Matahari pagi ini bersinar lebih terang, sinarnya tampak berkilau ketika memantul ke air, suara beberapa ekor angsa membuat bising ditelinga, menandakan makanan yang tersedia di bumbung itu habis, mereka lapar, tiba-tiba salah satu angsa mencoba mendekati tuannya untuk meminta makan, namun tuannya hanya mengamati dari pintu pawon (jawa:dapur), tak jelas mau memberi makan atau tidak, mata tuannya menerawang mengamati pohon pisang yang buahnya bergerombol nampak belum matang, tak lama itu ia berkedip mengamati angsa yang mendekatinya, lalu angsa itu tiba-tiba pergi, seolah-olah tahu tuannya sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa diganggu.
“Mlati…ibu perhatikan dari selesai subuh, kamu berdiri disitu terus?” suara wanita setengah baya membuyarkan lamunannya.
“mbok ya dipake nderes” lanjutnya.
Masih tak beranjak ditempat ia berdiri, menghela nafas panjang membuat sedikit plong dalam ruang dada, ditangannya ada selembar kertas, nampaknya kertas itu sudah kusam dan sedikit sobek dipinggirannya, lalu ia hanya melangkahkan satu kaki untuk mengambil dingklik.
“biar Mlati saja yang membuatkan kopi untuk bapak, bu” ucap gadis yang sedari tadi mulutnya ndremimil mengucapkan sesuatu namun tak jelas terdengar.
“tumben nduk…ono opo toh cah ayu? kertas apa itu yang kau pegang” balas ibunya sambil tangannya mencoba meraih kertas kusam itu.
“ooo…daritadi mulutmu ndremimil tuh baca doa ini, ada yang kamu pikirkan?”
“cethek…cethek…cethek….wuuuggg…”suara kompor gas yang langsung menyala ketika tombol diputar oleh kedua jemari lentik Mlati.
“bu…”
Ia bangkit dari duduknya, berjalan tiga meter meraih gayuh untuk mengambil air didalam genthong. Kebiasaan orang jawa turun temurun masih selalu dipakai keluarga Mlati, genthong selalu sebagai tempat untuk mengendapkan air yang sudah diambil entah itu dari sungai ataupun dari PDAM.
“mbok ya kalo mau ngomong, jangan sambil mondar mandir, ibu malah bingung” cetus ibunya.
“mas Batas bu…” lanjut Mlati, merasa arah pembicaraannya susah ditebak ibunya, lalu ia berhenti sejenak tak lama mondar mandir lagi entah itu mengambil gelas lah, mengambil sendok lah, garam lah, tempat bumbu lah, dan lain lain lah. Kegelisahannya nampak dari tingkahnya yang aneh. Cukup gula dan kopi saja jika ingin menyajikan secangkir kopi untuk bapaknya. Yang tidak perlu ia ambil juga.
Membuat ibunya tersenyum melihat tingkah anaknya yang lucu.
“Batas knapa??” mata ibunya kesana kemari mengikuti ayunan langkah anaknya.
“mas Batas mengajak menikah bu” jawab Mlati ragu-ragu.
“oooo…jadi itu yang membuat anak ibu dari tadi berdiri di pintu pawon dan mondar mandir gak jelas” guyon ibunya.
Langkahnya berhenti dan wajahnya berpaling menatap wajah ibunya.
“Jadi ibu gak marah? Ibu setuju?” Mlati melontarkan pertanyaan dengan penuh semangat.
Menggelengkan kepala sudah cukup mewakili jawaban dari pertanyaan yang keluar dari mulut anak gadisnya.
“hari ini kan keluarga Batas silaturahmi kesini, sekalian untuk naleni, bulik Dhiroh sudah ibu suruh masak-masak untuk keluarga calon suamimu nanti jika datang” balas ibunya.
“ibu…”
“kalau itu Mlati sudah tau”
“sebenarnya Mlati tidak setuju dengan ada acara lamaran dan tukar cincin dulu, membuang buang waktu saja, padahal turunnya pahala dari Allah di pernikahan itu”.
“maksut Mlati…menikah dalam waktu dekat ini?” lanjut Mlati.
Seketika darah ibunya bergejolak naik, merambati sekujur bagian kulit yang terdalam, malah panas dingin yang ia rasakan. Rasanya mau meledakkan amarah kepada anak gadisnya yang ada didepannya. Pembicaraan yang semula santai kembali menegang.
“apa kamu gak ingat janji kepada ibu, bapak, budhe, mbahe, dan adik-adikmu sebelum kamu berangkat ke pondok?” lantang suara ibunya dari ruang dapur.
“nggowo Alqur’an kuwi abot, tidak untuk mainan, itu mewakili janji Allah nduk, ibu tidak sekedar tahu tapi ibu juga mengerti, disetiap juz yang kamu hafal itu pasti ada cobaan yang datang, pokoknya ibu gak setuju kamu menikah sebelum khatam ngajimu!!!”
“wis titik”.
Kata terakhir yang diucapkan ibunya berbarengan dengan mendidihnya air yang dimasak Mlati.
“nyuwun ngapunten bu, bukan maksut Mlati untuk melanggar janji itu, jika apa yang dilakukan Mlati itu benar apalagi sabda Rasul mensunnahkan pernikahan itu dengan Lillahi ta’ala, mungkin tidak ada salahnya mengindahkan janji itu, semoga semua diridhoi bu” balas Mlati dengan mengikuti langkah kaki ibunya keluar dari dapur, dan membiarkan air yang sedang mendidih diatas kompor, sangat berbahaya jika dibiarkan.
“ehm…ehm…ada apa toh pagi-pagi sudah ribut?” dehem seorang lelaki cukup menyita perhatian kedua kaum hawa yang sedang berbicara dirumahnya.
“anakmu njaluk nikah sak cepete, pak…lha wong durung khatam malah aing aing” lapor ibu Mlati kepada suaminya.
“bener kata ibumu itu nduk? Knapa toh?” tanya bapak kepada Mlati.
“Mlati dan mas Batas tak kuat untuk puasa lagi pak, takut fitnah, takut dosa”.
Pandangan bapaknya tidak jauh dari pandangan anaknya lalu mengalihkan untuk melihat sosok istrinya yang lebih memilih menghadap jendela terbuka.
“bu…anak kita sudah gedhe, tidak ada salahnya mereka itu melangkah yang lebih barokah, toh tidak menggangu ngaji Mlati, Batas biarin saja kerja disana, kamu nduk tetap ngaji, selesaikan dulu cita-citamu” jawaban bijaksana seorang bapak, selalu mengalirkan jalan keluar.
“itu yang akan Mlati dan mas Batas rencanakan, pak” sanggah Mlati.
“kalaupun Mlati sudah menikah nanti, Mlati tetap konsentrasi mengaji dipondok, sedangkan mas Batas konsentrasi di pekerjaan dulu, Mlati merencanakan walimahannya setelah Mlati khatam, Mlati hanya minta akad dipercepat, dan bapak ibu merestui, itu saja” lanjutnya.
Semilir angin dari luar yang menerobos lewat jendela rumah sedikit meredam amarah yang tadi sempat mampir dalam diri sang bunda. Keinginan anaknya ikhlas Lillahi ta’ala, kenapa hanya sebuah hati yang keras miliknya tak bisa diluluhkan dalam batinnya demi kebahagian anaknya. Sebongkah karang yang kuat bisa hancur diterjang ombak, demi menghiasi indahnya bibir pantai. Ibu itu tampak yakin perkataan yang dilontarkan anak gadisnya tidak sekadar ucapan mulut belaka, namun ucapan yang diiringi dengan niat tulus dan doa.
“ibu jadi terharu mendengar perkataanmu nak, apa kamu tidak menginginkan suamimu berada disampingmu? Bukannya ibu tidak ikhlas melepasmu, apa artinya pernikahan jika kalian berpisah satu sama lain? Bagaimana nanti jika kau merindukan suamimu? Bukankah akan membuatmu tersiksa? Lalu bagaimana perasaan Batas? Apa sudah kau pikirkan sejauh itu?” sangat santun kata demi kata pertanyaan dilontarkan sang bunda. Membuat Mlati teduh mendengarnya.
“apalah artinya pengorbanan jika nantinya demi satu tujuan, seperti tangan ibu, tangan ini saksi sebuah pengorbanan yang dulu pernah ibu lakukan, menggendongku ketika aku masih 3kg, mencuci kotoranku ketika aku masih bayi, tertindih kaku tatkala aku tertidur disitu 2 jam lamanya disaat ibu mengikuti pengajian kampung, sampai menahan tubuhku terpelanting dari pohon jambu yang mengakibatkan tangan itu terkilir, baru sebulan lamanya sembuh kembali, itu semua demi satu tujuan, menciptakan anak yang diimpikan ibu, Mlati saat ini belum apa-apa, cita-cita masih jauh dikejar, tapi demi itu aku ikhlas membayar pernikahanku dengan terpisahkan sesaat oleh suamiku, demi Alqur’an yang aku pelajari, itu impianku dan juga impian ibu” amat pelan dan teratur mulut Mlati berbicara.
“anakku…mendekatlah pada ibu, ibu mau memelukmu” mata ibu kerlap kerlip menandakan ada air dikelopaknya, lambat laun air jatuh kepipi, membasahi baju Mlati. Kebahagian seorang wanita terkadang dihiasi dengan linangan air mata. Air mata adalah air suci yang tidak mensucikan, tetapi kesucian hati yang menyebabkan air itu begitu bermakna.
“ibu bahagia mempunyai anak seperti Mlati, bahagiamu adalah bahagia ibu, ibu restui pernikahanmu nak, lalu apa rencanamu selanjutnya?”
“ibu saja nanti yang mengatur pembicaraan dengan orang tua Batas, biar Mlati yang menelpon Batas, agar tak terjadi suudzon dilingkungan tetangga ataupun keluarga besar kita, Mlati mengusulkan akad dilaksanakan dirumah orang tua Batas”
“ehm…kapan kamu pulang ke pondok, nak?” Tanya bapak.
“tanggal 25 desember nanti ada acara Haul dipondok, kebetulan Mlati dapat jatah juz 11, sehari sebelum itu Mlati harus sudah ada disana” jawabnya.
“berarti masih ada 8 hari tersisa, masih ada waktu untuk bisa dilaksanakan akad, segeralah kau telpon Batas” timpal ibu.
Berlari kearah kamar, itulah pikiran pertama Mlati, mengambil handphone adalah tujuannya. Handphone Nokia seri lama setia menemani senyum sumringahnya ketika membuka tombol unlock.
“ada sms?” batinnya.
Aku tunggu jawabmu tidak hanya sepertiga malam bahkan sampai ayam berkokok tak ada jawaban sepatah katapun, hanya sms kosong yang kuterima, jawablah Mlati dengan hatimu. Isi pesan singkat dari nomor Batas.
Lalu Mlati mencoba membalas.
“aduh kasihan sekali belahan jiwaku menunggu sebuah jawaban” batinnya..
Itu sudah mewakili jawabanku, maka pulanglah, 2 hari lagi kita akad. Tinggal pencet tombol sent, isi sms itu tak lama terkirim ke nomor Batas.
Senyum yang lebar mengiringi terkirimnya sms itu, Mlati tak juga beranjak dari dalam kamarnya, senyum dan loncat loncat sambil memandangi handphone-nya adalah tanda kebahagiaan.
“Mlati…mancine gosong, bapakmu rak sido nggawe kopi!!!!” teriak ibu didapur.
“Astaghfirullah…aku lupa matikan kompor” batinnya.
“Mlati…ibu perhatikan dari selesai subuh, kamu berdiri disitu terus?” suara wanita setengah baya membuyarkan lamunannya.
“mbok ya dipake nderes” lanjutnya.
Masih tak beranjak ditempat ia berdiri, menghela nafas panjang membuat sedikit plong dalam ruang dada, ditangannya ada selembar kertas, nampaknya kertas itu sudah kusam dan sedikit sobek dipinggirannya, lalu ia hanya melangkahkan satu kaki untuk mengambil dingklik.
“biar Mlati saja yang membuatkan kopi untuk bapak, bu” ucap gadis yang sedari tadi mulutnya ndremimil mengucapkan sesuatu namun tak jelas terdengar.
“tumben nduk…ono opo toh cah ayu? kertas apa itu yang kau pegang” balas ibunya sambil tangannya mencoba meraih kertas kusam itu.
“ooo…daritadi mulutmu ndremimil tuh baca doa ini, ada yang kamu pikirkan?”
“cethek…cethek…cethek….wuuuggg…”suara kompor gas yang langsung menyala ketika tombol diputar oleh kedua jemari lentik Mlati.
“bu…”
Ia bangkit dari duduknya, berjalan tiga meter meraih gayuh untuk mengambil air didalam genthong. Kebiasaan orang jawa turun temurun masih selalu dipakai keluarga Mlati, genthong selalu sebagai tempat untuk mengendapkan air yang sudah diambil entah itu dari sungai ataupun dari PDAM.
“mbok ya kalo mau ngomong, jangan sambil mondar mandir, ibu malah bingung” cetus ibunya.
“mas Batas bu…” lanjut Mlati, merasa arah pembicaraannya susah ditebak ibunya, lalu ia berhenti sejenak tak lama mondar mandir lagi entah itu mengambil gelas lah, mengambil sendok lah, garam lah, tempat bumbu lah, dan lain lain lah. Kegelisahannya nampak dari tingkahnya yang aneh. Cukup gula dan kopi saja jika ingin menyajikan secangkir kopi untuk bapaknya. Yang tidak perlu ia ambil juga.
Membuat ibunya tersenyum melihat tingkah anaknya yang lucu.
“Batas knapa??” mata ibunya kesana kemari mengikuti ayunan langkah anaknya.
“mas Batas mengajak menikah bu” jawab Mlati ragu-ragu.
“oooo…jadi itu yang membuat anak ibu dari tadi berdiri di pintu pawon dan mondar mandir gak jelas” guyon ibunya.
Langkahnya berhenti dan wajahnya berpaling menatap wajah ibunya.
“Jadi ibu gak marah? Ibu setuju?” Mlati melontarkan pertanyaan dengan penuh semangat.
Menggelengkan kepala sudah cukup mewakili jawaban dari pertanyaan yang keluar dari mulut anak gadisnya.
“hari ini kan keluarga Batas silaturahmi kesini, sekalian untuk naleni, bulik Dhiroh sudah ibu suruh masak-masak untuk keluarga calon suamimu nanti jika datang” balas ibunya.
“ibu…”
“kalau itu Mlati sudah tau”
“sebenarnya Mlati tidak setuju dengan ada acara lamaran dan tukar cincin dulu, membuang buang waktu saja, padahal turunnya pahala dari Allah di pernikahan itu”.
“maksut Mlati…menikah dalam waktu dekat ini?” lanjut Mlati.
Seketika darah ibunya bergejolak naik, merambati sekujur bagian kulit yang terdalam, malah panas dingin yang ia rasakan. Rasanya mau meledakkan amarah kepada anak gadisnya yang ada didepannya. Pembicaraan yang semula santai kembali menegang.
“apa kamu gak ingat janji kepada ibu, bapak, budhe, mbahe, dan adik-adikmu sebelum kamu berangkat ke pondok?” lantang suara ibunya dari ruang dapur.
“nggowo Alqur’an kuwi abot, tidak untuk mainan, itu mewakili janji Allah nduk, ibu tidak sekedar tahu tapi ibu juga mengerti, disetiap juz yang kamu hafal itu pasti ada cobaan yang datang, pokoknya ibu gak setuju kamu menikah sebelum khatam ngajimu!!!”
“wis titik”.
Kata terakhir yang diucapkan ibunya berbarengan dengan mendidihnya air yang dimasak Mlati.
“nyuwun ngapunten bu, bukan maksut Mlati untuk melanggar janji itu, jika apa yang dilakukan Mlati itu benar apalagi sabda Rasul mensunnahkan pernikahan itu dengan Lillahi ta’ala, mungkin tidak ada salahnya mengindahkan janji itu, semoga semua diridhoi bu” balas Mlati dengan mengikuti langkah kaki ibunya keluar dari dapur, dan membiarkan air yang sedang mendidih diatas kompor, sangat berbahaya jika dibiarkan.
“ehm…ehm…ada apa toh pagi-pagi sudah ribut?” dehem seorang lelaki cukup menyita perhatian kedua kaum hawa yang sedang berbicara dirumahnya.
“anakmu njaluk nikah sak cepete, pak…lha wong durung khatam malah aing aing” lapor ibu Mlati kepada suaminya.
“bener kata ibumu itu nduk? Knapa toh?” tanya bapak kepada Mlati.
“Mlati dan mas Batas tak kuat untuk puasa lagi pak, takut fitnah, takut dosa”.
Pandangan bapaknya tidak jauh dari pandangan anaknya lalu mengalihkan untuk melihat sosok istrinya yang lebih memilih menghadap jendela terbuka.
“bu…anak kita sudah gedhe, tidak ada salahnya mereka itu melangkah yang lebih barokah, toh tidak menggangu ngaji Mlati, Batas biarin saja kerja disana, kamu nduk tetap ngaji, selesaikan dulu cita-citamu” jawaban bijaksana seorang bapak, selalu mengalirkan jalan keluar.
“itu yang akan Mlati dan mas Batas rencanakan, pak” sanggah Mlati.
“kalaupun Mlati sudah menikah nanti, Mlati tetap konsentrasi mengaji dipondok, sedangkan mas Batas konsentrasi di pekerjaan dulu, Mlati merencanakan walimahannya setelah Mlati khatam, Mlati hanya minta akad dipercepat, dan bapak ibu merestui, itu saja” lanjutnya.
Semilir angin dari luar yang menerobos lewat jendela rumah sedikit meredam amarah yang tadi sempat mampir dalam diri sang bunda. Keinginan anaknya ikhlas Lillahi ta’ala, kenapa hanya sebuah hati yang keras miliknya tak bisa diluluhkan dalam batinnya demi kebahagian anaknya. Sebongkah karang yang kuat bisa hancur diterjang ombak, demi menghiasi indahnya bibir pantai. Ibu itu tampak yakin perkataan yang dilontarkan anak gadisnya tidak sekadar ucapan mulut belaka, namun ucapan yang diiringi dengan niat tulus dan doa.
“ibu jadi terharu mendengar perkataanmu nak, apa kamu tidak menginginkan suamimu berada disampingmu? Bukannya ibu tidak ikhlas melepasmu, apa artinya pernikahan jika kalian berpisah satu sama lain? Bagaimana nanti jika kau merindukan suamimu? Bukankah akan membuatmu tersiksa? Lalu bagaimana perasaan Batas? Apa sudah kau pikirkan sejauh itu?” sangat santun kata demi kata pertanyaan dilontarkan sang bunda. Membuat Mlati teduh mendengarnya.
“apalah artinya pengorbanan jika nantinya demi satu tujuan, seperti tangan ibu, tangan ini saksi sebuah pengorbanan yang dulu pernah ibu lakukan, menggendongku ketika aku masih 3kg, mencuci kotoranku ketika aku masih bayi, tertindih kaku tatkala aku tertidur disitu 2 jam lamanya disaat ibu mengikuti pengajian kampung, sampai menahan tubuhku terpelanting dari pohon jambu yang mengakibatkan tangan itu terkilir, baru sebulan lamanya sembuh kembali, itu semua demi satu tujuan, menciptakan anak yang diimpikan ibu, Mlati saat ini belum apa-apa, cita-cita masih jauh dikejar, tapi demi itu aku ikhlas membayar pernikahanku dengan terpisahkan sesaat oleh suamiku, demi Alqur’an yang aku pelajari, itu impianku dan juga impian ibu” amat pelan dan teratur mulut Mlati berbicara.
“anakku…mendekatlah pada ibu, ibu mau memelukmu” mata ibu kerlap kerlip menandakan ada air dikelopaknya, lambat laun air jatuh kepipi, membasahi baju Mlati. Kebahagian seorang wanita terkadang dihiasi dengan linangan air mata. Air mata adalah air suci yang tidak mensucikan, tetapi kesucian hati yang menyebabkan air itu begitu bermakna.
“ibu bahagia mempunyai anak seperti Mlati, bahagiamu adalah bahagia ibu, ibu restui pernikahanmu nak, lalu apa rencanamu selanjutnya?”
“ibu saja nanti yang mengatur pembicaraan dengan orang tua Batas, biar Mlati yang menelpon Batas, agar tak terjadi suudzon dilingkungan tetangga ataupun keluarga besar kita, Mlati mengusulkan akad dilaksanakan dirumah orang tua Batas”
“ehm…kapan kamu pulang ke pondok, nak?” Tanya bapak.
“tanggal 25 desember nanti ada acara Haul dipondok, kebetulan Mlati dapat jatah juz 11, sehari sebelum itu Mlati harus sudah ada disana” jawabnya.
“berarti masih ada 8 hari tersisa, masih ada waktu untuk bisa dilaksanakan akad, segeralah kau telpon Batas” timpal ibu.
Berlari kearah kamar, itulah pikiran pertama Mlati, mengambil handphone adalah tujuannya. Handphone Nokia seri lama setia menemani senyum sumringahnya ketika membuka tombol unlock.
“ada sms?” batinnya.
Aku tunggu jawabmu tidak hanya sepertiga malam bahkan sampai ayam berkokok tak ada jawaban sepatah katapun, hanya sms kosong yang kuterima, jawablah Mlati dengan hatimu. Isi pesan singkat dari nomor Batas.
Lalu Mlati mencoba membalas.
“aduh kasihan sekali belahan jiwaku menunggu sebuah jawaban” batinnya..
Itu sudah mewakili jawabanku, maka pulanglah, 2 hari lagi kita akad. Tinggal pencet tombol sent, isi sms itu tak lama terkirim ke nomor Batas.
Senyum yang lebar mengiringi terkirimnya sms itu, Mlati tak juga beranjak dari dalam kamarnya, senyum dan loncat loncat sambil memandangi handphone-nya adalah tanda kebahagiaan.
“Mlati…mancine gosong, bapakmu rak sido nggawe kopi!!!!” teriak ibu didapur.
“Astaghfirullah…aku lupa matikan kompor” batinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar