Kamis, 03 September 2009

Tolong Katakan Kepadanya-4


Terik panas menyengat kota Sidoarjo saat itu. Udara dan debu bersahabat bagi mereka yang menjadi korban Lumpur Lapindo di desa Porong. Pemandangan anak-anak kecil bermain disekitar pengungsian dekat rumah mereka yang telah rubuh, terlihat lusuh menggambarkan pahitnya kehidupan disana. Terus bercanda dan berlari serasa tanpa ada beban dipikiran mereka, tawa dan riang ala anak-anak. Tampak lelaki bertubuh hitam legam terus berupaya mengumpulkan dan menata bata-bata yang masih utuh diantara puing-puing rumah yang telah rubuh dilingkungannnya. Pak Masduki namanya, pria seusia kisaran 40 tahunan itu terus mengucurkan keringat kerja kerasnya.

Seluruh tanah didesanya ambles sedalam satu meter lebih setelah dua tahun lebih tanpa henti isi bumi keluar akibat kegagalan pengeboran gas yg dilakukan PT. Lapindo Brantas Inc. Akibatnya sedikit demi sedikit rumah-rumah runtuh dengan sendirinya.

Rumah pak Masduki terus berpacu dengan lumpur, diantara dua pilihan yang sederhana, menunggu rumahnya dirobohkan lumpur atau dia robohkan duluan. Kalau dirobohkan lumpur jelas ia tak dapat apa-apa, kalau dia yang merobohkan masih bisa memanfaatkan sisa genteng, batu-batu, kusen-kusen pintu, besi-besi bekas yang semuanya laku dijual.

Meski sederhana pilihannya, ia lama memikirkan hal itu. Baru setelah dia kepepet (jawa : terpojok) karena dua tahun tak juga dapat uang pengganti rumah dan tanahnya dari Lapindo. Dia lalu robohkan rumahnya.

Dilema yang terjadi, dia yang dulu tukang bangunan dan sekarang dia malah menjadi tukang merubuhkan bangunan.

Saat ini lelaki beristrikan bu Sumiati itu terus berupaya sekuat tenaga menghidupi keluarganya dengan kerja serabutan dikota Surabaya. Buruh bangunan kembali menggugahnya dari himpitan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Lebaran kemarin dia kembali ke tempat pengungsian untuk menjenguk istri dan ketiga anaknya. Hanya bisa dihitung satu jari ditangan kanan anak-anak mereka bertemu dengan bapaknya, uang hasil kerja pak Masduki hanya dititipkan kepada tetangga yang kebetulan bisa pulang setiap dua bulan sekali, dia itu mandor ditempat kerjanya.

"Begitulah mbak cerita tentang suami saya, wis aku isone yo pasrah wae karo sing nggawe urip (jawa : aku hanya pasrah saja dengan Yang Maha Menciptakan Kehidupan), kadang juga merasa kasihan melihat pakne sendiri yang bekerja keras, saya hanya bisa membantu berjualan rujak cingur disekitar MI (Madrasah Ibtidaiyah) Glagah, lumayan bathine (jawa : labanya) untuk jajan anak-anak" ucap ibu setengah umur memakai daster merah muda yang sudah lusuh kepada Maya. Maya tak segan memeluknya, hadirnya sebuah bantuan program yang dicanangkan salah satu Bank dinegeri ini membuat warga Porong seakan menghirup udara segar. Maya dan kawan-kawan menjelaskan secara detail maksut tujuan program pelatihan usaha kecil bagi korban lumpur Lapindo, khususnya bagi mereka yang tak lagi semangat menghadapi kehidupan menurut mereka tak adil adanya.

"Mbak Maya...enthuk njaluk jepite rambut, aku ben ayu koyo mbak (jawa : boleh aku minta jepit rambutnya, biar aku ayu seperti mbak) " gadis kecil itu lucu ketika meminta dengan kedua tangannya saling bertopang manja.

"Husssshhhh...wis kono dolanan dakon, ojo ganggu mboke..." Bu Sumiati mengerdipkan mata pada si Mina, anaknya yang paling kecil.

"Ehmmm..." Maya hanya senyum setelah gadis kecil meninggalkan mereka berdua berbicara.

"Program dari Bank Mandiri apa boleh bagi saya yang sudah bekerja sebagai penjual rujak ?" tanya ibu Sumiati akrab kepadanya.

"Seperti yang sudah saya jelaskan kemarin, program kami tidak hanya untuk kalangan ibu-ibu saja yang belum bekerja, tapi juga bagi siapa saja yang ingin bersemangat untuk berwirausaha, Bank memprioritaskan dan mengkhususkan bagi korban lumpur di Sidoarjo ini. Dana untuk awal usaha ataupun untuk mengembangkan usaha dipinjamkan tanpa bunga secara rata kepada warga disini. Saya dan teman-teman saat ini hanyalah sebagai penyuluh serta penyurvey berapa warga yang antusias mengikuti program ini, untuk pelatihan wirausahanya ada tim tersendiri dilain hari. Ada berbagai macam yang ditawarkan, pelatihan menjahit, pelatihan tata boga, dan pelatihan-pelatihan usaha kecil yang lain, seperti merawat tanaman kualitas impor dan lain-lain".

"Ooo ngono toh, yo wis ibue ikut saja, lha wong ikut pelatihan juga sama saja menambah ilmu, mugo-mugo usahaku tambah tokcer..."

"Amien bu..." jawab Maya.

Geliat panasnya sinar matahari tak surutkan pasukan pembawa berkah, Maya dan kawan-kawan terus masuk dan berbicara dari masing-masing anggota keluarga korban lumpur. Mereka hanya membawa misi sosial tak lebih dari itu, bahkan gaji yang ia dapatkan jauh tak setimpal dengan pengorbanan yang mereka lakukan, namun mereka tak mengeluh.

"May...lu sudah dapat berapa ? Boleh gw duduk disamping lu ? ".

"Iya duduk aja Yud, gw dapat 51 orang, kesemuanya ibu-ibu..." jawab Maya kepada Yudi temannya.

"Banyak banget, gw aja gak ada 10 orang..." Yudi membuka snack (makanan ringan) yang ia bawa dari tadi.

"Sapa yang nanya lu??? Kayanya Maya nggak nanya deh..." ucap Laras sewot. Duduk Laras mendekat ke Maya, ia mau berbisik kepadanya namun diurungkan.

"Eh...sapa yang bicara ama lu ?! " jawab Yudi enteng.

"Oh ya May...ntar malam ada pasar malam di kampung petruk, kita kesana yuk, sekali-kali kita nikmati hiburan masyarakat kecil, ada pertunjukkan wayang segala, dijakarta gak ada tuh..." ajak Yudi sambil membuka bungkus lemper (makanan dari ketan yang didalamnya ada abon sapi dan dibungkus daun pisang lalu dikukus).

"Emang lu masyarakat besar ? Ngaca deh lu ?!" lagi-lagi Laras sewot.

"Gw kan gak ngomong ama lu Ras..." Yudi menimpal.

"Sori Yud, gw capek banget hari ini, gw mau langsung tidur..." Jawab Maya dengan harapan ia mengerti penolakan halusnya, tak lama Maya berdiri meninggalkan Yudi dan Laras.

"Hihihiiiiiii...cucian deh lu..." Laras mengikuti berdiri menyusul Maya berjalan melenggang.

"Ya udah gw pergi sendiri aja kalau gitu, gw bawain oleh-oleh wayang buat lu May..." teriak Yudi sambil siap menghabiskan potongan lemper yang tersisa.

"Mau yang wayang Arjuna atau wayang Bima ?! " lanjut teriaknya.

"Semar aja Yud biar nyamain ama perut lu, hahahaaaaaa..." balas Laras dikejauhan, Maya hanya tersenyum.

"Demi lu, iya deh gw bawain Semar..." batin Yudi dengan lugu.

"Aemmmmm...beuh...cuihhhhh...sial daun lemper gw makan...!!! "

*****

Disebuah gang Cempaka belakang Masjid As-Salam.

Ibu-ibu jamaah sedang berkumpul pengajian siang di hari jumat. Sebuah rumah kecil bercat biru dengan berbagai pot gantung diteras sudah kelihatan ramai perbincangan para ibu, acara pengajian yang biasanya diadakan tepat jam 2 siang ini belum menampakkan aktifitas inti. Pengajian setiap seminggu sekali ini selalu bergilir dari satu rumah jamaah ke rumah jamaah lainnya. Kali ini rumah bu Arum yang giliran mendapat hajat. Para jamaah ibu-ibu tampak masih menunggu jamaah lain yang belum hadir. Sudah cemepak (jawa : tersedia) suguhan minuman teh hangat dan jajan pasar bagi mereka yang baru saja datang.

"Silahkan bu Slamet, mbok duduk didalam saja, kita ngobrol-ngobrol disini..." ucap ibu berkacamata kepada wanita gemuk yang baru saja menaruh sandalnya.

"Oiya bu kemarin itu siapa jadinya yang dapat arisan ? Maaf lho saya gak bisa datang, lha wong bapaknya minta ditemenin beli mobil baru..." tanya ibu disebelahnya.

"Waduhhh ibu Sugeng ini beli mobil kok terusan, kaya beli pisang saja..." ucap ibu lain berbaju ungu terong.

"Yahhh daripada beli pisang dimakan sambil kepanasan kan enakan dimakan sambil kedinginan kena AC, sama suami yang baik lagi..." balas bu Sugeng.

"Asal jangan makannya ketuker pisang suami bu Sugeng...!!!" celoteh bu Renggo dikejauhan.

"Hahahaaaaaa...." terdengar gelak tawa ibu-ibu rumah tangga yang sedang punya hajat.

Ibu Arum masih tampak gelisah diluar,sepertinya tak ada lagi ibu jamaah yang datang, namun ia terus menunggu diluar. Nampaknya ada yang ditunggu, pasti seseorang yang sangat penting baginya, bolak balik menengok dilorong jalanan kampung, ia masih terus gusar.

"Ya sudah bu Hajjah Jannah, dimulai saja pengajiannya, sudah terlewat seperempat jam..." ucap ibu Arum kepada pimpinan pengajian ibu-ibu hari ini.

"Sepertinya masih ada yang ditunggu ? Sebagai tuan rumah silahkan bu Arum duduk didalam..." sanggah bu Jannah.

"Baik bu saya duduk disini saja, saya hanya menunggu bu Marsinah kok belum juga datang..."

"Oalah...menunggu calon besan toh..." ucap bu Ratna.

"Emang acara nikahan Maya sama Ahmad kapan bu Arum ?" tanya bu Sugeng.

"Saya siap menyumbang 2 kambing lho..." lanjutnya.

"Adeuhhhh terima kasih jeng, saya dan bu Marsinah sepakat akan menikahkan anak kita dibulan depan, insyaAlloh awal bulan Rajab tepatnya..." jawab bu Arum.

"Alhamdulillah..." serentak ibu-ibu pengajian mengamininya.

Ya Nabi salam 'alaika

Ya Rasul salam 'alaika

Ya Habib salam 'alaika

Sholawatullah 'alaika

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, namun bu Marsinah belum muncul juga dirumah bu Arum. Apa yang terjadi belum bisa dibayangkan olehnya, dia tak mau menduga-duga hal yang belum tentu kebenarannya. Seluruh ibu-ibu pengajian sudah pulang sepuluh menit yang lalu, terakhir meninggalkan rumah bu Arum adalah bu Ratna, karena ia adalah seksi kelengkapan, semua perabotan pengajian dia yang bertanggung jawab mulai dari pencatatan anggota hadir hingga ke tape dan speaker.

Sementara bu Arum sedang menyapu sebagian pelataran kecilnya yang masih kotor. Tangannya terus mengayun namun pikirannya mencoba menerka-nerka apa yang terjadi dengan calon besannya. Tak biasanya wanita seperti bu Marsinah absen dalam pengajian, padahal rajin kedatangan lebih awal tak diragukan lagi.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikum salam, siapa ya ? Apakah bu Marsinah ?" jawab dan tanya bu Arum dari dalam rumah. Tak sabar akan menjawab gelisahnya hingga ia lupa mengenakan jilbab yang semampir (jawa : tertaruh) dikursi kayu untuk keluar menemui siapa yang datang.

"Alhamdulillah...bu Marsinah..." Bu Arum mencium kedua pipi bu Marsinah dengan gembira.

"ibu-ibu pengajian semua menanyakan ibu, saya khawatir ada apa-apa..." Bu Arum mempersilahkan duduk lewat tangan sopannya.

"Saya mencari data-data identitas Ahmad untuk keperluan hajat kita, saya fikir ketinggalan dikampung, gak taunya ada dirumah pamannya" jawab bu Marsinah.

"Lalu saya kesana lebih pagi dengan harapan bisa mengejar pengajian sore hari, eh malah macet total jalanan ada demo besar-besaran buruh bangunan, minta maaf bu Arum..." Lanjutnya.

"Iya gak papa bu, sebetulnya data bisa nyusul jika waktu sudah kurang seminggu..." sanggah bu Arum.

"Kalau bisa lebih cepat kenapa pilih yang terlambat, betul kan bu..." Bu Marsinah tersenyum hingga terlihat banyak kerutan didahinya.

"Ahmad Kemal Ramadhan, nama yang bagus, nama yang terakhir hampir mirip dengan anak saya, calon menantu ibu, Maya Denting Ramadhanti..." Bu Arum membuka berkas yang diberikan kepadanya, akta kelahiran Ahmad yang ia baca.

"Nama yang cantik, secantik orangnya..." ucap bu Marsinah.

Adzan maghrib menggugah hati dua wanita istimewa bagi kedua anaknya. Senja sekelebat menebar angin yang berhembus disetiap lorong lafal Alloh dan Muhammad di Masjid As-Salam. Kepala manusia angkuh bersujud sepadan dengan kaki untuk bersimpuh dihadapanNya. Satu hembusan nafas alirkan doa. Semua sama rata semua sama rasa. Manusia selalu hina dimataNya. Hanya Dia Yang Maha Segalanya.


Tidak ada komentar: