GERIMIS
Jakarta, 17 Februari 2008
Hari ini kudapati cahaya matahari menusuk rumput rumput liar, sehingga merubah nuansa segar tanaman yang dibiarkan tumbuh dihalaman rumah itu. Sinar mentari memaksa terobos awan-awan yang gelap, sesekali sang surya mengintip lewat celah-celah awan yang kantongi harapan nan tujuan. Lama-lama pandanganku sedikit tersapu kabur ketika air hujan mengguyur atap rumah sedikit demi sedikit lalu jatuh ketanah. Ya…hari ini gerimis, meskipun Jakarta pagi ini didominasi dengan cuaca cerah namun sedikit awan hitam berkerak kelam tampak didaerah Senayan, seperti hari-hari sebelumnya, sedikit air hujan itu yang selalu membuat sebagian anak manusia yang kekurangan ketahanan tubuh akan mengalami demam.
Aku berdiri menatap gerimis lewat jendela kamarku yang terbuka sejak fajar, aku tak pernah bosan pandangi keindahannya, karena aku suka dengan fenomena alam itu, meskipun kadang bisa membawa kedalam kenangan masa lalu terngiang lagi yang membuat airmataku berlinang.
Ketika kecil aku selalu menatap tak berkedip gerimis itu dengan berdiri diatas dingklik (jawa:kursi kecil dari kayu) dan tangan berpegangan teralis jendela, sembari kudengarkan ibu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disampingku, begitu indah begitu tentram suasana rumah. Tiba-tiba aku berteriak “ibu lihat, kolam ikanku penuh air, kapalku bisa berlayar lagi” aku sudah pandai membuat kapal-kapalan dari kertas, itu karena ayah, memang beliau selalu mengajariku dengan sekali contoh, membuatku tertantang membuktikan untuk bisa menirunya. Mulanya kucoba bongkar kapal kertas buatan ayah, kuperhatikan lipatan demi lipatan dengan seksama, hmm…aku mulai kebingungan waktu lupa lipatan selanjutnya, kulihat ayah cuma tersenyum kecut. “Ayah yakin kamu bisa” itu yang selalu terucap dari mulut beliau. Siang dan malam aku selalu menghafal lipatan demi lipatan, hingga satu hari aku bisa merangkainya sendiri, “sekarang kapal buatanku siap berlayar” ucapku penuh bangga, setiap hari aku menunggu gerimis turun, untuk berikan sedikit air dikolam kecilku. Namun yang ditunggu tak kunjung datang, meskipun begitu aku dengan sabar menunggu dan tersenyum.
Saat gerimis itu pula kenakalan kecilku dimulai, aku masih ingat ketika memecahkan gelas kesayangan ibu saat main bola didalam rumah, ibu sudah memeringatkan berulang kali, namun aku mengacuhkannya, hukuman dari beliau bakal aku terima secepatnya. Aku ingin berlari menghindari cubitan ibu yang pernah sempat membirukan pantatku, tapi kemana aku harus berlari, diluar gerimis. “Ibu sudah bilang, apa kamu tidak punya telinga!!” teriak keras ibu dari dapur membuat nyaliku menciut, aku berusaha lari tunggang langgang, mondar mandir dari ruang tamu ke teras rumah, kudapati pohon jambu air yang tumbuh dengan banyak ranting, sangat lebat sekali daun-daunnya, mungkin bisa menyelamatkan untuk bersembunyi sesaat dari pencarian ibu. Aku terus memanjat keatas sampai tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah rimbunnya pohon itu, “ibu tak melihatku” batinku lega, kemudian kupandangi kanan kiri atas bawah pohon jambu air itu, daun-daunnya tampak hijau menyekat, tak tahunya dibalik keindahannya banyak ulat-ulat menggelantung disana. Tangan kiriku, pergelangan kaki kananku, pundak sebelah kananku, dan punggungku terasa geli, seperti ada benda berjalan menggerayangi sekitar itu, “ibu…ada ulat di tubuhku” teriakku mengagetkan ibu dalam kebingungan pencariannya. Kedua tanganku berusaha menyingkirkan dan membuang ulat-ulat yang menari ditubuhku, hingga sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku terjadi, aku terpelanting kebelakang ketika kakiku tak kuat lagi menahan beban tubuhku, “gedubrakkkkk” aku terjatuh dari pohon itu.
Hari hari setelah itu aku jalani dengan rasa sesal, tak sekedar rasa nyeri dipunggung yang kurasakan, tetapi juga disekujur tubuhku tampak merah-merah dan gatal, kulitku bentol-bentol terkena racun ulat. Ibu dengan tekun mengusap-usap kulitku yang memerah dengan balsam, sesekali mulutnya meniup-niupkan angin disekitar siku tanganku yang terkelupas karena terbentur tanah, rasanya semriwing dan nyaman tapi sayang tak begitu lama. Beliau tekun menenangkan dengan nasehat yang membuatku menyesal tak mendengar peringatan saat itu.
Hingga setelah sembuh masih kudapati gerimis menghiasi suasana indah dihalaman rumahku, seketika aku bersedih ketika melihat ayah menumbangkan pohon jambu itu, “ayah kenapa dipotong pohon itu?” tanyaku, “buahnya gak ada tapi ulatnya banyak sekali nak, sangat membahayakan diri kita” jawabnya. Seandainya ayah tahu apa yang sebenarnya aku renungkan, aku sangat berterima kasih kepada pohon itu, dia telah memberiku pelajaran yang tiada terkira.
Aku masih jongkok terdiam memandang ayah membawa batang pohon jambu yang besar untuk dibuang ke sampah. “Nak…ambilkan sapu untuk ibu” pinta ibu membuyarkan lamunanku. Aku mulai beranjak dan tersenyum menyambut perintahnya.
Perjalanan masa kecilku mencari hikmah sungguh tak terbayangkan, sering melewatinya dengan diiringi gemericik air keberkahan dari langit. Tertawa menangis terdiam berteriak, segalanya aku lewati dengan senyum dan kesedihan, seperti masa usiaku menginjak enam belas tahun, gerimis kali ini berbeda dengan gerimis sebelumnya, satu per satu orang yang ada disekitarku pergi meninggalkanku, sahabatku Lina pergi jauh entah kemana, dia pindah rumah tanpa memberitahuku, seorang gadis tomboy yang sering membuat aku bingung dengan kelakuannya, tak pernah mau mendengarkan omonganku, tapi selalu muncul ketika aku membutuhkannya, kali ini aku semakin tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, gerimis mengiringi kesendirianku.
Tak berhenti kesedihanku sampai disitu, menyusul kenyataan yang tak pernah terbayangkan, tak berselang lama dari hari Lina meninggalkanku, salah satu orang yang aku kagumi kepribadiannya menutupkan mata untuk selamanya, Nenek dari Ibu meninggal dunia, beliau yang sejak kecil menemaniku bermain layang-layang dipantai ketika ayah dan ibu tak dirumah, beliau yang setiap sore menggendongku dengan menyanyikan shalawat badar berulang-ulang sampai aku tertidur, beliau juga yang tak pernah lama membuatkan bubur kinco (jawa:bubur dicampur gula aren cair) kesukaanku setiap kali minta.
Kesedihanku berangsur-angsur membuyar ketika suara gerimis menyamarkan bayang-bayang kelabuku. Dewasa dan terus bertambah dewasa pemikiran menyelubungi akal sadarku, kesedihan yang berlarut-larut akan menenggelamkanku kedalam belenggu nestapa, aku ingin gerimis kali ini tak sekedar memberi pelajaran dihari-hari yang lampau namun juga bisa membawa sinar terang harapan dikemudian hari, menemukan jalan keluar segala bentuk pertanyaan dan kebimbangan dalam batinku.
Aku tak berusaha mengalihkan pandangan dari gerimis itu, masih berdiri dibalik jendela yang kordennya beterbangan kesana kemari, aku amati terus awan yang masih berarak, mau berjalan kemana setelah dari Timur, oh jangan ke utara, disana masih ada pembangunan jalan flyover, aku yakin para pekerja jalanan itu tidak menginginkanmu, “jangan kau arahkan gerimis kesana, Angkasa” batinku. Tiba-tiba istriku memelukku dari belakang, kedua tangannya muncul dari sela-sela dadaku dan memelukku erat, merubah cuaca dingin kembali menghangat dengan dekapannya yang mesra. “Mas…sarapan dulu, nasi gorengnya sudah siap” tutur katanya membuatku membalikkan muka dan menatap matanya yang indah. “iya sayank…kita sarapan yuk” ajakku.
Imagination and written by : afif
Setting : Kamar kos paling tengah, selesai nulis ba’do dhuhur
Jakarta, 17 Februari 2008
Hari ini kudapati cahaya matahari menusuk rumput rumput liar, sehingga merubah nuansa segar tanaman yang dibiarkan tumbuh dihalaman rumah itu. Sinar mentari memaksa terobos awan-awan yang gelap, sesekali sang surya mengintip lewat celah-celah awan yang kantongi harapan nan tujuan. Lama-lama pandanganku sedikit tersapu kabur ketika air hujan mengguyur atap rumah sedikit demi sedikit lalu jatuh ketanah. Ya…hari ini gerimis, meskipun Jakarta pagi ini didominasi dengan cuaca cerah namun sedikit awan hitam berkerak kelam tampak didaerah Senayan, seperti hari-hari sebelumnya, sedikit air hujan itu yang selalu membuat sebagian anak manusia yang kekurangan ketahanan tubuh akan mengalami demam.
Aku berdiri menatap gerimis lewat jendela kamarku yang terbuka sejak fajar, aku tak pernah bosan pandangi keindahannya, karena aku suka dengan fenomena alam itu, meskipun kadang bisa membawa kedalam kenangan masa lalu terngiang lagi yang membuat airmataku berlinang.
Ketika kecil aku selalu menatap tak berkedip gerimis itu dengan berdiri diatas dingklik (jawa:kursi kecil dari kayu) dan tangan berpegangan teralis jendela, sembari kudengarkan ibu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disampingku, begitu indah begitu tentram suasana rumah. Tiba-tiba aku berteriak “ibu lihat, kolam ikanku penuh air, kapalku bisa berlayar lagi” aku sudah pandai membuat kapal-kapalan dari kertas, itu karena ayah, memang beliau selalu mengajariku dengan sekali contoh, membuatku tertantang membuktikan untuk bisa menirunya. Mulanya kucoba bongkar kapal kertas buatan ayah, kuperhatikan lipatan demi lipatan dengan seksama, hmm…aku mulai kebingungan waktu lupa lipatan selanjutnya, kulihat ayah cuma tersenyum kecut. “Ayah yakin kamu bisa” itu yang selalu terucap dari mulut beliau. Siang dan malam aku selalu menghafal lipatan demi lipatan, hingga satu hari aku bisa merangkainya sendiri, “sekarang kapal buatanku siap berlayar” ucapku penuh bangga, setiap hari aku menunggu gerimis turun, untuk berikan sedikit air dikolam kecilku. Namun yang ditunggu tak kunjung datang, meskipun begitu aku dengan sabar menunggu dan tersenyum.
Saat gerimis itu pula kenakalan kecilku dimulai, aku masih ingat ketika memecahkan gelas kesayangan ibu saat main bola didalam rumah, ibu sudah memeringatkan berulang kali, namun aku mengacuhkannya, hukuman dari beliau bakal aku terima secepatnya. Aku ingin berlari menghindari cubitan ibu yang pernah sempat membirukan pantatku, tapi kemana aku harus berlari, diluar gerimis. “Ibu sudah bilang, apa kamu tidak punya telinga!!” teriak keras ibu dari dapur membuat nyaliku menciut, aku berusaha lari tunggang langgang, mondar mandir dari ruang tamu ke teras rumah, kudapati pohon jambu air yang tumbuh dengan banyak ranting, sangat lebat sekali daun-daunnya, mungkin bisa menyelamatkan untuk bersembunyi sesaat dari pencarian ibu. Aku terus memanjat keatas sampai tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah rimbunnya pohon itu, “ibu tak melihatku” batinku lega, kemudian kupandangi kanan kiri atas bawah pohon jambu air itu, daun-daunnya tampak hijau menyekat, tak tahunya dibalik keindahannya banyak ulat-ulat menggelantung disana. Tangan kiriku, pergelangan kaki kananku, pundak sebelah kananku, dan punggungku terasa geli, seperti ada benda berjalan menggerayangi sekitar itu, “ibu…ada ulat di tubuhku” teriakku mengagetkan ibu dalam kebingungan pencariannya. Kedua tanganku berusaha menyingkirkan dan membuang ulat-ulat yang menari ditubuhku, hingga sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku terjadi, aku terpelanting kebelakang ketika kakiku tak kuat lagi menahan beban tubuhku, “gedubrakkkkk” aku terjatuh dari pohon itu.
Hari hari setelah itu aku jalani dengan rasa sesal, tak sekedar rasa nyeri dipunggung yang kurasakan, tetapi juga disekujur tubuhku tampak merah-merah dan gatal, kulitku bentol-bentol terkena racun ulat. Ibu dengan tekun mengusap-usap kulitku yang memerah dengan balsam, sesekali mulutnya meniup-niupkan angin disekitar siku tanganku yang terkelupas karena terbentur tanah, rasanya semriwing dan nyaman tapi sayang tak begitu lama. Beliau tekun menenangkan dengan nasehat yang membuatku menyesal tak mendengar peringatan saat itu.
Hingga setelah sembuh masih kudapati gerimis menghiasi suasana indah dihalaman rumahku, seketika aku bersedih ketika melihat ayah menumbangkan pohon jambu itu, “ayah kenapa dipotong pohon itu?” tanyaku, “buahnya gak ada tapi ulatnya banyak sekali nak, sangat membahayakan diri kita” jawabnya. Seandainya ayah tahu apa yang sebenarnya aku renungkan, aku sangat berterima kasih kepada pohon itu, dia telah memberiku pelajaran yang tiada terkira.
Aku masih jongkok terdiam memandang ayah membawa batang pohon jambu yang besar untuk dibuang ke sampah. “Nak…ambilkan sapu untuk ibu” pinta ibu membuyarkan lamunanku. Aku mulai beranjak dan tersenyum menyambut perintahnya.
Perjalanan masa kecilku mencari hikmah sungguh tak terbayangkan, sering melewatinya dengan diiringi gemericik air keberkahan dari langit. Tertawa menangis terdiam berteriak, segalanya aku lewati dengan senyum dan kesedihan, seperti masa usiaku menginjak enam belas tahun, gerimis kali ini berbeda dengan gerimis sebelumnya, satu per satu orang yang ada disekitarku pergi meninggalkanku, sahabatku Lina pergi jauh entah kemana, dia pindah rumah tanpa memberitahuku, seorang gadis tomboy yang sering membuat aku bingung dengan kelakuannya, tak pernah mau mendengarkan omonganku, tapi selalu muncul ketika aku membutuhkannya, kali ini aku semakin tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, gerimis mengiringi kesendirianku.
Tak berhenti kesedihanku sampai disitu, menyusul kenyataan yang tak pernah terbayangkan, tak berselang lama dari hari Lina meninggalkanku, salah satu orang yang aku kagumi kepribadiannya menutupkan mata untuk selamanya, Nenek dari Ibu meninggal dunia, beliau yang sejak kecil menemaniku bermain layang-layang dipantai ketika ayah dan ibu tak dirumah, beliau yang setiap sore menggendongku dengan menyanyikan shalawat badar berulang-ulang sampai aku tertidur, beliau juga yang tak pernah lama membuatkan bubur kinco (jawa:bubur dicampur gula aren cair) kesukaanku setiap kali minta.
Kesedihanku berangsur-angsur membuyar ketika suara gerimis menyamarkan bayang-bayang kelabuku. Dewasa dan terus bertambah dewasa pemikiran menyelubungi akal sadarku, kesedihan yang berlarut-larut akan menenggelamkanku kedalam belenggu nestapa, aku ingin gerimis kali ini tak sekedar memberi pelajaran dihari-hari yang lampau namun juga bisa membawa sinar terang harapan dikemudian hari, menemukan jalan keluar segala bentuk pertanyaan dan kebimbangan dalam batinku.
Aku tak berusaha mengalihkan pandangan dari gerimis itu, masih berdiri dibalik jendela yang kordennya beterbangan kesana kemari, aku amati terus awan yang masih berarak, mau berjalan kemana setelah dari Timur, oh jangan ke utara, disana masih ada pembangunan jalan flyover, aku yakin para pekerja jalanan itu tidak menginginkanmu, “jangan kau arahkan gerimis kesana, Angkasa” batinku. Tiba-tiba istriku memelukku dari belakang, kedua tangannya muncul dari sela-sela dadaku dan memelukku erat, merubah cuaca dingin kembali menghangat dengan dekapannya yang mesra. “Mas…sarapan dulu, nasi gorengnya sudah siap” tutur katanya membuatku membalikkan muka dan menatap matanya yang indah. “iya sayank…kita sarapan yuk” ajakku.
Imagination and written by : afif
Setting : Kamar kos paling tengah, selesai nulis ba’do dhuhur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar