Rabu, 16 Januari 2008

Cintaku Setipis Bulu Alis



Bismillahirrahmanirahim.

Cerita ini terinspirasi dari seorang teman, cukup memukau pribadinya, aku salut sama kamu prent, caramu menjalin silaturahmi dengan sesama kadang gak bisa diterima dengan akal, khususnya bergaul dengan mahluk Allah yang halus perawainya yaitu wanita, mereka memang lemah tapi sebenarnya sangat kuat. Aku nilai sih jahat banget mengatakan itu, cuma ya begitulah janji, harus ditepati, perjanjian dengan Tuhan lebih utama, tapi syukurlah akhirnya Mulya bisa mengambil hikmah, terima kasih juga buat Mulya yang mau meluangkan waktu untuk share, semoga sukses selalu buat gadis yang bernama lengkap Putri Kamulyan Restu, pesanku cuma satu terus beribadah ya, jadilah yang tercantik di surga jangan cuma diangkasa, denger-denger udah gak jadi Pramugari ya???

****
Masih berdiri tenang didepan Salaf, mata Mulya tajam memandang seakan menerobos alam fikirannya, Mulya ingat hari ini adalah pertemuan mereka, sekaligus awal dari perpisahan jarak antara mereka yang cukup jauh dan lama, Basoka (singkatan:Bandara Soekarno Hatta) adalah suatu tempat yang menjadi saksi bisu perpisahan mereka, mungkin hukumnya wajib dimasukkan dalam album kelabu.
“rupanya telponku kemarin gak sia-sia, kau datang tepati janjimu dengan memakai jilbab yang aku sarankan” ucap Salaf seketika.
Mulya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, jilbab warna hijau muda memang sangat cocok dengan kulit Mulya yang kuning langsat, leher jenjangnya tampak sopan terbalut kain yang ada pernik-pernik perak dibelakangnya, kebiasaan tersenyum dalam segala situasi membuat kecantikannya tambah beberapa kilo.
“sekali pun aku gak pernah berfikir kamu berbohong, sejak kita kenal, kamu gak pernah sekalipun memupuskan harapanku” lanjutnya, mata Salaf memalingkan pandangan dari Mulya, antrian orang masuk keruang executive lounge bandara lebih menarik daripada mempermasalahkan kecantikan Mulya, Salaf tak mau jika perasaan sucinya terkotori rayuan syaitan.

Angin kencang membelai lembut menyibakkan ujung kain yang terbentuk atas keanggunan gadis berwajah lembut, sekarang makin sipitkan mata yang tak mau berkedip, mulutnya seakan mengucapkan kata tapi tak mampu bicara, telapak tangannya saling tumpuk menyilang lambang kesopanan orang-orang jawa untuk berhadapan dengan orang yang disayangi maupun dihormati.
“hari ini cerah, aku gak tau ada rencana apa Allah untuk diriku, sejak semalam aku gak bisa tidur, setelah shalat Tahajjud aku lantunkan ayat Al Qur’an sampai menjelang fajar” ucap Mulya sedikit tersendat.
“Yakin berangkat ke Banjarmasin, mas? Alasan apa yang menguatkan untuk meninggalkan Jakarta? mas anggap Mulya apa selama ini? Apa Mulya menjadi pengganggu? Mulya semakin tidak mengerti dengan sikapmu, mas tahu perasaanku tapi akhirnya mas juga yang menguburkan cin…ta… itu” ucap tertatih-tatih dibarengi hembusan nafas yang cukup panjang guna menimbulkan rasa plong dihati. Tapi tidak dalam kenyataannya, masih ada duri yang menancap didadanya, masih terasa sesak.
Berdesir merana hati seakan menggugurkan bunga-bunga cinta yang terlanjur bersemi ditaman kalbu, harapan yang dulu pernah terbesit akan yakin terbalaskan cinta Salaf, kini tenggelam sebelum berlabuh ke dermaga tujuan. Sejak bertemu pandangan pertama lah yang menggelantungi fikiran Mulya.
Salaf adalah seorang lelaki yang tak mudah mengatakan cinta, pemuda yang taat beribadah itu membuat partikel terkecil dalam pembuluh darah Mulya mengetok palu memutuskan untuk bersimpati kepada Salaf, ditambah perhatian yang lebih membuat hati Mulya terbang melayang ke surga. Hari ini adalah hari yang na’as ketika dalam peraduan dua insan salah satunya dianggap tak bersambut.

“aku gak mungkin berdiri di tiang yang kuyakin tak pernah ada, meskipun aku selalu merindukannya” batin Mulya, sekejap matanya terpejam dan tak lama terbuka lagi.
“sebelum mas pergi, sudikah jawab pertanyaanku dengan jujur?” pinta Mulya dengan suara pelan. Seketika Salaf mengangguk tanda setuju.
“apa mas mencintai Mulya?”
“iya…aku mencintaimu” jawab Salaf.
“aku bahagia mendengarnya, seberapa besar cinta mas? Kenapa mas malah memilih pergi jauh dari Mulya?”
“cintaku kepada Mulya tak sebesar kekaguman seorang nelayan memandang luasnya lautan, tak setebal rasa bangga Gajah Mada mencintai Nusantara, cintaku hanya setipis bulu alis yang kamu punya, maafkan aku” tegas dan lugas Salaf mengutarakan perasaannya.

