"Pak Karto datang!!!" Teriak Samsul, temanku yg duduk didekat pintu.
Langkah tegap seorang lelaki setengah baya terdengar dari jarak yg cukup jauh menurutku, suara sepatu mengkilap kecoklatan mengiringinya, dengan mengenakan baju safari yg masih terlihat lusuh seperti belum distrika, rambutnya klimis belah pinggir membuat daya tarik wanita sejamannya tertaksir, tak pula gadis-gadis jaman sekarang, bahkan mencibir. Pernah temanku Lusi bilang "idihhh najis tuh rambut, kebanyakan jely, bentar lagi ratu lalat membawa pasukan utk bangun istana disitu" wkwkwkwkwkkk teman se genk nya berderai tawa.
Pak Karto seorang duda, dia mengabdikan sebagai guru honorer disekolahku baru 3 tahun, namun begitu disegani bila dia sedang mengajar, sorot matanya menyapu seluruh ruangan kelas membuat murid-murid menunduk berlagak membaca dan menulis buku dihadapannya, ciri khasnya setiap selesai pelajaran selalu mengingatkan muridnya dengan pesan moral dan kata-kata bijak, tapi tak satupun tertanam pada anak didiknya, kata-kata itu seolah berlalu seperti bau amis sampah yg selalu lewat kelasku tiba-tiba jika menjelang siang.
Sekolahku terletak tak jauh diantara pasar ikan dan tempat pembuangan sampah, sungguh menyiksa memang tapi begitulah fasilitas yg cocok bagi anak-anak seperti kami. Sekolah Menengah Atas lulus itu sudah cukup, tak ada gairah untuk melanjutkan penggapaian cita-cita yg lebih. Semangat pak Karto mengajar tak seperti semangat kami sbg murid yg belajar, berada ditempat kumuh dan lingkungan lokalisasi murahan itu mengubur angan-angan Sentot Prawirodirjo "kemerdekaan indonesia diiringi dengan kemerdekaan pendidikan".
Sudah empat puluh lima menit pak Karto menjelaskan pelajaran sejarah, dia teriak tegas selama itukah bangsa ini dijajah oleh kompeni, selama itukah kita didera kebodohan, negara yg luasnya tak lebih dari sepertiga pulau jawa bisa membodohi negara kita yg besar.
"Anakku apa yg akan kalian perbuat jika sdh lulus nanti?" Tanyanya.
Semua diam, semua bengong, semua saling melirik.
"Mau jadi buruh cuci, atau tukang ojek, atau bahkan kuli? Kalian sebenarnya bisa berbuat banyak. Nita...berapa jauh kampus Undip darisini?".
Yg ditanya tak langsung jawab, lalu pak Karto melanjutkan "hanya tinggal naik satu kali angkot, kalian bs meneruskan kemerdekaan bangsa ini dengan cita-cita yg besar, memang tak mudah menembus gedung yg megah itu, kompeni berkulit gelap lebih keji dari kompeni kulit putih, mereka menjajah kalian dengan melambungkan biaya sarjana, bapak berharap semangat kalian tak hanya seperti semangat caleg-caleg yg gagal, lakukan seperti semangat jendral Sudirman menyingkirkan penjajahan...!!!"
Tak berapa lama pak Karto menutup buku bersampul biru sambil melihat jam yg melingkar ditangannya, sudah saatnya dia meninggalkan pelajaran.
Tiba-tiba sekelebat aku melihat tangan Bagus meremas dada Dina.
"Apaan sih lu???" bela Dina.
"Cantik...ntar malem gw pke lu" balas Bagus.
"Anjritttt...apa lu bilang...bangke lu...!!!"
"Gw punya stok banyak, kita nyimeng bareng-bareng, persetan bangsa ini merdeka, yg penting nih malem kt nikmati indahnya surga..." lanjutnya.
"yukkk...gw ikutan dong" timpal Lastri.
-pipowae-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar