Jumat, 04 Januari 2008

Ibu Dan Cita-Cita

Duduk termenung dalam sebuah harap, ditemani beberapa tangkai bunga matahari masih terhias didalam vas bunga keramik yang terukir sepasang bocah kecil, ibu setengah baya menimang-nimang seorang bayi yang akan menjadi kebanggaannya dimasa depan. Remang remang cahaya lampu ublik tak menyurutkan semangat do’anya. Gelegar guntur sesekali muncul membuat miris hati yang mendengarnya. “Astaghfirullahal ‘adzim” ucapnya sambil mendekap kepala bayi yang masih sedikit ditumbuhi rambut itu.

Lambat laun hatinya semakin tegar menghadapi bunyi yang menggetarkan kaca jendela tepat beliau duduk. “aku tak akan pernah berhenti menimangmu anakku, sebelum kau tertidur pulas, kau harus tetap tegar itu hanya halilintar, kau tak boleh takut kecuali kepada Allah” katanya sambil tersenyum menatap bayinya, berbalas pandang manja bayi tak berdosa itu seolah mengerti apa yang beliau maksut, nyaman dalam pangkuan ibunya, bayi itu tak menangis seperti bayi kebanyakan ketika kaget mendengar suara keras.

Sudah terlalu lama beliau mendendangkan Shalawat Badar, tak terasa sampai gernangan air telah membanjiri halaman rumah yang lebih pendek dari jalan raya. Tiga pohon jambu delima tak mampu mempertahankan daun dan ranting-rantingnya yang telah rapuh, hanya sekejap angin membawanya terbang kesana kemari. Sore itu bertambah sunyi ketika hujan deras menyamarkan suara adzan Maghrib yang terdengar kejauhan dari surau. Tak ada pengeras suara karena sejak tadi siang listrik di desa Donorojo padam.

****
Butiran air tiba-tiba berlinang dimatanya, masih teringat pada saat dan situasi yang sama setahun kemarin mendengar kabar dari seberang sana. Sang suami tercinta mendahului menghadap Sang Maha Khaliq, tertembak tepat dijantungnya oleh pemberontak dalam sebuah misi mengungkap kejahatan perdagangan wanita yang melibatkan pejabat setempat. Sedikit isakan tangis membuat tanya si bayi ada apa dengan ibu.

“anakku…maukah kau bersumpah demi ibu, demi cita-cita besar ibu, ibu tak pernah menyimpan dendam, tapi ibu tidak terima jika kejahatan masih menodai hati yang damai” ucapnya terbata-bata sambil menghela nafas panjang.

“atas nama Tuhan dan RasulNya, ibu bersumpah akan didik serta bekali dirimu dengan akhlaq mulia dan berjiwa ksatria, seperti pesan terakhir mendiang ayahmu, ibu ingin jika kau besar nanti teruslah berpuasa sebelum kau raih segalanya, jangan bersenang-senang dulu sampai kau temukan kedamaian” sumpah tulus dari dalam hati yang bergejolak, menawarkan tantangan yang membuat para syaitan enggan mendekati sang jabang bayi, bersedekap para malaikat mendo’akan terkabulnya sumpah seorang ibu. Secara bersamaan dua kilatan petir membelah langit yang kelam ikut mengamininya… ***bersambung*** (Novel : Dalam Darahku Mengalir Cinta)

2 komentar:

Anty's mengatakan...

Haii jujuk...pha kabar????
eits,tulisan kamu oke juga tuh...:)
Yg rajin nulis ya....

Pejuang Runcing Pena mengatakan...

makasih san, oh ya aku masih belajar nulis nih, ajarin aku ya kalo kurang greget...teng kyu santi...