Minggu, 11 Januari 2009

Kembalinya Emilia

Dikejauhan terdengar suara bunyi tit tit dari sebuah ponsel model kuno, tanda sebuah pesan diterima.

“……….rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanah waqina adzabannar, amin ya abbal a’alamin” selesainya doa mengakhiri sakralnya sebuah ibadah, seorang pemuda bangkit dari duduk sila-nya. Ibadah yang sering ia lakukan disiang hari adalah ibadah sunnah. Kebanyakan orang menilai ibadah sunah adalah untuk menutup kurang sempurnanya ibadah wajib, begitu juga dengan pemuda itu, ia hanya berfikir sesederhana itu, lalu dengan begitu sederhananya ia tak sempat melihat dengan mata yang dititipkan Allah untuknya, ketika berdiri tak melihat ada daun jendela musholla yang tegak diatasnya.

“jeduggg…”
“wuaduhhh…asemikkk sakit banget” celetuknya.
“hihihiiii…makanya kalau shalat matiin hp, pasti mikirin siapa yang kirim sms kan?!” sahut teman disebelahnya.
“gak tau dari kemarin setiap ada sms masuk hatiku berdebar-debar, kaya orang dikejar dedemit” jawabnya.
“udah jangan kebanyakan cing cong, udah tuh hp butut lu menunggu untuk dijamah”
“emang apaan dijamah?! Dari pada mikir yang macem-macem, aku jamah dulu deh, heheheee…”.
“hmmm…maunya”.

Wajah tak pernah bohong, ketika meng-unlock hp, wajah yang tampak sumringah sudah bisa mewakili isi pesan yang ada di hp itu. Senyum senyum sendiri membuat penasaran teman yang ada disebelahnya. Sejak kemarin Batas hanya merenung, lebih meluangkan waktu istirahatnya dimusholla, membaca kitab majmu syarif adalah kegiatannya.
Tiba-tiba ada sms masuk wajahnya berubah drastis, dari ditekuk menjadi longgar.
Sosok pemuda yang bertubuh agak pendek darinya, mencoba mendekatinya. Samsul adalah namanya, dia tak hanya berperan sebagai teman Batas, namun lebih dari itu, nasehat dan sarannya selalu didengarkan Batas, tak hanya kemampuan berfikir, tetapi ia juga ahli dalam bidang agama, khususnya Islam. Panggilan ustad sering ia terima acapkali memberi masukan kepada Batas.

“ada apa sih prent? Knapa senyum senyum sendiri?” tanyanya.
“Alhamdulillah…aku harus bersujud syukur, bukan dedemit lagi yang bakal aku jamah, tapi anak manusia yang sebentar lagi halal bagiku” jawabBatas.
“Syukurlah…aku sudah bisa menebak dari siapa sms itu, dari seorang wanita yang sejak kemarin membuatmu gusar kan?!”.
Dari awal pertemuan dengan Mlati yang begitu singkat, Batas selalu meminta saran dan pertimbangan kepada sahabatnya itu, dari penggambaran seorang Mlati hingga ajakannya menikahi gadis itu. Apakah layak seorang pemuda yang sedikit ilmu islaminya menaruh cinta pada seorang gadis santri. Tak lain tak bukan adalah Samsul yang menguatkan semangatnya untuk mendapatkan Mlati.
“dua hari lagi aku menikah, Sul” ucapnya singkat, menyebarkan senyum senyum didepannya sambil menepuk pundak sang sahabat, Batas tampak girang. Bersujudlah Batas.

“Sul…apa kamu masih ingat sesuatu yang aku bicarakan dl, aku menabung sekian uang untuk berniat meminang gadis manapun yang mau diajak menikah, setiap saat aku berdoa kepada Allah, untuk mencarikan seorang gadis yang bisa jadi makmum dalam rumah tanggaku nanti, tidak sekedar makmum yang selalu ikut imamnya, namun sekaligus bisa menjaga perilaku dan lidahnya untukku, Sul?! Aku bersyukur…malah Allah sendiri yang memudahkan jalannya, aku bersyukur Sul…akhirnya Mlati mau menikah denganku”.
“semaksimal apapun usaha manusia jika dipersulit olehNya, semua daya kita adalah sia-sia, namun jika Allah menghendaki untuk mempermudah usaha kita, tak perlu daya sekuat tenaga untuk menggenggam kapuk ditangan, cukup mengedipkan mata sudah disebut usaha, itulah rahasia Ilahi. Ingat kamu harus bisa mengimbanginya, godaan mempunyai istri seorang santri lebih berat dari pada mempunyai istri golongan bukan santri, nanti biar aku sendiri yang mengawasi semua tingkah lakumu setiap hari” penjelasan Samsul menguatkannya.
“insyaAllah aku siap menanggung resikonya, Sul… Kamu harus bantu aku, ingatkan aku jika salah melangkah membimbingnya” balasnya.
“aku tidak menempatkanmu sebagai temanku, tapi sebagai bagian dalam hidupku” lanjut Batas.
“bersyukurlah kita semua Batas…” Samsul memeluk sahabatnya sangat erat. Seerat gelang karet yang melingkar dipergelangan saat kena suhu dingin.
Sangat erat.

“Dueeeerrrrrrrr….!!!!” Tiba-tiba suara dentuman yang amat keras mengagetkan semua orang yang berada tak jauh dari suara itu berasal. Nampaknya bukan berasal dari gedung tempat kerja Batas, namun dari luar sana.

“suara apa itu, Sul…” Tanya Batas.
Seorang yang ditanya hanya mencoba meraba lewat gendang telinganya, sambil mengernyitan dahi, lalu menelengkan telinganya. Tak ada jawaban pasti yang bisa ditarik kesimpulan, lalu Samsul kembali memandangi Batas tanpa isi, tatapan kosong yang ia lontarkan. Mereka saling bertatapan namun masih tetap membisu, mencoba lagi mengambil sebuah kesimpulan, lagi-lagi masih tampak bengong. Dengan sedikit penasaran Batas bicara.
“sepertinya ada tabrakan”
Musholla tempat Batas bekerja berada tepat dilantai dasar gedung, jaraknya hampir mendekati jalan raya, bahkan hanya pagar besi saja yang membatasinya. Kedua pemuda itu segera keluar dan mencari darimana suara itu berasal. Segera berlari keluar musholla dan tak lupa memakai sepatu lebih dulu.

“benar kataku Sul, tabrakan didepan musholla kita, lihat itu…!!!” sambil jari Batas menunjukkan tempat kejadian tak jauh dari mereka berdiri.

Sebuah mobil sedan warna hitam dan truk box saling berhadapan, dengan kondisi mobil sedan sangat parah. Pintu sebelah kanan penyok, tutup mobil kap-nya terbuka dan mengeluarkan banyak asap putih yang tebal. Orang berdatangan dari berbagai sudut jalan, langsung mendekati tempat kejadian, tak ada yang berani mengambil inisiatif dengan apa yang mereka lihat, lihat dan saling lihat, polisi juga belum menampakkan kesigapannya dilokasi, padahal tak jauh dari situ ada pos jaga polisi, tetapi kosong pada saat kejadian. Korban masih dibiarkan berlumuran darah didalam mobil, sopir truk yang tak terluka tampak bingung dan gusar apa yang harus ia perbuat, mondar mandir dan ketakutan tampak diraut mukanya.
“sedan itu yang meleng, sehingga menabak truk saya” ucap terbata-bata sopir yang berbadan gempal itu. Dia yakin tak bersalah, mencoba mendekati pintu kanan mobil yang penyok, lalu membuka dan mencoba mengeluarkan korban yang terluka didalamnya.

“hati-hati, pak..biar saya bantu” ucap tiba-tiba seorang pemuda yang ngos-ngosan saat berhasil menerobos rimbunan orang banyak.

“bapak pegang kakinya saya mencoba mengeluarkan badannya, Sul...kamu pegangin pintu mobilnya”
“baik mas…” jawab sopir truk.
“oke Tas…” jawab Samsul hampir berbarengan dengan jawaban sopir truk itu.
“tung…tunggu mas, saya tidak apa-apa kok, jangan bawa saya ke rumah sakit, saya gak papa” suara berat yang keluar dari mulut pemuda didalam mobil yang terlihat koyak.
Pemuda berkacamata tebal itu mencoba mengangkat badannya sendiri, agak kesulitan. Batas membantunya keluar dari mobil, terdengar dari kejauhan salah seorang dari rimbunan orang yang berkumpul berteriak untuk memanggilkan Ambulance.
“jangan pak...” teriak pemuda berkacamata.
“saya tidak apa-apa, mobil saya saja yang parah, serius tidak apa-apa. Mana sopir truk itu? Saya mau meminta maaf...”ucapnya tergesa-gesa, matanya melirik kekanan dan kekiri, hanya didapati kerumunan orang banyak yang memperhatikannya dengan simpati.
“Yoyok…lu gak papa kan prent?!” lanjutnya memanggil sosok pemuda yang masih tertinggal didalam, diduga pingsan karena tangannya tak bergerak sama sekali. Tak lama dia berteriak.
“gue gak mau mati…gue gak mau mati…” teriaknya. Kontan semua orang berbalik pandang kepada pemuda yang masih didalam mobil sedan.
“tenang men..lu belum mati, kita masih hidup” pemuda berkacamata itu menenangkan teman satunya.

Keadaan tambah runyam jika kecelakaan itu dibiarkan begitu saja dijalan raya, kecelakaan itu tidak hanya menyebabkan kemacetan, kerumunan orang banyak juga menimbulkan ketakutan kedua belah korban, baik sopir truk bertubuh gempal maupun kedua pemuda yang baru saja berhasil keluar dari mobil sedan. Mobil sedan itu masih mengepulkan asap tebal, terus membumbung tinggi ke angkasa.

“aku tadi melihat bidadari, sungguh dia bukan manusia, dia sempurna, begitu indah, aku kalap ketika melewati lampu merah, wanita itu seakan-akan membutakan mataku, dia amat cantik, lalu aku menabrak truk itu” kata-kata pelan pemuda berkacamata itu kepada Batas yang masih memegangi sebagian tubuhnya.
“wanita??? dia melihat wanita dan membiarkan mobilnya melewati lampu merah lalu menabrak truk itu, masyaAllah…” batin Batas menanggapi penjelasan pemuda itu.
“dia…dia…dia…kepalaku pusing” tangan pemuda berkacamata itu menunjuk kearah tebalnya asap mobil yang masih mengepul. Tak lama dia pingsan, jatuh ditangan Batas, dengan sigap Samsul yang berada disebelahnya membantu mengangkat tubuh yang lunglai itu.
“knapa dia Tas?” Tanya Samsul.
“bawa dia ke truk mas, biar saya bawa ke rumah sakit” sahut sopir truk.

Batas mencoba melihat dibalik tebalnya asap mobil sedan yang masih mengepul, pandangan kabur yang ia dapati, sosok wanita yang cukup tinggi sedang menghampirinya, namun pandangan itu masih kabur.
Lelaki yang baru saja pingsan sudah dibawa masuk kedalam truk oleh Samsul. Samsul mendekati Batas, lalu pandangan dijatuhkan kearah Batas memandang dengan tajam.
Mulut Batas terbuka sedikit mencoba mengeluarkan suara. Sosok wanita yang tampak kabur dari kejauhan semakin mendekat, dekat dan semakin dekat, wanita itu berlari kearahnya. Menerobos kepulan asap yang tebal, dia berjalan kearah Batas, begitu dekatnya lalu meloncat untuk memeluknya.
“Batas…aku takut” ucapnya.
“dia melihatku, sebelum terjadi tabrakan hebat tadi” lanjut gadis itu.

Gadis yang tak lagi samar dilihatnya, kembali memeluknya sangat erat setelah saling tatap pandang dengan Batas.
Rambutnya yang tergerai lurus sungguh indah, dibiarkannya terbang kesana kemari untuk dibelai angin, wajah ayunya menampakkan keluguan yang luar biasa. Batas hanya terdiam dan membiarkan gadis itu memeluknya, tak lama dia kaget bukan kepalang, yang memeluknya adalah seorang gadis amat cantik, bahkan kecantikannya sempat membuat buta mata lelaki yang pingsan itu, dikira seorang bidadari yang turun dari kahyangan.

“Emilia…” ucap Batas kaget.
“bagaimana kau tau aku disini?” tanya Batas dengan tangannya berusaha melepaskan dari pelukan. Mata indah pemilik nama Emilia itu mencoba mengedipkan berkali-kali, agar air yang ada disitu ikut jatuh dan mengering, tangannya mengusap satu kali dibagian yang tercekung dari matanya, lalu terbuka menatap Batas. Sangat dalam tatapan itu, sehingga dirasakan Batas terlalu lama menunggu tanpa ada jawaban yang ia terima.
“apa yang kau lakukan disini?” lanjutnya.
“aku mau menemuimu, ada kabar untukmu, Batas…” ucapnya.
“kita bicarakan nanti…aku harus ikut mengantarnya ke rumah sakit” jawab Batas.
Berlalu dan pergi meninggalkan tempat kejadian. Batas, Samsul dan lelaki yang pingsan dengan sopir truk itu segera melaju dengan kecepatan yang maksimal menuju rumah sakit. Deru suara knalpot semakin mengecil lalu tak terdengar lagi, pertanda truk itu sudah meninggalkan jauh tempat kejadian.
Sementara suara bising klakson dari berbagai kendaraan masih terdengar ditelinga gadis itu, karena masih terjadi kemacetan selama kedua mobil itu melintang ditengah jalan. Sebagian orang berteriak-teriak tak karuan, sebagian orang mengamati mobil yang tak henti-hentinya mengeluarkan asap, sebagian orang hanya mengamati dari kejauhan ada apa rimbunan banyak orang, dan sebagian mengamati langkah layu seorang gadis cantik yang berjalan didepan mereka.

“cantik ya gadis itu” ucap salah seorang ibu yang tak jauh dari Emilia berjalan.
“bukan cantik tapi anggun” balas seorang ibu yang berdiri bersebelahan dengan ibu pertama yang berucap.
Emilia tak peduli dengan kebisingan, teriakan orang, banyaknya mata yang memandangnya, bahkan ada yang menatapnya dengan kagum.
“Batas…dari dulu kamu gak pernah berubah, selalu pergi dan menghilang begitu aku datang, sampai kapan kau bisa mengerti tentang perasaanku, perasaan seorang Emilia” batinnya.

Rabu, 07 Januari 2009

Ranumnya Perasaan Mlati

Matahari pagi ini bersinar lebih terang, sinarnya tampak berkilau ketika memantul ke air, suara beberapa ekor angsa membuat bising ditelinga, menandakan makanan yang tersedia di bumbung itu habis, mereka lapar, tiba-tiba salah satu angsa mencoba mendekati tuannya untuk meminta makan, namun tuannya hanya mengamati dari pintu pawon (jawa:dapur), tak jelas mau memberi makan atau tidak, mata tuannya menerawang mengamati pohon pisang yang buahnya bergerombol nampak belum matang, tak lama itu ia berkedip mengamati angsa yang mendekatinya, lalu angsa itu tiba-tiba pergi, seolah-olah tahu tuannya sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa diganggu.

“Mlati…ibu perhatikan dari selesai subuh, kamu berdiri disitu terus?” suara wanita setengah baya membuyarkan lamunannya.
“mbok ya dipake nderes” lanjutnya.
Masih tak beranjak ditempat ia berdiri, menghela nafas panjang membuat sedikit plong dalam ruang dada, ditangannya ada selembar kertas, nampaknya kertas itu sudah kusam dan sedikit sobek dipinggirannya, lalu ia hanya melangkahkan satu kaki untuk mengambil dingklik.

“biar Mlati saja yang membuatkan kopi untuk bapak, bu” ucap gadis yang sedari tadi mulutnya ndremimil mengucapkan sesuatu namun tak jelas terdengar.
“tumben nduk…ono opo toh cah ayu? kertas apa itu yang kau pegang” balas ibunya sambil tangannya mencoba meraih kertas kusam itu.
“ooo…daritadi mulutmu ndremimil tuh baca doa ini, ada yang kamu pikirkan?”

“cethek…cethek…cethek….wuuuggg…”suara kompor gas yang langsung menyala ketika tombol diputar oleh kedua jemari lentik Mlati.

“bu…”
Ia bangkit dari duduknya, berjalan tiga meter meraih gayuh untuk mengambil air didalam genthong. Kebiasaan orang jawa turun temurun masih selalu dipakai keluarga Mlati, genthong selalu sebagai tempat untuk mengendapkan air yang sudah diambil entah itu dari sungai ataupun dari PDAM.
“mbok ya kalo mau ngomong, jangan sambil mondar mandir, ibu malah bingung” cetus ibunya.

“mas Batas bu…” lanjut Mlati, merasa arah pembicaraannya susah ditebak ibunya, lalu ia berhenti sejenak tak lama mondar mandir lagi entah itu mengambil gelas lah, mengambil sendok lah, garam lah, tempat bumbu lah, dan lain lain lah. Kegelisahannya nampak dari tingkahnya yang aneh. Cukup gula dan kopi saja jika ingin menyajikan secangkir kopi untuk bapaknya. Yang tidak perlu ia ambil juga.
Membuat ibunya tersenyum melihat tingkah anaknya yang lucu.
“Batas knapa??” mata ibunya kesana kemari mengikuti ayunan langkah anaknya.

“mas Batas mengajak menikah bu” jawab Mlati ragu-ragu.
“oooo…jadi itu yang membuat anak ibu dari tadi berdiri di pintu pawon dan mondar mandir gak jelas” guyon ibunya.
Langkahnya berhenti dan wajahnya berpaling menatap wajah ibunya.
“Jadi ibu gak marah? Ibu setuju?” Mlati melontarkan pertanyaan dengan penuh semangat.
Menggelengkan kepala sudah cukup mewakili jawaban dari pertanyaan yang keluar dari mulut anak gadisnya.
“hari ini kan keluarga Batas silaturahmi kesini, sekalian untuk naleni, bulik Dhiroh sudah ibu suruh masak-masak untuk keluarga calon suamimu nanti jika datang” balas ibunya.

“ibu…”
“kalau itu Mlati sudah tau”
“sebenarnya Mlati tidak setuju dengan ada acara lamaran dan tukar cincin dulu, membuang buang waktu saja, padahal turunnya pahala dari Allah di pernikahan itu”.
“maksut Mlati…menikah dalam waktu dekat ini?” lanjut Mlati.

Seketika darah ibunya bergejolak naik, merambati sekujur bagian kulit yang terdalam, malah panas dingin yang ia rasakan. Rasanya mau meledakkan amarah kepada anak gadisnya yang ada didepannya. Pembicaraan yang semula santai kembali menegang.
“apa kamu gak ingat janji kepada ibu, bapak, budhe, mbahe, dan adik-adikmu sebelum kamu berangkat ke pondok?” lantang suara ibunya dari ruang dapur.
“nggowo Alqur’an kuwi abot, tidak untuk mainan, itu mewakili janji Allah nduk, ibu tidak sekedar tahu tapi ibu juga mengerti, disetiap juz yang kamu hafal itu pasti ada cobaan yang datang, pokoknya ibu gak setuju kamu menikah sebelum khatam ngajimu!!!”
“wis titik”.
Kata terakhir yang diucapkan ibunya berbarengan dengan mendidihnya air yang dimasak Mlati.

“nyuwun ngapunten bu, bukan maksut Mlati untuk melanggar janji itu, jika apa yang dilakukan Mlati itu benar apalagi sabda Rasul mensunnahkan pernikahan itu dengan Lillahi ta’ala, mungkin tidak ada salahnya mengindahkan janji itu, semoga semua diridhoi bu” balas Mlati dengan mengikuti langkah kaki ibunya keluar dari dapur, dan membiarkan air yang sedang mendidih diatas kompor, sangat berbahaya jika dibiarkan.

“ehm…ehm…ada apa toh pagi-pagi sudah ribut?” dehem seorang lelaki cukup menyita perhatian kedua kaum hawa yang sedang berbicara dirumahnya.
“anakmu njaluk nikah sak cepete, pak…lha wong durung khatam malah aing aing” lapor ibu Mlati kepada suaminya.
“bener kata ibumu itu nduk? Knapa toh?” tanya bapak kepada Mlati.
“Mlati dan mas Batas tak kuat untuk puasa lagi pak, takut fitnah, takut dosa”.
Pandangan bapaknya tidak jauh dari pandangan anaknya lalu mengalihkan untuk melihat sosok istrinya yang lebih memilih menghadap jendela terbuka.
“bu…anak kita sudah gedhe, tidak ada salahnya mereka itu melangkah yang lebih barokah, toh tidak menggangu ngaji Mlati, Batas biarin saja kerja disana, kamu nduk tetap ngaji, selesaikan dulu cita-citamu” jawaban bijaksana seorang bapak, selalu mengalirkan jalan keluar.

“itu yang akan Mlati dan mas Batas rencanakan, pak” sanggah Mlati.
“kalaupun Mlati sudah menikah nanti, Mlati tetap konsentrasi mengaji dipondok, sedangkan mas Batas konsentrasi di pekerjaan dulu, Mlati merencanakan walimahannya setelah Mlati khatam, Mlati hanya minta akad dipercepat, dan bapak ibu merestui, itu saja” lanjutnya.

Semilir angin dari luar yang menerobos lewat jendela rumah sedikit meredam amarah yang tadi sempat mampir dalam diri sang bunda. Keinginan anaknya ikhlas Lillahi ta’ala, kenapa hanya sebuah hati yang keras miliknya tak bisa diluluhkan dalam batinnya demi kebahagian anaknya. Sebongkah karang yang kuat bisa hancur diterjang ombak, demi menghiasi indahnya bibir pantai. Ibu itu tampak yakin perkataan yang dilontarkan anak gadisnya tidak sekadar ucapan mulut belaka, namun ucapan yang diiringi dengan niat tulus dan doa.
“ibu jadi terharu mendengar perkataanmu nak, apa kamu tidak menginginkan suamimu berada disampingmu? Bukannya ibu tidak ikhlas melepasmu, apa artinya pernikahan jika kalian berpisah satu sama lain? Bagaimana nanti jika kau merindukan suamimu? Bukankah akan membuatmu tersiksa? Lalu bagaimana perasaan Batas? Apa sudah kau pikirkan sejauh itu?” sangat santun kata demi kata pertanyaan dilontarkan sang bunda. Membuat Mlati teduh mendengarnya.
“apalah artinya pengorbanan jika nantinya demi satu tujuan, seperti tangan ibu, tangan ini saksi sebuah pengorbanan yang dulu pernah ibu lakukan, menggendongku ketika aku masih 3kg, mencuci kotoranku ketika aku masih bayi, tertindih kaku tatkala aku tertidur disitu 2 jam lamanya disaat ibu mengikuti pengajian kampung, sampai menahan tubuhku terpelanting dari pohon jambu yang mengakibatkan tangan itu terkilir, baru sebulan lamanya sembuh kembali, itu semua demi satu tujuan, menciptakan anak yang diimpikan ibu, Mlati saat ini belum apa-apa, cita-cita masih jauh dikejar, tapi demi itu aku ikhlas membayar pernikahanku dengan terpisahkan sesaat oleh suamiku, demi Alqur’an yang aku pelajari, itu impianku dan juga impian ibu” amat pelan dan teratur mulut Mlati berbicara.

“anakku…mendekatlah pada ibu, ibu mau memelukmu” mata ibu kerlap kerlip menandakan ada air dikelopaknya, lambat laun air jatuh kepipi, membasahi baju Mlati. Kebahagian seorang wanita terkadang dihiasi dengan linangan air mata. Air mata adalah air suci yang tidak mensucikan, tetapi kesucian hati yang menyebabkan air itu begitu bermakna.
“ibu bahagia mempunyai anak seperti Mlati, bahagiamu adalah bahagia ibu, ibu restui pernikahanmu nak, lalu apa rencanamu selanjutnya?”
“ibu saja nanti yang mengatur pembicaraan dengan orang tua Batas, biar Mlati yang menelpon Batas, agar tak terjadi suudzon dilingkungan tetangga ataupun keluarga besar kita, Mlati mengusulkan akad dilaksanakan dirumah orang tua Batas”
“ehm…kapan kamu pulang ke pondok, nak?” Tanya bapak.
“tanggal 25 desember nanti ada acara Haul dipondok, kebetulan Mlati dapat jatah juz 11, sehari sebelum itu Mlati harus sudah ada disana” jawabnya.
“berarti masih ada 8 hari tersisa, masih ada waktu untuk bisa dilaksanakan akad, segeralah kau telpon Batas” timpal ibu.

Berlari kearah kamar, itulah pikiran pertama Mlati, mengambil handphone adalah tujuannya. Handphone Nokia seri lama setia menemani senyum sumringahnya ketika membuka tombol unlock.
“ada sms?” batinnya.

Aku tunggu jawabmu tidak hanya sepertiga malam bahkan sampai ayam berkokok tak ada jawaban sepatah katapun, hanya sms kosong yang kuterima, jawablah Mlati dengan hatimu. Isi pesan singkat dari nomor Batas.
Lalu Mlati mencoba membalas.
“aduh kasihan sekali belahan jiwaku menunggu sebuah jawaban” batinnya..

Itu sudah mewakili jawabanku, maka pulanglah, 2 hari lagi kita akad. Tinggal pencet tombol sent, isi sms itu tak lama terkirim ke nomor Batas.
Senyum yang lebar mengiringi terkirimnya sms itu, Mlati tak juga beranjak dari dalam kamarnya, senyum dan loncat loncat sambil memandangi handphone-nya adalah tanda kebahagiaan.

“Mlati…mancine gosong, bapakmu rak sido nggawe kopi!!!!” teriak ibu didapur.
“Astaghfirullah…aku lupa matikan kompor” batinnya.

Tunggulah Jawabku diSepertiga Malam

Hari ini dipenuhi dengan pertanyaan, pertanyaan dalam hati yang semakin dibiarkan semakin bergemuruh. Setiap detik selalu menerka sendiri apa apa yang salah dalam tingkah maupun ucapannya. Terbawa penasaran yang berlebihan sungguh menyiksa hati, membolakbalikkan badan ditempat tidur tak mampu menjawab rasa gusar yang ada sejak terakhir menerima pesan singkat dari Mlati. Sesuatu yang diucapkannya sungguh membuat Batas penasaran, sungguh amat penasaran.

“apa yang salah dalam diriku” gumamnya dalam hati.

Mencoba membuka lagi pesan singkat yang ada di handphone-nya, dibaca lagi dengan pelan dan menyimak isi pesan yang diterima.

Tak lazim kau ucapkan sesuatu kata yang mengundang syaitan itu.

Baca dan berulangkali baca, sejenak menyimak dengan seksama, apa makna dari isi sms itu. Ia hanya mampu berfikir sejenak dengan memejamkan mata lalu membukanya. Lagi lagi tak menemukan jawaban yang pasti.
Sejak terakhir Batas menelpon Mlati tak ada kata balas salam seperti biasanya, malah pesan singkat yang diterima, setelah itu hanya diam dan diam tanpa melakukan sesuatu. Bertanya diri sendiri dan melihat diri itu lebih baik menurutnya.

“hanya dia yang bisa menjelaskan ini, aku harus menelponnya sekarang” batin Batas.

“Assalamu’alaikum…bisa kita bicara?”
“apalagi yang kita bicarakan?!”
“apa maksut sms itu?”
“seharusnya jawaban itu sudah kau dapat dari sejak pertama kau terima sms itu”
“sungguh aku tak mengerti”
Diam sejenak membiarkan otak Batas berfikir, mengindahkan detik berjalan tanpa ada suara dari lawan bicaranya.

“sayank…” Batas mencoba mengawali.
“jika mengharapkan sesuatu pada orang lain, tolong hargai bagaimana perasaannya, dengan kau mengucapkan sayank kepadaku, sama saja kau berusaha melukaiku”.
“maksutnya…???”
“jangan panggil aku sayank!!!”
“knapa?”
“itu haram!!!”
“lalu apa yang bisa aku lakukan, jika apa yang aku ucapkan semua untuk bahagiamu?!”
“berpuasalah…sampai aku benar-benar halal bagimu”.
Seketika langit seakan runtuh dikamar kos yang kecil itu, tak percaya sepatah ucapan yang keluar dari mulut Mlati sungguh mengagetkannya. Sungguh jarang ketika seorang wanita berani menolak terang-terangan kata sayank yang dianggapnya tabu, ya memang tabu, dalam ajaran islam dilarang mengucapkan sesuatu kata mesra kepada seorang yang bukan muhrimnya.
Ada berbagai batasan bagaimana orang bersikap dengan lawan jenis, semua itu telah diajarkan Rasulullah. Mulai dari cara lelaki memandang sampai cara berkenalan dengan lawan jenis. Mata lelaki mengandung naruni mata serigala, dianjurkan jangan menatap wanita yang bukan muhrim terlalu lama, lebih mulia secepatnya mengalihkan pandangan dan beristighfar.

Batas hanya terdiam saat mendengar ucapan Mlati yang berintonasi cukup keras, selama ini ia melakukan sebuah kesalahan yang besar, bahkan diringi dengan dosa yang begitu besar pula. Batas melihat apa yang dilakukan untuk bahagianya, namun disisi lain ia tak tahu bagaimana perasaan yang dimiliki gadis manis itu, kata mesra bisa melambungkan sebuah harapan yang tak nyata, racun sebuah kata mesra bisa membius Adam ketika Hawa membujuk rayu pasangannya yang di tumpangin muatan syaitan. Sehingga ia turun ke bumi dari surga.
Batas kembali mencerna pembicaraan yang terjadi, semula biasa saja namun yang dirasakan adalah berbeda dari biasa. Gadis itu membuatnya kelimpungan, membuatnya gundah, membuatnya tertantang untuk merubah ucapannya, membuatnya berfikir apa yang harus diucapkan selanjutnya.

“maafkan aku…akan aku jaga mulut” ucap Batas pelan namun jelas terdengar Mlati.
“syukron katsir”jawab Mlati.
“Alhamdulillah”
Saling senyum bisa dirasakan meskipun dalam percakapan via telpon, aura bahagia yang semula tak tampak kembali keluar lewat obrolan yang kemudian mendingin.

“aku khawatir tak kuat sebagaimana yang kau sarankan, berpuasa dengan arti lebih dari menahan nafsu makan bukan kemauanku, tapi syariat sunnah yang menganjurkan untuk melakukannya”.
“lalu?”tanya Mlati dengan sungguh-sungguh.
“ada baiknya kita menikah”
“Menikah???”
“iya…kita menikah” jawab Batas dengan tegas.

“apa gak terlalu cepat kau mengatakan itu, belum 4 hari aku memberikan kitab itu, apa sudah kau baca?” Mlati sengaja membekali kitab Qurrotul ‘Uyyun untuk Batas, sebelum dia kembali ke pondok, kitab dengan sampul berwana hijau-kuning tampak lusuh karena tercetak dikertas yang tidak begitu putih bersih. Bagi orang awam yang tak mengenal kitab itu mungkin akan segera menanggalkannya dengan melihat dulu warna kusamnya, tapi gadis mungil itu percaya dengan kitab itu Batas akan berubah perilakunya, tak sekedar menyelesaikan bacanya tapi juga menjalankan perintah yang tersurat didalamnya.

“aku sudah khatam dua kali, percaya kan?! aku gak mau menundanya lagi”.

“bagaimana ia bisa khatam secepat itu dengan segala macam kesibukannya, bahkan sampai dua kali” batin Mlati dengan hanya senyum kecil, karena senyum itu cukup menghiasi manisnya wajah yang dimilikinya. Dengan melepaskan headset yang semula menempel ditelinganya, dia mendekatkan handphone ditelinga sebelah kiri.
“Ya Allah…aku harus jawab apa?” batin gadis itu.
Tak kuat menahan rasa haru dan bingung yang sedang mendera batinnya, tiba-tiba air keluar dari kelopak matanya, matanya berkaca-kaca seakan tak percaya lelaki yang dipujinya secepat itu mengajaknya menikah, masih banyak yang belum ia selesaikan saat ini, dia harus mewujudkan cita-cita ibunya, dia harus membuktikan kata-kata mbah Kyai Munawir tentang fokusnya belajar Al-Qur’an, dengan tak tergoda apapun cobaannya sekalipun yang ditawarkan adalah menikah dengan lelaki impiannya.
“Ya Allah…apakah ini ujian atau nikmat, hambaMu mengadu”

“Mlati…kamu masih dsitu?” suara Batas diseberang sana mengagetkan lamunannya.
“Ahh…hmm anu…, aku masih disini” gelagap jawab Mlati.
“Aku menunggu jawabmu?”

Ya Allah…
dia adalah Batas
Lelaki yang mengatakan itu untuk menikahi aku
Dia memang tak setampan Nabi Yusuf
Tak sekaya Nabi Sulaeman
Tak sebijak Nabi Muhammad
Namun dimataku dia indah
Seindah langit dikala senja
Sikapnya seelok rembulan dikala purnama
Tutur katanya semerdu melodi
Yang terangkai bersama nada-nada indah Harpa

Ya Allah…
dia adalah Batas
Nasehatnya sejuk, sesejuk gerimis yang membasahi hati
Keikhlasan hatinya, seperti mentari yang rela terbakar untuk kehidupan yang lain
Keridhoannya, seperti pohon yang siap menanggalkan daunnya

Ya Allah
Aku adalah Mlati
Aku memang bukan pujangga
Aku juga tak terbiasa memuja selainMu
Tapi semua murni dari dasar jiwa
Karena bagiku dialah mahluk ciptaanMu yang sempurna

Allahu Akbar...

“aku tak bisa jawab sekarang, bantu aku untuk istikharah kepadaNya” pinta Mlati.
“itu pasti!”
“aku menunggu jawabmu, Mlati”.
“tunggulah jawabku disepertiga malam”
Seketika malam yang begitu gemerlap mendadak gelap gulita.

Disebuah desa yang tampak sunyi ketika waktu sudah menunjukkan jam 12 malam, Mlati sedang menyiapkan jawaban singkat untuk sebuah keputusan yang besar. Disebuah kamar kos kecil ada Batas sedang memilir butiran tasbih satu demi satu untuk menenangkan gejolak jiwanya menunggu sebuah jawaban.

“HasbunAllah wa ni’mal wakil ni’mal maula wani’mannashir” angin malam yang semilir ikut bermunajat.
Bersambung…