Rabu, 12 Maret 2008

ISTRI SOLEHAH


*** ISTRI SOLEHAH ***

(Novel : Cintaku diMalam Lailatul Qadar)


Terdengar lantun suara lirih bacaan Al Qur’an setiap fajar, khas mengalun mengalahkan melodi simphoni relaxasi yang biasa didengarkan untuk terapi pikiran, membangunkan para aura suci untuk bermunajat kepadaMu, terkesimalah para malaikat mendengarnya, terngiang indah disetiap sentuhan ayat sehingga kau jelma saat subuh dengan kehangatan hawa mushab itu, bibir tipis yang setiap saat bergetar menyebut nama Allah, wajah ayu yang bersinar sehalus lilin terselimuti jilbab akan setiap waktu terpercik air suci wudhu, senyum indah dikala limpahan nikmat menghujani keluarganya yang kecil, mata sayup yang tergenang air mata saat musibah menimpa kehidupan Saara, bahkan Ramadhan tidak bisa mengerti tentang air mata itu, ia bersyukur atau sebuah ratapan, karena wanita itu tak pernah mengeluh tentang takdir yang silih berganti mengalir setiap hari, bahkan sampai aliran pembuluh darahnya terhenti. Taukah Saara yang selalu dikagumi wajahnya setiap dia terlelap dalam mimpi, sesungguhnya Ramadhan tak rela jika tingkah laku yang terbungkus kesopanannya ternodai cipratan dosa, akan selalu dijaga meskipun lawan yang dihadapi ratusan pedang bakal mencabik-cabik tepat dijantungnya, Ramadhan sungguh mencintainya.
“ya Allah…aku takut tentang anggapan syirik, sesungguhnya aku tak akan pernah menyekutukanMu atas wanita itu, Kau berikanku surga yang nyata didunia ini, berwujud mahluk yang senantiasa mengingatkanku atas nikmatMu, mahluk yang biasa aku panggil sayank, adalah istriku.” Batin Ramadhan.

Terkadang pernah terbesit kesombongan untuk membuktikan bahwa Saara adalah istri yang tidak salah pilih, terkadang pingin mengepal tangan keangkuhan biar semua tahu bahwa Saara adalah istri yang benar-benar bisa dipercayakan untuk keluarga, terkadang akan busungkan dada tinggi hati untuk bersaing agar semua mengerti bahwa Saara adalah sebenar-benar istri yang terbaik dari yang terbaik, kesolehahannya mengandung sari yang bisa mengobati penyakit hati mereka, Ramadhan tak pernah patah semangat untuk membekukan pendapat manusia yang melecehkannya, orang-orang akan salah menilai, tapi semua itu selalu luluh sebelum berjuang, adalah Saara yang mendinginkan darah yang semula memanas, adalah Saara yang membendung segala amarahnya sehingga semua saraf teraliri kesejukan.

“Semua itu ada massanya, percayalah Tuhan lebih mengerti umatNya, keadilan hakiki bukan disini tempatnya, maafkanlah mereka, segeralah dibukakan mata hati mereka yang tertutup, aku tidak pernah menyimpan dendam, sebagaimana kuinginkan suami yang demikian, sesungguhnya aku tidak menginginkan ketidaktaatan kepada suamiku, aku tidak bermaksut menghilangkan sifat menghormatimu, semoga laknat Allah tidak menimpa keluargaku, sebaliknya semoga nikmat cintaNya dilimpahkan menjadi nikmat cintaku yang luar biasa kepada suamiku” ucap tenang Saara yang menusuk dalam kalbu Ramadhan, terasa sejuk.

Mendengar ucapan istri tercinta seakan rontok seluruh isi tubuh Ramadhan, menjadi lebur tak berdaya, seperti debu yang mudah hilang hanya tertiup angin. Menerawang kagum melihat bibir Saara mengatakan yang belum pernah Ramadhan dengar dari wanita manapun, tak percaya sosok Aisyha RA yang sering ia baca Biografinya sedang mengilhami seorang wanita yang ada didepan matanya.
“ya Allah seandainya yang kupendam dalam hati menentang syari’atMu, hilangkan rasa itu, ya Allah maafkan aku, fithoatillah” jawabnya dalam hati, Ramadhan sungguh beruntung memiliki istri sepertinya, Saara tak sekedar penghias hidup tapi bahkan melebihi apa yang dibayangkan, ucapannya mengandung sabda.

Akan lebih terheran jika orang yang dulu pernah mengecilkan Saara, melihat tingkah lakunya sekarang yang anggun, orang-orang menganggapnya adalah sebongkah batu yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya sebongkah batu yang hanya merepotkan pemiliknya, tapi tidak bagi Ramadhan. Ia yakin sebongkah batu itu yang dipilihkan Allah untuknya, batu yang mungkin bisa mengalahkan puluhan permata yang dulu pernah mencoba menghiasi perjalanan ta’arufnya, sampai ia memilihnya sebagai belahan jiwa, Saara memang tak secantik Siti Hawa, tapi cukup menggetarkan naluri lelaki ketika tersenyum lewat candaannya, Saara memang tak sekaya Ratu Bilqis, tapi batinnya merasa kaya dan selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki, Saara memang tak setegar Fatimah Azzahra, tapi cukup membuatnya nyaman ketika harus berlayar mengarungi kehidupan yang penuh gelombang menghantam.

“Mas…sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor” pinta Saara.
Nasi putih, telur ceplok plus mie instant menu pagi ini yang sudah tersedia dilesehan karpet depan televisi. Rumahnya cukup sederhana, untuk saat ini meja makan belum sempat terbeli, usia pernikahan yang masih dini memaksa belum berfikir memilikinya. Ramadhan cukup kenyang, sudah terbiasa sejak kecil tak pernah membiarkan ada makanan tersisa dipiring.
“Alhamdulillah ya Allah jangan kau hentikan kebahagiaan atas keluargaku, berikan rizqi yang halal dan keberkahan yang luar biasa agar terbelanjakan dijalanMu, jauhkan kami dari bau busuk neraka, curahkan aroma wewangian dariMu, pilihlah keluarga kami sebagai penghuni surga, shalawat dan salam kpd Sang Pangeran Cinta Rasulullah SAW, amin” doa yang pernah diajarkan ibu kepada Ramadhan semasa kecil, sepintas teringat tangan terjuntai dari seorang ibu mengusap rambutnya, mata tajam memandang keoptimisan darinya, seolah menitipkan harapan besar yang tampak tergambar dari raut wajah ibu, beliau tak pernah terlewatkan untuk mengecup kening setiap selesai berdo’a untuk anaknya.

“Nanti missed call ya kalau sudah sampai kantor”.
“InsyaAllah” jawab Ramadhan.

Bergulir hari-harinya yang selalu berjalan akan hiasan kehidupan islami yang tercipta. Setengah tahun mereka berumah tangga, belum pernah berselisih tentang masalah besar, mereka selalu menganggap semua itu hanya hiburan yang tidak mengurangi kasih sayang. Adalah sang istri yang mengajarkan itu semua, merenung sejenak dan berfikir dengan kepala dingin akan mengalahkan segala-galanya daripada mengedepankan emosional.
“Sayank…malam ini jangan lupa menghafal ayat 74 surat An-Nissa” pinta Saara, jari lentiknya mengencangkan ikatan jaket yang dipakai suaminya.
“Astaghfirullah…aku hampir lupa, iya aku pasti menghafalnya” seolah-olah Ramadhan terkaget.
“heheheee…istriku belum tau, bahwa aku sudah menghafalkannya sampai ayat ke 112” batinnya.
Ramadhan memang berjanji untuk mempersembahkan hafalan surat An-Nissa disaat ulang tahun istrinya, saat yang dinantikan masih 1 bulan 12 hari, sebenarnya keinginan yang sederhana, Saara minta disaat malam menyambut ulang tahun, Suami ada disampingnya membaca bersama secara bergantian ayat demi ayat. Kenangan Saara bersama sahabat bisa dilanjutkan meskipun sudah punya suami, ritual sebelum dia tidur harus menghafal beberapa ayat tidak boleh hilang tersapu kesibukan rumah tangga, cita-cita yang sungguh mulia, mungkin dia tidak tahu diluar sana masih banyak problem wanita sekarang disibukkan perawatan tubuh, antri cat rambut di salon, menabung dosa lewat gossip atau bahkan membuka aib suami mereka, mengoleksi berbagai bentuk permata untuk dipamerkan satu sama lain.
“masyaAllah…semoga dia tidak termasuk kebanyakan wanita itu, sesungguhnya yang Maha Khaliq menjaga wanita-wanita solehah, jauhkan dia dari tipu daya syaitan” batin Ramadhan mengiringi jalan menuju pintu keluar.
“oh ya…nanti malam jangan lupa juga, setelah aku berhasil menghafal beberapa lanjutan ayat, imbalan indahnya cinta bisa aku temukan ditempat tidur, seperti tadi malam sayank…” kedipan mata Ramadhan cukup mengisyaratkan mengerti yang dia maksut.
“ehem…ehem…ehem…maunya…, aku terima tantangannya, aku tunggu episode malam ini yang lebih indah, hati-hati dijalan ya…” tersenyum manja seolah menarik kuat Ramadhan untuk tidak meninggalkannya walau sedetik.

Sepanjang jalan mulut Ramadhan berkomat kamit menghafal ulang ayat 74 sampai 80, ia tidak peduli meskipun bibirnya mulai mengering, walaupun sudah hafal ia tak ingin terlihat canggung didepan istrinya nanti, untuk memastikan Ramadhan melantunkan berulang-ulang. Tak terasa dia berjalan kaki hampir sampai halte bus jurusan uki-grogol, sudah saatnya dia bersiap lari untuk mengejar bus kota yang membuat sebagian orang merasa gerah berada didalamnya, yang selalu sesak dengan himpitan banyak orang, yang membuat stress menghadapi kemacetan selama perjalanan, tapi mungkin tidak bagi Ramadhan. Dia selalu berfikir waktunya bisa berguna selama perjalanan, tidak terbuang sia-sia, mempunyai kesempatan sebagai ajang pengumpulan pahala, ia tidak pernah lupa membawa buku bahan bacaan selama perjalanan atau mungkin merencanakan agenda pekerjaan hari ini, semua itu membuatnya terhibur.
“grogol…grogol…grogol…” teriak konduktur berkumis tebal, tanpa berfikir panjang langsung lompat ketika pintu belakang bus berada tepat didepannya.
“Alhamdulillah…masih banyak bangku kosong” batinnya seakan lega.
Tidak biasanya bangku dibiarkan kosong, mungkin banyak penumpang yang sudah terlanjur naik bus yang ada didepan, selisihnya memang tidak terlalu jauh. Orang berlarian mencari tempat duduk yang terasa nyaman bagi mereka, mungkin ini kesempatan untuk memilih. Akhirnya dipilih bangku paling belakang sebelah kiri dekat jendela kaca, Ramadhan masih teringat ucapan istri tercinta yang membuat suasana hatinya kangen, manjanya begitu menggoda, sudah masuk direlung pikiran yang paling abstrak.
“uhh…aku harus mencoba untuk mengusir pikiran itu, mungkin aku terlalu sayang padanya” mulai dibuka buku agenda kerja hari ini, mungkin ini akan berhasil mengusirnya.
“mas…bisa minta tolong, jendela dibuka sedikit, gerah sekali” pinta tiba-tiba ibu berkaca mata disebelahnya.
“uhh…saya sebelnya begini nih, kalau naik bus kota yang gak nahan tuh gerahnya” protes ibu.
“iya bu…” jawabnya, Ramadhan tak ingin menambah omongan lebih lanjut,“heheheee…kalau gak mau gerah, naik taxi kali” batinnya seraya tersenyum dalam hati.
(Bersambung...)

Tidak ada komentar: