membuat orang tua yang selalu menjadi bilal di musholla kantor ternganga membatin sesuatu, apa yang dikatakan Kemal adalah bijaksana, tak sepantasnya ia menolak itu.
“ya sudah, nanti saya makan, terima kasih ya pak”
“terima kasih juga mas Kemal”
Pak Wage melangkahkan kaki mundur dengan ragu-ragu, mulutnya mau terbuka tapi masih berat seakan terkunci, sepertinya ada yang mau dibicarakan pada Kemal. Namun ia melihat situasi saat ini tak mendukung, Kemal yang kembali dari ruangan Direktur dan menerima sajian pempek yang dipesannya masih tampak konsentrasi memandang monitor laptop. Pak Wage tak berani melanjutkan pembicaraan, dengan segera ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari meja kerja Kemal, mungkin lain waktu bisa mewujudkan keinginannya, batinnya.

(bersambung...)

Jumat, 08 Februari 2008

Bongkah Batu Selamatkan dr Api Neraka


Kata yg pantas untuk menyebut lelaki itu adalah kesederhanaan, kesehariannya dipenuhi tingkah laku yg membuat aku terkesan, kesenangannya yg slalu berjalan memakai sandal jepit, kemanapun dia pergi, membuatku tercengang akan sebuah pertanyaan, kenapa bisa dia melakukan itu dan alasan apa, jawaban sederhana tapi dalam maknanya keluar dari mulut yg setiap saat bergetar menyebut nama Allah, sandal jepit selalu mengingatkan dan mengajaknya akan sentuhan aliran air suci yang menyentuh tubuh, yaitu berwudhu. MasyaAllah…semoga Allah tidak mengirimkan laknat kepada orang yang bertaqwa kepadaMu.

Hari yang panas tak pernah bersahabat bagi siapapun, siang itu dia berjalan kaki penuh semangat memenuhi panggilan pekerjaan di perusahaan yg dia idam-idamkan, hari yang menentukan dia diterima atau tidak di posisi itu, petaka datang tidak jauh dari halte bus biasa dia berdiri, dia terjatuh tersandung sebongkah batu yg cukup besar, menyita waktu yang tidak sedikit akan luka yang diderita, sesampai tujuan dengan wajah cemas dia masuk dan menanyakan jadwal interview untuk dirinya, kecewa dan kesal dia tahan setelah mendengar jawaban personalia menggugurkan dia dalam daftar calon pegawai baru di perusahaan itu hanya karena terlambat sepuluh menit.

Jam 11:25 terlihat jelas di arloji yang melingkar ditangannya, bergegas dia keluar dan pulang tanpa keluhan yg berlanjut, berjalan dan terus berjalan hingga melintasi area pertokoan yg menyediakan berbagai makanan, tiba-2 dia mengaduh kesakitan, kakinya mencium sebongkah batu besar cukup kencang, darah yg sebelumnya berhenti mengalir kembali dipaksa keluar diluka yg sama.

Setelah berhasil menyumbat luka dengan sobekan kain putih, kembali dia meneruskan perjalanan pulang. Pertigaan jalan yang dipenuhi keramaian lalu lalang kendaraan, dia sempatkan titip hati iba kepada seorang anak kecil yang mengemis dijalanan, uang yang tersisa disakunya semoga bisa mengurangi beban yang dipikul anak itu, harapannya. Dia baru sadar kalau mata kaki itu buta, lagi-2 dia tersandung sebongkah batu memaksa dia berhenti diarea masjid dekat rumahnya, “ya Allah…apa maksut semua ini, hari ini aku tersandung 3 bongkah batu ditempat yg berbeda”, batinnya.

Tersentak kaget seorang bapak tua menepuk pundaknya setelah keluar dari masjid, “anak muda…aku tau apa yang kau risau dan keluhkan hari ini, sesungguhnya 3 bongkah batu itu menyelematkanmu dari siksa api neraka, batu pertama menyeka waktumu untuk datang terlambat ke interview, jika kamu diterima akan dihadapkan kebimbangan bahwa peraturannya tidak diperbolehkan shalat jum’at karena alasan menyita banyak waktu pekerjaan, batu kedua lagi-lagi menyita waktumu, karena beberapa menit setelah kau jatuh ada sekelompok gadis yang berjalan didepanmu mengenakan pakaian yang serba terbuka, sesungguhnya aurat itu sebagai perangkap syaitan.” dia menghela nafas setelah mendengar penjelasan itu. “Batu yang ketiga membolehkan kau mempunyai rasa iba dan peduli pada seorang anak kecil, tapi setelah itu dia tak rela sehingga membuatmu terluka, karena beberapa saat yang lalu jika kau tak berhenti membersihkan luka itu, kau akan melihat kekerasan dalam RT, seorang suami memukul istri, mungkin Allah tidak ingin kau dihadapkan pada sikap emosi yang berlebihan untuk membela seorang wanita, insyaAllah puasamu paruh hari ini terselamatkan dr batal. Sesungguhnya maha suci Allah yang telah mengaturnya.”

Terdiam dan termenung akan sesungguhnya dirinya takkan berani mengeluh jika terjadi musibah pasti Sang Raja Cinta Allah SWT akan memberi hikmah dibalik itu semua, barokAllah azza wa jalla…

Cinta Itu Merah



Mama selalu katakan "cinta itu tumbuh dengan sendiri",

Papa selalu bilang "cinta itu muncul dari terbiasa".


Jauh juga ya perjalanan cinta,

ketika cinta jauh,

tapi sungguh terasa dekat.


Cinta gak seharusnya bahagia,

kalau bisa kenapa gak?


Dua insan bisa berdiri masing-masing tanpa cinta,

bertahan lama kah?


Semoga mama papa tau,

cinta itu merah,

gak luntur jadi hitam atau putih.

Kamis, 07 Februari 2008

Terima Kasih Pak..

Dear panutan yang ngerangkep guru
May 2002


Lelaki setengah baya menghiasi kehidupanku,


aku masih ingat ketika belajar berjalan, bicara, berhadapan dengan berbagai orang penting (sebutan dikantorku),


terima kasih atas ketoprak humor, ilmu, kesabaran, nonton bioskop, dan masih banyak lagi.




tapi sekarang aku merasakan jauh jarak kita,


aku gak tahu apa yang direncanakan,


yang pasti sesuatu yang terbaik,


itu ada di dirinya,


aku berharap tetap jadi murid yang haus pelajaran darimu.