Setetes air tiba-tiba keluar dari mata indah Mulya yang tertutup, dibiarkannya mengalir dipipi, tak ada niat untuk menghapusnya. Betapa ia tak percaya seorang pangeran yang sering muncul dalam mimpi hanya segitu besarnya rasa trisno (jawa:suka) kepadanya. Tak pernah terbayangkan rasa sakit yang bergejolak dalam batinnya, mungkin hatinya seolah dicacah-cacah dengan belati yang ketul (jawa:tumpul). Merajut kesedihan apakah mungkin bakal berkesudahan secara mudah, apakah ini yang ditakdirkan Allah pada hambanya yang hina, begitu cinta ada didepan mata kenapa Kau menjauhkan dari dekapan, merpati yang terlanjur sayang dengan tuannya bisa dipastikan kembali dalam sangkar yang dicintainya. Tapi Salaf bukan merpati, dia seorang hamba Allah yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab. Mungkin ini awal dari kehidupan mereka, awal dari kebahagian batin akan dicoba dengan beling-beling (baca:pecahan kaca) yang berserakan dibawah alas kakinya. Justru beling itulah nantinya yang akan menjadi hikmah luar biasa. Bismillah…

“aku pergi untuk memenuhi janji, janji kepada Allah, aku ingin sedikit mewujudkan rasa syukurku kepadaNya, pak Kyai Fahrur menyarankan untuk menjalankan puasa Dala’il (arti:puasa yang dilakukan setiap hari kecuali tasyrik dalam jangka waktu tertentu atau seumur hidup bagi kalangan sufi dengan catatan telah mendapat ijazah dari Ulama), sebagai tempat konsentrasi ibadah aku memilih Martapura, cinta kepada Allah hukumnya wajib…Mulya, cintaku kepadaNya melebihi segala-galanya” amat tegas penjelasan Salaf, bertambah deras air mata yang jatuh dipipi Mulya mendengar penjelasan itu.

“apa janji itu gak bisa dipenuhi dijakarta?” kenapa harus jauh dari keluarga dan ju..ga…Mulya…???” tanya Mulya dan tiba-tiba bibirnya tersenyum menandakan sedikit lega serta bangga, bangga kepada sosok pemuda yang dicintai begitu mengagumkan pribadinya. Sangat bersyukur Allah mempertemukannya dengan pemuda yang tak hanya tampan tetapi juga memiliki religi yang kuat.
Tangan Mulya menyambut sapu tangan yang sejak tadi diulurkan Salaf, mulai menghapus sedikit demi sedikit linangan air mata, Maha Suci Allah yang telah menciptakan wanita dengan keunikannya, suka dan duka susah dibedakan, keduanya sering ditandai dengan isakan tangis dan derai airmata, tak berapa lama bertambah mengembang senyum gadis cantik itu untuk mulai membuka mata hati menyadari itu semua.
“mungkin dijakarta sulit konsentrasi, disamping itu aku juga membantu dakwah paman Mudasir disana, aku perlu kekhusu’kan Mulya, selama 5 tahun kita bakal terpisah luasnya lautan, jika Allah mengijinkan kita bertemu lagi, aku ingin Mulya jadi pendampingku untuk berjuang dijalan Allah, mau kan jadi istriku??” ajakan Salaf merubah harapan cinta Mulya yang semula sirna kini kembali terbit, alasan Salaf yang begitu bijaksana membuat hati Mulya kembali menampakkan otot-otot kuat, memandang kehidupan cerah jika sabar menunggu 5 tahun kedepan. Amin…

“tidak perlu dijawab mau atau gak menjadi istri mas, Mulya rasa mas sudah bisa menebak jawabannya, Mulya bangga dengan mas, ketika pemuda sekarang bersahabat akan gemerlapnya dunia dengan sibuk mengumpulkan harta tapi mas memilih dekat kepada Allah dengan sibuk mengumpulkan pahala, semoga Allah mengijabahi (arti:mengabulkan) niat tulus mas, Mulya adalah hamba yang tak sempurna, tak berhak juga menghalangi janji mas kepada Allah, Mulya ikhlas berpisah selama 5 tahun, Mulya akan sabar menunggu” jawab gadis jelita yang mempunyai tinggi 170 cm itu.
Suara riuh ramai orang berlalu lalang diarea Basoka tak menyurutkan pertemuan mengharukan dua insan, seandainya saling adu pandang mereka dimengerti orang-orang sekitar, mungkin suasana hati haru mendung bisa mengalahkan cerahnya awan yang menyelimuti bandara siang itu. *** cape nulisnya bersambuang aja deh ***

**** Sedikit prosa nich ****
Ketika dawai cinta dipetik oleh Sang Pembawa Berkah dari surga, mengalun indah berjuta makna, menawarkan madu yang tiada lagi tersisa, hanya cinta sejati yang menjadi tambatan luka, dua insan mencoba menggugurkan dosa-dosa, berikan kekuatan untuk menyempurnakan, Ya Allah tamparlah rayuan yang mengundang karma, jauhkanlah kami dari kesalahan sebagaimana Kau mejauhkan antara Timur dan Barat, basuhkanlah nurani kami yang kotor dengan air salju yang menyejukkan jiwa, BarokAllah Azza Wajalla.

ShodaqAllahul’adzim.

Tidak ada komentar: