Selasa, 12 Februari 2008

Jodoh...Aku Menjemputmu.


Perasaan gelisah masih tertanam dalam hati Kemal, duduk dikursi busa yang terbalut kain bercorak kembang-kembang guna menunggu giliran masuk keruangan Direksi, tampak pintu bertuliskan “Ruang Direktur” tepat berada didepan Kemal duduk menunggu, jantung berdegup semakin kencang tak beraturan, sesekali ia menengadahkan dagu untuk menatap sesaat tulisan itu tapi tak bertahan lama, lalu wajahnya tertunduk lesu dengan masih menyimpan perasaan tanya, tak biasanya seorang karyawan rendahan dipanggil langsung oleh direktur untuk menghadap ke ruangannya, jika orang yang mempunyai kesalahan atau ijin untuk mengundurkan diri atau ada kepentingan lain yang harus minta keputusan Direktur itu lumrah (jawa:wajar) untuk menghadap, tapi Kemal termasuk karyawan biasa yang mempunyai tanggung jawab hanya kepada kepala Divisinya, tak ada kepentingan apa-apa untuk menghadap Direktur, kalaupun ada kesalahan hanya Managernya yang dipanggil, ia pun juga tak ada niat untuk resign (arti:mengundurkan diri).

“mbak…mbak Desi, ada apa sih aku dipanggil pak Prakoso?” tanyanya penuh khawatir, seiringan wanita berambut panjang lurus berjalan didepannya, wanita yang biasa dipanggil mbak Desi itu adalah tukang terima telpon (baca:operator). Biasanya siapa saja yang ada kepentingan telepon masuk atau keluar harus berhadapan dengannya, suaranya memang merdu tak salah jika pak Prakoso menunjuknya sebagai operator, selain suaranya yang sesuai dengan wajah, ia juga cukup cekatan dalam bekerja.
“lah…meneketehe…hayooo dimarahin kali” celetuknya sambil melempar senyum dan berlalu.
“yeee…ditanya serius malah bercanda” balas Kemal.
“bismillah…semoga gak ada apa-apa” ucapnya dalam hati. Kembali menundukkan kepala, meskipun melihat kebawah tapi ia tak memperhatikan apa-apa yang ada dibawahnya. Lalu matanya terpejam tak lama terbuka lagi, mulutnya sambil berkomat-kamit membaca doa agar diberi rasa tenang.

Seketika muncul wanita berjilbab berdiri didepan Kemal, wanita itu memberanikan diri tuk menyapanya, tapi masih ragu.
“maaf mas…sandal yang mas pakai, itu sandal saya” sapanya halus, meskipun kata yang ia ucapkan sedikit, tapi membuat lawan bicara seakan terpaku melihat kesopanan nada bicara yang memikat.
Wanita berjilbab lebar itu menarik senyum yang anggun disertai dengan anggukan kepala tanda hormat membuat orang berfikir 13 kali jika ingin mengacuhkannya, Kemal sejenak berfikir siapa wanita itu yang mengaku-ngaku sandal yang ia pakai adalah sandal miliknya, ia tak pernah melihatnya dalam lingkungan kantor, bagaimana ia masuk, siapa namanya, mungkin terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, dengan segera ia patahkan dengan memandang alas kakinya.
“masyaAllah…aku dari tadi bawa sandal, kenapa gak kerasa ya?!” celetuknya tanpa ada rasa salah.
Memang panggilan mendadak pak Prakoso membuatnya gugup, Kemal mendengar kabar disuruh menghadap penguasa perusahaan tempat ia bekerja setelah selesai melaksanakan shalat sunnah menjelang pertengahan hari. Dengan terburu-buru ia memakai sandal yang ada diMusholla, tanpa melihat sandal siapa yang ia pakai, pikirnya sandal yang berada disitu adalah sandal umum.
Sangat disayangkan sebuah gedung berlantai 10 hanya memiliki satu Musholla yang hanya berkapasitas 50 jamaah, disetiap lantai dihuni satu macam perusahaan, setiap perusahaan minimal memiliki 20 orang pegawai muslim yang aktif shalat berjamaah, bisa dibayangkan jika waktunya shalat wajib tiba banyak yang bersabar menunggu giliran. Tapi tidak apa-apa, menunggu giliran masuk surga lebih hasanah daripada menunggu dalam hal kesesatan, Allah lebih suka menguji umatnya yang taat dengan kesabaran namun Allah akan membalasnya kelak dengan memberikan nikmat lebih dari yang kita bayangkan, itu janjiNya.

Suara pintu terbuka, itu terdengar dari suara pintu ruang direktur, tapi Kemal masih mencoba menenangkan rasa malunya terhadap wanita yang tak ia kenal.
“sekarang giliranmu” ucap pak Karto yang baru saja keluar dari ruangan pak Prakoso, wajahnya berbinar-binar mungkin ia menerima keputusan yang menyenangkan. Kemal menginginkan situasi yang sama menimpa dirinya. Tanpa berfikir panjang Kemal dengan segera masuk keruangan direktur tanpa memakai alas kaki.
“permisi pak…maaf saya menghadap tidak memakai alas kaki, lupa…” sapanya malu sambil nyengir ragu, rasa malu ditambah takut bercampur aduk entah apa jadinya, yang pasti sekujur tubuh gemetar tak tertahankan.
wis ora popo, aku cuma sebentar saja, mau ngobrol sedikit sama kamu” tangan pak Prakoso menarik pundak Kemal untuk menawarkan duduk diruangannya, bahasa tubuh pak Prakoso langsung dimengerti karyawan yang usianya termuda diperusahaannya itu.
“terima kasih, pak” jawab Kemal, hatinya sedikit rileks karena ucapan pak Prakoso membuat ketegangan menjadi lebur, sapa ramahnya melelehkan ragu yang semula membatu.
“saya ingin menyerahkan surat ini kepadamu dengan tangan saya sendiri, saya ingin kamu menerima tantangan yang saya tawarkan, nanti kamu buka sendiri isinya apa, sudah saatnya saya menunjuk anak muda yang kreatif seperti kamu” ucap pak Prakoso pelan nan tegas.
“saya tidak mengerti maksut bapak?” sahut Kemal.
Kemal adalah seorang anak muda yang sudah empat tahun bekerja diperusahaan itu, ia dikenal sebagai tukang gambar sipil maupun gambar elektro, ia sangat paham membaca gambar apalagi mengakumulasi project lewat gambar tehnik, melihat kemampuan yang dimiliki Kemal, seorang penguasa perusahaan sudah jauh hari meliriknya untuk menawarkan tantangan yang lebih menguji kekreatifannya, mempercayakan untuk menangani project dari awal sampai akhir. Itu memang bukan pekerjaan yang gampang bagi pemuda seusia Kemal, ia harus bisa mandiri berfikir bagaimana caranya project itu terselesaikan dengan cepat dan hemat, itulah yang diinginkan semua perusahaan, mengefisiensikan pengeluaran dan meraup sebanyak-banyaknya keuntungan.

“sudah…surat itu kamu baca dirumah saja, oh ya kapan kamu nikah?” pertanyaan pak Prakoso menyimpang jauh dari apa yang sedang diangankan Kemal, belum tuntas ia bertanya-tanya apa isi yang ada didalam bungkusan amplop coklat yang dipegang, sudah muncul pertanyaan yang mengundang gundah dalam batinnya selama ini.
Semua orang sangat menginginkan pernikahan, begitu juga Kemal, hanya lewat sunah Rasul itulah yang bisa menghalalkan hubungan antara lawan jenis yang saling menyinta, jika sudah waktunya tiba obat untuk tambatan rindu hanyalah halalnya bercinta, jika berkobarnya persahabatan tak cukup lagi mencurahkan isi hati, apalagi yang dicari, jika insan terjerembab dalam keresahan hanya motivasi dari pasangan yang diharapkan, jika malam malam terasa sunyi dan angin malam tak lagi menebarkan hawa hangat, apalagi yang dicari, hanya pernikahanlah jalan menuju keberkahanNya.
“pernikahan itu sama dengan bisnis yang kita jalankan, jika kamu berani mengambil keputusan sekarang ya harus siap dengan resiko yang bakal dihadapi, kita tetap hadapi prosesnya tapi ingat hasil akhir yang kita ambil, kalau bisnis kita hasil akhir adalah keuntungan kalau pernikahan hasil akhir ya pahala dari Allah, yang penting barokah”.
Tak biasanya pak Prakoso berkoar tentang kebajikan, tapi kali ini beda, ia bukan berperan sebagai Direktur yang setiap hari mendoktrin karyawannya untuk bekerja seefisien mungkin demi mengejar laba tapi juga sebagai ustadz penyejuk jiwa disaat seorang karyawan merindukan dakwahan. Apa yang dikatakan beliau memang tak salah,
“itu dia pak, saya masih ada yang dipikirkan, masih ada yang kurang” cetus Kemal.
“kurang opo kowe?”
“kulo kirang kalih pak?!...maksutipun kalih sinten?”
“hwuahahahaaaaa” kelakar pak Prakoso tak bisa ditahan, serentak ruangan yang hanya diisi dua orang saat itu seraya ramai gelak tawa terdengar sampai keluar. Sambil mengucek-ucek mata, pak Prakoso melepaskan kacamata yang ia pakai, beliau masih tertawa cekikikan mendengar guyonan Kemal.
“Kemal…Kemal…diluar sana para bidadari itu antri menunggumu” ucapnya sambil menahan senyum lalu meneguk segelas air putih yang telah tersedia dimejanya.
“amin…semoga begitu” batin Kemal sambil tertunduk malu.
“kamu minum saja teh itu, tadi ada tamu buru-buru pulang, gak jadi diminum, sudah terlanjur dibuatin sama pak Wage, ayo minum” ajakan bapak Direktur yang semakin terlihat kerutan diwajahnya jika tersenyum.

Ini semua berkat pak Wage, karenanya rasa haus Kemal terobati sesaat, hilangnya rasa malu dan bingung terbalaskan dengan mendapat rizqi berupa minuman, tak heran jika semua karyawan termasuk Kemal selalu menaruh syukur kepada pak Wage, beliau yang setiap pagi tak pernah lupa tugas dan kewajibannya, meskipun sekedar office boy diperusahaan itu, ia tak pernah terlambat dalam melayani pak Prakoso dan para karyawannya. Tempat tinggal yang amat jauh tak pernah menghalanginya mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Jarak yang ditempuh dari desa Parung ke Sudirman memakan waktu satu jam dua puluh lima menit, yang membuat semua karyawan salut ia tak pernah mengeluh meskipun mengendarai sepeda motor vespa keluaran tahun 1982, motor tua yang selalu menemani kulitnya yang sudah kisut tersengat panas matahari, motor butut yang selalu membuat kesal jika hujan mengenai busi lalu mogok dijalan.

Pak Prakoso mulai membereskan agenda yang diperlukan untuk pertemuan dengan klien, tiba-tiba suara beep dari handphone-nya mengheningkan beberapa detik obrolan mereka berdua, pak Prakoso berkomat kamit membaca email yang diterima dari ponsel-nya, lalu membereskan kertas berisi penawaran harga yang semula berserakan dimeja, Kemal masih tampak memperhatikan kesibukan pak Direktur, tak lama Kemal mengambil inisiatif ijin keluar ruangan karena merasa pertemuan dengan pak Prakoso sudah cukup, lalu suara dehem disertai senyum ramah pak Prakoso mewakili jawaban setujunya.
Langkah gontai kaki Kemal untuk kembali ke meja kerja masih terasa berat, dengan adanya beban yang masih menyembunyikan jawaban belum pasti dalam batinnya atas pembicaraan dengan pak Prakoso, dari isi amplop coklat yang ia pegang sampai dakwahan nasehat menikah, tapi argumen yang terakhir tak merasa itu sebagai beban, ia merasa tertantang untuk mewujudkannya, tapi entah kapan, mengingat apa yang ia resahkan tak kunjung pergi dan menjelma menjadi hikmah, prioritas utama Kemal yaitu ikhtiar mencari seorang wanita yang mengutamakan ibadah demi tercapainya keluarga yang sakinah, nilai wanita dimata lelaki muslim adalah kecantikan, kekayaan, dan juga keturunan, tapi yang harus dinomor satukan adalah ibadahnya kepada Allah, percuma jika kecantikan dan kekayaan membutakan nafsu manusia, jika itu hilang dimakan usia dan tak kekal, kekhawatiran untuk bertahan apa bisa disombongkan.
Kemal berjalan santai tetapi pikirannya masih menerawangkan sesuatu, ia mulai membaca siapa wanita yang mau diajak menikah dengannya seketika tanpa mengenal pribadi masing-masing, sosok pemuda yang tak mengenal pacaran itu menerka-nerka dalam harap, sejak ditinggalkan Maya sahabatnya yang diam diam menaruh hati dengan Kemal, ia merasa minder bergaul dengan wanita, Kemal selalu berfikir hatinya jahat dimata wanita, sejak Maya menangisi sikap egois Kemal yang ternyata menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat. Kemal memang tak pandai membaca perasaan kaum hawa, seandainya waktu bisa diputar seperti mudahnya memutar mainan gangsingan yang arahnya tinggal ditarik berlawanan, Kemal akan menyambut maksut cinta tak terbaca dimata Maya.
Maya adalah sosok wanita yang memiliki semuanya, kecantikannya tak diragukan lagi, wajah cantik yang alami membuat semua lelaki tak berkedip memandang jika berhadapan dengannya. Kemal merasakan curahan hati ketika resah terasa nyaman terutarakan depan Maya, cara berfikirnya yang bijaksana jarang dipunyai kebanyakan wanita yang menjalani pendidikan psikologi di Universitas Indonesia itu.
“tidak…bukan Maya, dia bukan untukku, maafkan aku Maya, semoga kau bahagia dengan suamimu” batinnya mencoba menghilangkan rasa sesal yang hinggap tak lama pergi. Dan ia bersyukur persahabatannya tidak hancur mengikuti leburnya perjalanan cinta Maya, ternyata persahabatannya masih kekal sampai sekarang.

Kemal sudah duduk dimejanya, menatap laptop yang sedari tadi ditinggalkannya untuk menghadap pak Direktur, laptopnya dibiarkannya nyala, tampak layarnya yang ber-background gelap masih kosong tanpa terbuka program selama ia tak ditempat, Kemal masih senyum-senyum sendiri.
jodoh adalah salah satu dari sekian anugrah yang menjadi rahasia Ilahi, aku segera datang menjemputmu” kata yang tak terucap dalam suara.
Keyakinan Kemal mulai terbaca dari mengepal tangan kanan yang kuat, ia yakin manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, lelaki yang baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik dan sebaliknya. Mau tak mau ia harus belajar dari kegagalan masa lalu yang tak pandai memahami perasaan wanita, Kemal mulai membuka hati yang dulu keras untuk menjadi lunak, sekeras apapun batu karang akan hancur jika terus menerus terpercik air, ia tak boleh mempertahankan egoisnya, ia tak boleh ragu dan tak boleh jadi pengecut, harus berani mengambil sikap, sudah sepantasnya untuk memfokuskan diri memimpin sebuah keluarga.
Senyumnya melebar dan dibarengi anggukan kepala yang tak terhitung berapa kali ia melakukannya, karena teringat salah satu artikel yang pernah ia baca. Seorang yang tidak mau menikah karena enggan memikul beban beristri, anak-anak dan rumah tangganya adalah seorang penakut dan pengecut. Sebaliknya seorang yang hidup dengan berbagai keluarga dan rumah tangga adalah pemberani, ia adalah orang yang menang dalam kancah pertempuran.
“bismillah…aku melangkah menuju sunnahmu ya Rasul, berkahi ya Allah niat hambaMu, amin” semakin kuat dan bulat tekat yang diyakini Kemal.

Tepukan tangan pak Wage dipundak Kemal yang secara tiba-tiba mengagetkannya, mungkin dari tadi pak Wage memperhatikannya dari kejauhan, sambil menaruh mangkok yang berisi pempek yang sejak pagi dipesan Kemal, pempek yang sudah kelihatan tak hangat lagi itu disajikan dengan pelayanan tulus pak Wage, meskipun kelihatan sudah tak mengundang selera namun perhatian pak Wage yang menghangatkan suasana menjadi tak hambar, ia sengaja menyimpannya didapur karena ia tahu yang mpunya dipanggil keruang pak Prakoso.
“ada apa toh mas, dari tadi senyum-senyum sendiri?”
“gak ada apa-apa pak, cuma teringat sesuatu”
“ya berarti ada apa-apa dong”
“wah pempek yang tadi pagi saya pesan ya, kenapa gak dimakan sekalian pak”
“yah…saya kan sudah dibelikan satu, itu sudah cukup mas”
Setiap kali Kemal menyuruh beli makanan selalu memberi uang dua kali lipat harga makanan itu, biar pak Wage ikut merasakannya. Pak Wage memang terkenal ringan tangan, sering ia menolak imbalan jasa yang diberikan setelah membelikan makanan karyawan, dengan alasan sudah kewajiban melayani mereka. Adalah Kemal yang selalu membuatnya merasa tak enak, pak Wage selalu tak bisa menolak pemberian Kemal, kedekatan Kemal dan pak Wage seperti anak dan bapak, rayuan Kemal untuk memberi imbalan kepadanya tak bisa dikalahkan. Ikhlas memberi kepada sesama harus diterima ikhlas juga bagi penerima, rizqi itu datangnya dari Allah, kalau pak Wage menolak berarti tak mempercayai Kemal yang telah dipasrahi Allah menyampaikan rizqi itu ke pak Wage. Alasan itu pernah terucap dari mulut Kemal, membuat orang tua yang selalu menjadi bilal di musholla kantor ternganga membatin sesuatu, apa yang dikatakan Kemal adalah bijaksana, tak sepantasnya ia menolak itu.
“ya sudah, nanti saya makan, terima kasih ya pak”
“terima kasih juga mas Kemal”
Pak Wage melangkahkan kaki mundur dengan ragu-ragu, mulutnya mau terbuka tapi masih berat seakan terkunci, sepertinya ada yang mau dibicarakan pada Kemal. Namun ia melihat situasi saat ini tak mendukung, Kemal yang kembali dari ruangan Direktur dan menerima sajian pempek yang dipesannya masih tampak konsentrasi memandang monitor laptop. Pak Wage tak berani melanjutkan pembicaraan, dengan segera ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari meja kerja Kemal, mungkin lain waktu bisa mewujudkan keinginannya, batinnya.

(bersambung...)

Tidak ada komentar: