Minggu, 27 September 2009

Tolong Katakan Kepadanya-5


Malam berkabut putih, ketika kabut itu bercampur dengan air berubah warna menjadi hitam yang pekat. Kabut berpenyakit ini selalu muncul setiap saat, mereka biasanya menyebutnya polusi. Metropolitan dengan segala problematikanya selalu menebar racun kehidupan manusia, mereka tak menyadari atau bahkan menyadari namun himpitan kebutuhan membuatnya acuh tentang rongrongan kematian yang ada didepan mata lewat polusi udara. Lambat laun jantung menangis menjadi tumbal.

Jauh meninggalkan kota dengan lampu-lampu malam yang gemerlap. Sebuah villa mewah diperkampungan Srengseng Sawah bertingkat dua, seorang wanita mengaduk air berwarna putih digelas crystal dengan pelan didapur lantai bawah. Pandangannya resah dilemparkan pada wanita lain yang sedang berjalan mondar-mandir dilantai atas. Tak terasa yang ia aduk semakin mengental, air panasnya mengepul disela-sela adukan menyebarkan aroma susu putih yang menggoda.

"Dorrr...ngaduk malah ngelamun, susunya kental tuh..." lelaki kurus dengan sarung yang melingkar dibadan mengagetkan, tanpa tahu kedatangannya menepuk pundak wanita itu.
"Aduhhh kaget aku, aden sudah pulang belum ?" cara bicaranya pelan, mata wanita itu tengak-tengok seperti maling.
"Paling sebentar lagi, ada apa toh kaya takut banget..." jawabnya.
"Kalau aden jam segini belum pulang, pasti non marah-marah, aku takut..."
"Lama-lama aku gak tahan dirumah ini, tiap hari non dan aden selalu berantem..." lanjutnya.
"Hussss...itu urusan mereka, yang penting urusan kita perut kenyang, setelah itu urusan bawah perut..." sanggahnya.
"Ehmmmm...nggasruh (jawa : sembarangan)...!!!" sewotnya.
"Jangan marah dulu, maksutku minta tolong pijitin kakiku, soalnya seharian bersihin taman, capek banget..."
"Halah wong lanang aleman (jawa : lelaki kok manja), ogahhhh...!!!"

Wanita itu segera beranjak dari dapur, dia membawakan segelas susu kepada wanita yang sejak tadi menjadi perbincangan mereka. Tangga setengah melingkar dari kayu jati harus dilewatinya. Kayu pilihan itu memang tak diragukan lagi kekuatannya, terbukti villa itu dibangun oleh pak Hendra sudah 20tahun belum ada masalah kerapuhan. Semenjak dia meninggal villa itu diwariskan oleh anak gadisnya, pak Hendra meninggalkan harta yang sangat berlimpah untuk kedua anaknya, dan juga satu usaha pengelolaan batubara yang sekarang dikelola oleh putranya diTenggarong Kalimantan Timur.

Seorang wanita berambut pirang sedang menatap photo keluarga yang ada didinding, tangannya meraba pada salah satu gambar seorang lelaki tua. Dia menatap dengan amat tajam, tangan kirinya terus mengelus-elus perutnya yang sedang membuncit. Wanita dengan perawakan tinggi sekitar 170cm itu tengah hamil tua. Dia memakai setengah gaun setengah daster sutra berwarna ungu, kulitnya yang kuning bersih menambah aura kecantikan semakin keluar.

"Ini bibi buatkan susu untuk non Febi..." yang diajak bicara tak segera menjawab, wanita cantik itu terus menatap photo dinding yang berada didepannya. Kalut adalah hal yang paling dibenci setiap orang, namun hal itu sangat menghibur ketika hati sedang dilanda keresahan.
"Bibi taruh dimeja, diminum ya non, kata bu Hendra susu ini baik untuk kesehatan janin yang ada didalam perut non Febi...". Wanita yang sedang hamil itu berpaling menatap segelas susu yang menjadi tema pembincangan lawan bicaranya.
"Janin ini hanya ingin membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang tulus, apa gunanya janin ini sehat namun ketika ia menghirup udara didunia, dia tak mendapatkan apa yang harus ia dapatkan..." wanita tua itu mendengarkan dan merasakan galau dari seorang perempuan yang sedang hamil tua. Meskipun tahta yang membedakan antara keduanya, namun naluri seorang wanita sebagai pembantu itu merasakan trenyuh ketika kata-kata yang baru saja terlontar dari hati terdalam majikannya. Bibi Juminah sudah lama mengabdi kepada keluarga Hendra, dia sudah dianggap saudara sendiri oleh nyonya Hendra, wanita gemuk itu dipercayai untuk menjaga anak perempuan pak Hendra sejak Febi kecil.

"Mama tidak tau ini semua, bi..." perempuan itu memutuskan untuk duduk dikursi.
"Non...jangan sedih...kalau non sedih bibi juga ikut sedih..."
"Semua ini salahku, Riky hanya menginginkan calon bayi ini, dia sama sekali tak mencintaiku..." lanjutnya dengan nafas sedikit tersengal ketika dia menyebut nama Riky.
"Mungkin setelah anaknya lahir, dia bakal menceraikanku..."
"Non..." Bibi juminah membuka mulut untuk bicara, namun dia urungkan niat melanjutkan.
"Tenang bi...susu itu tetap aku minum, semakin sehat janin itu semakin cepat anak tak berdosa itu menghirup udara didunia, mungkin semakin cepat pula Riky menceraikanku, apa aku sebagai wanita hanya bisa pasrah dengan kenyataan yang sejatinya bukan pilihanku..." Perempuan bermata binar itu meneteskan air dari kelopak matanya, segala curahan hati dia tuangkan tanpa ada jengkal dinding tertutupi bagi Bibi Juminah yang sudah dia anggap sebagai teman hati. Jabang bayi yang sebentar lagi keluar mungkin mendengar dengan apa yang diresahkan ibunya, sesaat dia berkontraksi hebat dimasa 8 bulan usianya.
"Bibi...boleh peluk non Febi ?!" Dia mendekat. Seperti ikatan batin yang tak mudah terbaca, hati wanita begitu kuat ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Udara malam begitu syahdu, terlalu banyak yang mengalun dilangit-langit, lalu membelai daun dan ranting-ranting kecil pohon cemara. Binatang malam berdendang tak beraturan, namun terdengar indah ketika semua orang beradu dalam damainya. Cinta bisa mampir ketika kita tak menginginkannya, cinta juga bisa pergi ketika hati ini terpatri untuk menginginkannya tinggal. Tolong katakan kepadanya, apakah hati ini harus berpegang pada tiang yang rapuh.

*****

Malam masih akan terus malam, ketika matahari bersembunyi dibalik waktu, kegelapan terus datang hingga waktu jua yang membuka tabir misterinya. Gadis berparas cantik sedang menatap awan yang kelam. Sendiri ditengah situasi penuh ketidakadilan, dia terus menatap, apakah dia menghitung atau sekedar menerawang sinar sebagian bintang yang menghiasi malam.

Rambutnya tergerai rapi ditumpukan kain terikat yang dijadikan bantal. Sesekali dia melihat handphone yang digenggamnya, cahaya lampunya bersinar sebentar dikegelapan barak pengungsian. Dia menghela nafas panjang ketika tak ada jawaban menggembirakan dilayarnya. Gadis cantik itu kembali menatap awan, bibir tipisnya lebih memilih diam ketika hatinya berbicara akan kerinduan.

Keramaian warga jawa timur dengan corak bahasa yang berbeda dengannya tak membuatnya terganggu dalam lamunannya. Mereka berlalu lalang diluar barak pengungsian, dia masih terus menghabiskan waktu menatap awan dalam remang malam.

Gersangnya hati merindukan cinta
Kasih bukanlah lamunan
Maaf...bila aku hanya bisa menghadirkan malam Tanpa ada bintang

Hampa hati menorehkan resah
Derai senyummu membuatku gundah
Maaf...bila aku merasa tak cukup
Tolong Katakan Kepadanya
Jangan cuma sekelebat datang diremangnya malam

"Gak baek anak gadis melamun sendirian malam-malam..." Gadis berkaos biru langit itu nimbrung berbaring disebelahnya.
"Terus...lu mau ngapain Ras ?!" tanyanya.
"Ya harus ajak-ajak gw...!!!" jawab Laras.
"Ehmmmm...." Maya berbalik badan membelakangi Laras.
"Gw lagi nunggu sms dari Ahmad, telponnya tidak aktif, dia sedang apa ya Ras...??" Maya memeluk guling.

"Dia lelaki yang aneh, dia begitu baik, dia selalu ada untuk membuat gw terpukau dengan tingkahnya yang penolong, gw benar-benar jatuh cinta. Biasanya setiap kali pulang kerja dia selalu bawakan makanan dan buah untuk ibu. Lalu dia katakan "jika sesuatu yang aku bawa ini esok hari masih ada, maka aku takkan kemari selama 3 hari", darisitu gw bisa mengambil hikmah tentang nikmatnya berbagi rizqi sesama. Karena setiap makanan yang tak habis, ibu selalu membagikan ke tetangga, dan itu yang diinginkan Ahmad.

Gw pernah menciumnya sekali, semoga Alloh memaafkan gw ketika diMasjid Istiqlal. Waktu itu pelipisnya terluka penuh dengan darah, ia lagi-lagi membuat gw terkesima setelah Jessica sahabat gw bercerita tentang kepahlawanan seorang pemuda yang menolongnya. Gw yakin itu Ahmad. Dia malah merasa bersalah tidak menepati janjinya ketempat ultah sahabat gw. Gw lihat Ahmad berdzikir dipelataran Istiqlal, gw langsung menemuinya untuk mengajaknya pulang.

Gw tempelkan bibir ini dipipinya, darahnya ikut menempel diujung hidung, gw merasa bangga karena darah yang mengalir adalah darah keberanian. Gw ingin satu saat nanti Ahmad selalu ada disaat gw butuh". Lanjut Maya.

"Menurut lu apa yang gw rasa wajarkan jika jatuh cinta kepadanya ? " Maya bertanya pada gadis disebelahnya. Beberapa lama ia diam tanpa ada suara.
"Hah tidur, dasar pelor..." ujar Maya setelah memastikan dia berbalik menghadap Laras.

Tiba-tiba suara lirih terdengar diluar barak, suara lelaki sedang memanggil namanya berulang kali.
"Maya...maya...maya...lu disitu ?"
"Ras...bangun ada yang panggil nama gw..." Maya berusaha membangunkan Laras, dia menggoyangkan pantatnya, tak lama dia terbangun dengan gelagap.
"Knapa May ?" ujarnya.
"Temenin gw keluar, ada yang manggil-manggil gw..." Maya berusaha meyakinkan Laras.
"May...lu ada didalam gak ?" suara lirih itu kembali terdengar.
"Iya gw dengar, sebentar lagi keluar..." teriaknya untuk menenangkan orang yang memanggilnya dari luar.

"Ada apa Jef ?" tanya Maya.
"Yudi May...!!!"
"Kenapa dengan Yudi ?" tanya Laras sambil ngucek-ngucek mata.
"Tenang Jef, ada apa dengan Yudi..." Maya berusaha menenangkan Jefri teman satu misi.
"Mending lu lihat sendiri disana..." Jefri menunjuk kearah jalan yang sudah dikerumunin banyak orang.
Maya dan Laras berlari kearah yang ditunjukkan jari telunjuk Jefri, kedua gadis itu berlari dengan membawa rasa penasaran yang tinggi. Kerumunan orang menambah rasa khawatirnya tentang nasib temannya.

"Yudi...ya Alloh lu kenapa ?" Maya langsung jongkok sedang tangannya berusaha menopang kepala Yudi. Temannya terkelepar bercucuran darah diperut, Maya mencoba membuka kaos yang sudah bercap darah disana.
"Dia tertusuk May..." Laras bersuara.
"Apa yang kalian lakukan pada Yudi, siapa yang melakukannya ? Tolong jangan diam...!!! " Maya berteriak kepada kerumunan orang lokal, mereka hanya saling menatap satu sama lain. Pertanyaan gadis cantik itu membuat semua orang bingung, siapa yang harus menjawab pertanyaan berisi dakwaan, yang mereka sama sekali tak tahu siapa yang melakukan.

"May...bu...kan...me....re
ka..." kata-kata Yudi susah keluar, tersengal dan batuk-batuk mengeluarkan darah dari mulutnya. Maya dan Laras mencoba memahami apa yang dikatakan Yudi.
"Ini pe...se....nan lu...May..."
"Gw...te...pa...tin...jan.
..ji kan...May...?!!" Lanjutnya.
"Wa...yang...Se...mar...!!
!" Tangan Yudi memegang kuat bungkusan kertas tebal berwarna coklat ada tangkai lurus dibawahnya, setelah dengan sekuat tenaga Yudi berbicara akhirnya lelaki dengan lumuran darah diperutnya pingsan, masih syukur kata yang terakhir yang ia ucapkan cukup jelas terdengar orang yang mengerumuni.

"Angkat dia...segera bawa dia ke rumah sakit...!!!" ucap Maya kepada Laras. Warga mencoba berebut membantu mengangkat tubuh Yudi. Antusias ringan tangan masyarakat Porong sangat besar, meskipun mereka pendatang perlakuan sama masyarakat disana menganggap seperti kerabat sendiri.

Kejadian Yudi adalah sebuah misteri yang belum terjawab. Malam dihiasi rembulan dan bintang akan terus melanjutkan kesaksiannya, angin semilir membawa arus debu bergulir begitu lambat dikerumunan orang. Maya dan Laras saling menatap seakan penasarannya menambah gundah disepanjang malam.


Tidak ada komentar: