Assalam...
Terkadang dunia sangat melenakan untuk kita, sehingga kita lupa akan syukurNya.
air mata sering menghiasi kita dalam kedukaan, tapi apakah itu sebenarnya maknanya, apakah kita berhenti sampai disitu, ingat meratapi semua yang ada didunia adalah kesia-siaan, namun dengan belajar sedikit demi sedikit untuk bangkit itu sesuatu yang mulia.
Silahkan...
"Aku meminta kepada Allah setangkai bunga segar, Allah beri aku KAKTUS BERDURI, aku meminta kepada Allah binatang mungil yang cantik, Allah beri aku ULAT BERBULU. Aku sedih, protes dan kecewa betapa tidak adilnya Allah kepadaku.
Namun kemudian kaktus itu berbunga indah bahkan sangat indah, dan ulat itupun tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang amat cantik.
Itulah jalan Allah "INDAH PADA WAKTUNYA"!!!, Allah tidak memberi apa yang kita harapkan, tapi Allah memberi apa yang kita perlukan. Kadang sedih, kecewa dan terluka. Tapi jauh diatas segalanya, Allah sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan manusia. Manusia cenderung membenci sesuatu yang sebenarnya, akhirnya lebih baik baginya, Allahu Akbar.
Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang pandai bersyukur atas karunia dan nikmatNya, amin ya rabbal'alamin".
Wassalam...
Kamis, 23 Oktober 2008
Rabu, 19 Maret 2008
ILMU SYUKUR
Surat dari sahabat, makasih ya, ilmuku belum sampe sejauh itu, tegar tenannnn...sip-sip-sip...
*** ILMU SYUKUR ***
Pernah aku mengatakan, ilmu syukurku justru kudapat dari seseorang yang beragama non muslim...
Aku adalah wanita biasa yang banyak orang berfikir tak punya kelebihan apa2, namun sebenarnya sejak dulu aku merasa penuh kelebihan ....Bukan bermaksud menyombongkan diri...Sejak dulu dengan segala keterbatasan aku merasa kaya, aku merasa punya segalanya...
Dilahirkan dari keluarga yg meski tak kaya namun cukup dihormati, punya keluarga yang saling menyayangi, banyak teman, diberi otak yang tak bodoh2 amat, dan meski tak cantik namun banyak juga lelaki yang menaruh hati...
Aku cukup merasa bahagia dengan hidupku, hingga aku tak pernah meminta lagi pada ALLAH,aku malu karena kurasa semua sudah Ia berikan padaku...Hingga suatu waktu, aku harus kehilangan ayahku untuk selamanya
...Hari Pertama di Rumah Sakit...
Semula aku cukup sedih, tak henti-hentinya aku menangis setiap kali aku melihat ayahku berbicara dengan suara parau yang tak kumengerti,tergelet ak tak berdaya pada ranjang rumah sakit dengan separuh badannya mati rasa. Hanya satu tangannya yang mampu bergerak menggapai-gapaiku seperti ingin memelukku, namun tak sampai. Aku mencoba mendekatkan wajahku agar aku bisa mendengar apa yang Beliau ucapkan. Namun aku tetap tak mampu mengerti karena syaraf lidahnya sudah rusak. Sepertinya aku tau apa yang ingin dikatakannya, "Nin (Nina nama panggilan kecilku), kok g kuliah katanya hari ini ada ujian ?"... tak sanggup lagi aku bendung air mataku, hingga aku berlari keluar ruangan, karna aku tak mau terlihat menangis didepan beliau.
Hari kedua...
Hari ini Ayahku dirujuk kerumah sakit yang agak besar, disinilah aku berkenalan dengan keluarga non muslim yang satu kamar dengan kami. Namanya Pak Edy, ia sakit sudah cukup lama dengan penyakit komplikasinya. Namun ia tak pernah menunjukkan rasa sedih,tertekan ataupun marah atas apa yang dialaminya. Bahkan masih sempatnya ia bersendau gurau dengan suster jaga. Aku cukup takjub.
Hari ketiga...
masih terlihat jelas kesedihan dimataku yang ternyata terbaca dengan mudahnya oleh sepupu dari pak Edy yang ikut jaga beliau. Kamipun berkenalan. Aku masih ingat betul namanya "Aan Andy Marino" berasal dari lampung yang biasa aku panggil andint...
Hari Keempat...
Aku tak pernah tau apa yang akan dia tunjukkan padaku, tapi kali ini aku ikut saja ketika ia mengajakku berkenalan dengan seorang ibu bernama Ibu Lastri yang ternyata juga non muslim.Ibu lastri adalah seorang ibu yang suaminya habis oprasi jantung, sedang kedua anaknya mengalami kecelakaan yang masing2 patah kaki dan satu gegar otak. Semua berada di Rumah sakit yang sama. Satu hal yang aku herankan, dari bibirnya masih tersungging senyuman, dan iapun masih tetap bersyukur dengan mengucap "Puji Tuhan Kami masih dikasihi oleh Tuhan..."Sungguh aku begitu takjub, ketika Andint jg mengatakan bahwa masih banyak yang mengalami kepahitan melebihi yang aku alami, tak seharusnya aku mengeluh karena mereka saja masih tetap bersyukur...
Hari selanjutnya....
Aku mulai mengerti apa itu Ikhlas dan syukur, aku ikhlas ketika ayahku akhirnya di ambil kembali... aku ikhlas ketika apa yang aku sayangi pergi dan tak kumiliki... karna aku yakin Allah masih sayang aku... aku masih diberi kebahagiaan yang lain... aku masih punya banyak teman yang slalu mendukung...
Tapi kali ini aku meminta banyak pada Allah,Ya ALLAH, jangan biarkan aku menjadi lupa akan syukurku...jangan biarkan hatiku menjadi kecil... jadikanlah aku wanita biasa yang punya banyak nikmat, jadikan aku wanita yang slalu ikhlas jika harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga sekalipun dalam hidupku, karena smua yang aku miliki pasti akan diminta kembali oleh ALLAH...
"semoga airmata ketabahan itu menjelma menjadi kekuatan untuk menghadapi siksa kuburnya, fithoatillah"
====> mengenang wafatnya ayahanda dari seorang sahabat <====
"semoga airmata ketabahan itu menjelma menjadi kekuatan untuk menghadapi siksa kuburnya, fithoatillah"
====> mengenang wafatnya ayahanda dari seorang sahabat <====
Rabu, 12 Maret 2008
Surga Dalam Hati
teng's elot mae bes prent...
"Kalau boleh aku minta kepada Allah, maka aku akan minta dibuatkan istana disurga nanti, tapi kalau ternyata aku tak mampu memilikinya karena aku tak punya banyak pahala, bolehkah aku minta dibuatkan istana cukup dalam hatiku ini saja".
Shalawat dan Salam Sang Pangeran Cinta Rasulullah SAW.
ISTRI SOLEHAH
*** ISTRI SOLEHAH ***
(Novel : Cintaku diMalam Lailatul Qadar)
Terdengar lantun suara lirih bacaan Al Qur’an setiap fajar, khas mengalun mengalahkan melodi simphoni relaxasi yang biasa didengarkan untuk terapi pikiran, membangunkan para aura suci untuk bermunajat kepadaMu, terkesimalah para malaikat mendengarnya, terngiang indah disetiap sentuhan ayat sehingga kau jelma saat subuh dengan kehangatan hawa mushab itu, bibir tipis yang setiap saat bergetar menyebut nama Allah, wajah ayu yang bersinar sehalus lilin terselimuti jilbab akan setiap waktu terpercik air suci wudhu, senyum indah dikala limpahan nikmat menghujani keluarganya yang kecil, mata sayup yang tergenang air mata saat musibah menimpa kehidupan Saara, bahkan Ramadhan tidak bisa mengerti tentang air mata itu, ia bersyukur atau sebuah ratapan, karena wanita itu tak pernah mengeluh tentang takdir yang silih berganti mengalir setiap hari, bahkan sampai aliran pembuluh darahnya terhenti. Taukah Saara yang selalu dikagumi wajahnya setiap dia terlelap dalam mimpi, sesungguhnya Ramadhan tak rela jika tingkah laku yang terbungkus kesopanannya ternodai cipratan dosa, akan selalu dijaga meskipun lawan yang dihadapi ratusan pedang bakal mencabik-cabik tepat dijantungnya, Ramadhan sungguh mencintainya.
“ya Allah…aku takut tentang anggapan syirik, sesungguhnya aku tak akan pernah menyekutukanMu atas wanita itu, Kau berikanku surga yang nyata didunia ini, berwujud mahluk yang senantiasa mengingatkanku atas nikmatMu, mahluk yang biasa aku panggil sayank, adalah istriku.” Batin Ramadhan.
Terkadang pernah terbesit kesombongan untuk membuktikan bahwa Saara adalah istri yang tidak salah pilih, terkadang pingin mengepal tangan keangkuhan biar semua tahu bahwa Saara adalah istri yang benar-benar bisa dipercayakan untuk keluarga, terkadang akan busungkan dada tinggi hati untuk bersaing agar semua mengerti bahwa Saara adalah sebenar-benar istri yang terbaik dari yang terbaik, kesolehahannya mengandung sari yang bisa mengobati penyakit hati mereka, Ramadhan tak pernah patah semangat untuk membekukan pendapat manusia yang melecehkannya, orang-orang akan salah menilai, tapi semua itu selalu luluh sebelum berjuang, adalah Saara yang mendinginkan darah yang semula memanas, adalah Saara yang membendung segala amarahnya sehingga semua saraf teraliri kesejukan.
“Semua itu ada massanya, percayalah Tuhan lebih mengerti umatNya, keadilan hakiki bukan disini tempatnya, maafkanlah mereka, segeralah dibukakan mata hati mereka yang tertutup, aku tidak pernah menyimpan dendam, sebagaimana kuinginkan suami yang demikian, sesungguhnya aku tidak menginginkan ketidaktaatan kepada suamiku, aku tidak bermaksut menghilangkan sifat menghormatimu, semoga laknat Allah tidak menimpa keluargaku, sebaliknya semoga nikmat cintaNya dilimpahkan menjadi nikmat cintaku yang luar biasa kepada suamiku” ucap tenang Saara yang menusuk dalam kalbu Ramadhan, terasa sejuk.
Mendengar ucapan istri tercinta seakan rontok seluruh isi tubuh Ramadhan, menjadi lebur tak berdaya, seperti debu yang mudah hilang hanya tertiup angin. Menerawang kagum melihat bibir Saara mengatakan yang belum pernah Ramadhan dengar dari wanita manapun, tak percaya sosok Aisyha RA yang sering ia baca Biografinya sedang mengilhami seorang wanita yang ada didepan matanya.
“ya Allah seandainya yang kupendam dalam hati menentang syari’atMu, hilangkan rasa itu, ya Allah maafkan aku, fithoatillah” jawabnya dalam hati, Ramadhan sungguh beruntung memiliki istri sepertinya, Saara tak sekedar penghias hidup tapi bahkan melebihi apa yang dibayangkan, ucapannya mengandung sabda.
Akan lebih terheran jika orang yang dulu pernah mengecilkan Saara, melihat tingkah lakunya sekarang yang anggun, orang-orang menganggapnya adalah sebongkah batu yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya sebongkah batu yang hanya merepotkan pemiliknya, tapi tidak bagi Ramadhan. Ia yakin sebongkah batu itu yang dipilihkan Allah untuknya, batu yang mungkin bisa mengalahkan puluhan permata yang dulu pernah mencoba menghiasi perjalanan ta’arufnya, sampai ia memilihnya sebagai belahan jiwa, Saara memang tak secantik Siti Hawa, tapi cukup menggetarkan naluri lelaki ketika tersenyum lewat candaannya, Saara memang tak sekaya Ratu Bilqis, tapi batinnya merasa kaya dan selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki, Saara memang tak setegar Fatimah Azzahra, tapi cukup membuatnya nyaman ketika harus berlayar mengarungi kehidupan yang penuh gelombang menghantam.
“Mas…sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor” pinta Saara.
Nasi putih, telur ceplok plus mie instant menu pagi ini yang sudah tersedia dilesehan karpet depan televisi. Rumahnya cukup sederhana, untuk saat ini meja makan belum sempat terbeli, usia pernikahan yang masih dini memaksa belum berfikir memilikinya. Ramadhan cukup kenyang, sudah terbiasa sejak kecil tak pernah membiarkan ada makanan tersisa dipiring.
“Alhamdulillah ya Allah jangan kau hentikan kebahagiaan atas keluargaku, berikan rizqi yang halal dan keberkahan yang luar biasa agar terbelanjakan dijalanMu, jauhkan kami dari bau busuk neraka, curahkan aroma wewangian dariMu, pilihlah keluarga kami sebagai penghuni surga, shalawat dan salam kpd Sang Pangeran Cinta Rasulullah SAW, amin” doa yang pernah diajarkan ibu kepada Ramadhan semasa kecil, sepintas teringat tangan terjuntai dari seorang ibu mengusap rambutnya, mata tajam memandang keoptimisan darinya, seolah menitipkan harapan besar yang tampak tergambar dari raut wajah ibu, beliau tak pernah terlewatkan untuk mengecup kening setiap selesai berdo’a untuk anaknya.
“Nanti missed call ya kalau sudah sampai kantor”.
“InsyaAllah” jawab Ramadhan.
Bergulir hari-harinya yang selalu berjalan akan hiasan kehidupan islami yang tercipta. Setengah tahun mereka berumah tangga, belum pernah berselisih tentang masalah besar, mereka selalu menganggap semua itu hanya hiburan yang tidak mengurangi kasih sayang. Adalah sang istri yang mengajarkan itu semua, merenung sejenak dan berfikir dengan kepala dingin akan mengalahkan segala-galanya daripada mengedepankan emosional.
“Sayank…malam ini jangan lupa menghafal ayat 74 surat An-Nissa” pinta Saara, jari lentiknya mengencangkan ikatan jaket yang dipakai suaminya.
“Astaghfirullah…aku hampir lupa, iya aku pasti menghafalnya” seolah-olah Ramadhan terkaget.
“heheheee…istriku belum tau, bahwa aku sudah menghafalkannya sampai ayat ke 112” batinnya.
Ramadhan memang berjanji untuk mempersembahkan hafalan surat An-Nissa disaat ulang tahun istrinya, saat yang dinantikan masih 1 bulan 12 hari, sebenarnya keinginan yang sederhana, Saara minta disaat malam menyambut ulang tahun, Suami ada disampingnya membaca bersama secara bergantian ayat demi ayat. Kenangan Saara bersama sahabat bisa dilanjutkan meskipun sudah punya suami, ritual sebelum dia tidur harus menghafal beberapa ayat tidak boleh hilang tersapu kesibukan rumah tangga, cita-cita yang sungguh mulia, mungkin dia tidak tahu diluar sana masih banyak problem wanita sekarang disibukkan perawatan tubuh, antri cat rambut di salon, menabung dosa lewat gossip atau bahkan membuka aib suami mereka, mengoleksi berbagai bentuk permata untuk dipamerkan satu sama lain.
“masyaAllah…semoga dia tidak termasuk kebanyakan wanita itu, sesungguhnya yang Maha Khaliq menjaga wanita-wanita solehah, jauhkan dia dari tipu daya syaitan” batin Ramadhan mengiringi jalan menuju pintu keluar.
“oh ya…nanti malam jangan lupa juga, setelah aku berhasil menghafal beberapa lanjutan ayat, imbalan indahnya cinta bisa aku temukan ditempat tidur, seperti tadi malam sayank…” kedipan mata Ramadhan cukup mengisyaratkan mengerti yang dia maksut.
“ehem…ehem…ehem…maunya…, aku terima tantangannya, aku tunggu episode malam ini yang lebih indah, hati-hati dijalan ya…” tersenyum manja seolah menarik kuat Ramadhan untuk tidak meninggalkannya walau sedetik.
Sepanjang jalan mulut Ramadhan berkomat kamit menghafal ulang ayat 74 sampai 80, ia tidak peduli meskipun bibirnya mulai mengering, walaupun sudah hafal ia tak ingin terlihat canggung didepan istrinya nanti, untuk memastikan Ramadhan melantunkan berulang-ulang. Tak terasa dia berjalan kaki hampir sampai halte bus jurusan uki-grogol, sudah saatnya dia bersiap lari untuk mengejar bus kota yang membuat sebagian orang merasa gerah berada didalamnya, yang selalu sesak dengan himpitan banyak orang, yang membuat stress menghadapi kemacetan selama perjalanan, tapi mungkin tidak bagi Ramadhan. Dia selalu berfikir waktunya bisa berguna selama perjalanan, tidak terbuang sia-sia, mempunyai kesempatan sebagai ajang pengumpulan pahala, ia tidak pernah lupa membawa buku bahan bacaan selama perjalanan atau mungkin merencanakan agenda pekerjaan hari ini, semua itu membuatnya terhibur.
“grogol…grogol…grogol…” teriak konduktur berkumis tebal, tanpa berfikir panjang langsung lompat ketika pintu belakang bus berada tepat didepannya.
“Alhamdulillah…masih banyak bangku kosong” batinnya seakan lega.
Tidak biasanya bangku dibiarkan kosong, mungkin banyak penumpang yang sudah terlanjur naik bus yang ada didepan, selisihnya memang tidak terlalu jauh. Orang berlarian mencari tempat duduk yang terasa nyaman bagi mereka, mungkin ini kesempatan untuk memilih. Akhirnya dipilih bangku paling belakang sebelah kiri dekat jendela kaca, Ramadhan masih teringat ucapan istri tercinta yang membuat suasana hatinya kangen, manjanya begitu menggoda, sudah masuk direlung pikiran yang paling abstrak.
“uhh…aku harus mencoba untuk mengusir pikiran itu, mungkin aku terlalu sayang padanya” mulai dibuka buku agenda kerja hari ini, mungkin ini akan berhasil mengusirnya.
“mas…bisa minta tolong, jendela dibuka sedikit, gerah sekali” pinta tiba-tiba ibu berkaca mata disebelahnya.
“uhh…saya sebelnya begini nih, kalau naik bus kota yang gak nahan tuh gerahnya” protes ibu.
“iya bu…” jawabnya, Ramadhan tak ingin menambah omongan lebih lanjut,“heheheee…kalau gak mau gerah, naik taxi kali” batinnya seraya tersenyum dalam hati.
“ya Allah…aku takut tentang anggapan syirik, sesungguhnya aku tak akan pernah menyekutukanMu atas wanita itu, Kau berikanku surga yang nyata didunia ini, berwujud mahluk yang senantiasa mengingatkanku atas nikmatMu, mahluk yang biasa aku panggil sayank, adalah istriku.” Batin Ramadhan.
Terkadang pernah terbesit kesombongan untuk membuktikan bahwa Saara adalah istri yang tidak salah pilih, terkadang pingin mengepal tangan keangkuhan biar semua tahu bahwa Saara adalah istri yang benar-benar bisa dipercayakan untuk keluarga, terkadang akan busungkan dada tinggi hati untuk bersaing agar semua mengerti bahwa Saara adalah sebenar-benar istri yang terbaik dari yang terbaik, kesolehahannya mengandung sari yang bisa mengobati penyakit hati mereka, Ramadhan tak pernah patah semangat untuk membekukan pendapat manusia yang melecehkannya, orang-orang akan salah menilai, tapi semua itu selalu luluh sebelum berjuang, adalah Saara yang mendinginkan darah yang semula memanas, adalah Saara yang membendung segala amarahnya sehingga semua saraf teraliri kesejukan.
“Semua itu ada massanya, percayalah Tuhan lebih mengerti umatNya, keadilan hakiki bukan disini tempatnya, maafkanlah mereka, segeralah dibukakan mata hati mereka yang tertutup, aku tidak pernah menyimpan dendam, sebagaimana kuinginkan suami yang demikian, sesungguhnya aku tidak menginginkan ketidaktaatan kepada suamiku, aku tidak bermaksut menghilangkan sifat menghormatimu, semoga laknat Allah tidak menimpa keluargaku, sebaliknya semoga nikmat cintaNya dilimpahkan menjadi nikmat cintaku yang luar biasa kepada suamiku” ucap tenang Saara yang menusuk dalam kalbu Ramadhan, terasa sejuk.
Mendengar ucapan istri tercinta seakan rontok seluruh isi tubuh Ramadhan, menjadi lebur tak berdaya, seperti debu yang mudah hilang hanya tertiup angin. Menerawang kagum melihat bibir Saara mengatakan yang belum pernah Ramadhan dengar dari wanita manapun, tak percaya sosok Aisyha RA yang sering ia baca Biografinya sedang mengilhami seorang wanita yang ada didepan matanya.
“ya Allah seandainya yang kupendam dalam hati menentang syari’atMu, hilangkan rasa itu, ya Allah maafkan aku, fithoatillah” jawabnya dalam hati, Ramadhan sungguh beruntung memiliki istri sepertinya, Saara tak sekedar penghias hidup tapi bahkan melebihi apa yang dibayangkan, ucapannya mengandung sabda.
Akan lebih terheran jika orang yang dulu pernah mengecilkan Saara, melihat tingkah lakunya sekarang yang anggun, orang-orang menganggapnya adalah sebongkah batu yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya sebongkah batu yang hanya merepotkan pemiliknya, tapi tidak bagi Ramadhan. Ia yakin sebongkah batu itu yang dipilihkan Allah untuknya, batu yang mungkin bisa mengalahkan puluhan permata yang dulu pernah mencoba menghiasi perjalanan ta’arufnya, sampai ia memilihnya sebagai belahan jiwa, Saara memang tak secantik Siti Hawa, tapi cukup menggetarkan naluri lelaki ketika tersenyum lewat candaannya, Saara memang tak sekaya Ratu Bilqis, tapi batinnya merasa kaya dan selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki, Saara memang tak setegar Fatimah Azzahra, tapi cukup membuatnya nyaman ketika harus berlayar mengarungi kehidupan yang penuh gelombang menghantam.
“Mas…sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor” pinta Saara.
Nasi putih, telur ceplok plus mie instant menu pagi ini yang sudah tersedia dilesehan karpet depan televisi. Rumahnya cukup sederhana, untuk saat ini meja makan belum sempat terbeli, usia pernikahan yang masih dini memaksa belum berfikir memilikinya. Ramadhan cukup kenyang, sudah terbiasa sejak kecil tak pernah membiarkan ada makanan tersisa dipiring.
“Alhamdulillah ya Allah jangan kau hentikan kebahagiaan atas keluargaku, berikan rizqi yang halal dan keberkahan yang luar biasa agar terbelanjakan dijalanMu, jauhkan kami dari bau busuk neraka, curahkan aroma wewangian dariMu, pilihlah keluarga kami sebagai penghuni surga, shalawat dan salam kpd Sang Pangeran Cinta Rasulullah SAW, amin” doa yang pernah diajarkan ibu kepada Ramadhan semasa kecil, sepintas teringat tangan terjuntai dari seorang ibu mengusap rambutnya, mata tajam memandang keoptimisan darinya, seolah menitipkan harapan besar yang tampak tergambar dari raut wajah ibu, beliau tak pernah terlewatkan untuk mengecup kening setiap selesai berdo’a untuk anaknya.
“Nanti missed call ya kalau sudah sampai kantor”.
“InsyaAllah” jawab Ramadhan.
Bergulir hari-harinya yang selalu berjalan akan hiasan kehidupan islami yang tercipta. Setengah tahun mereka berumah tangga, belum pernah berselisih tentang masalah besar, mereka selalu menganggap semua itu hanya hiburan yang tidak mengurangi kasih sayang. Adalah sang istri yang mengajarkan itu semua, merenung sejenak dan berfikir dengan kepala dingin akan mengalahkan segala-galanya daripada mengedepankan emosional.
“Sayank…malam ini jangan lupa menghafal ayat 74 surat An-Nissa” pinta Saara, jari lentiknya mengencangkan ikatan jaket yang dipakai suaminya.
“Astaghfirullah…aku hampir lupa, iya aku pasti menghafalnya” seolah-olah Ramadhan terkaget.
“heheheee…istriku belum tau, bahwa aku sudah menghafalkannya sampai ayat ke 112” batinnya.
Ramadhan memang berjanji untuk mempersembahkan hafalan surat An-Nissa disaat ulang tahun istrinya, saat yang dinantikan masih 1 bulan 12 hari, sebenarnya keinginan yang sederhana, Saara minta disaat malam menyambut ulang tahun, Suami ada disampingnya membaca bersama secara bergantian ayat demi ayat. Kenangan Saara bersama sahabat bisa dilanjutkan meskipun sudah punya suami, ritual sebelum dia tidur harus menghafal beberapa ayat tidak boleh hilang tersapu kesibukan rumah tangga, cita-cita yang sungguh mulia, mungkin dia tidak tahu diluar sana masih banyak problem wanita sekarang disibukkan perawatan tubuh, antri cat rambut di salon, menabung dosa lewat gossip atau bahkan membuka aib suami mereka, mengoleksi berbagai bentuk permata untuk dipamerkan satu sama lain.
“masyaAllah…semoga dia tidak termasuk kebanyakan wanita itu, sesungguhnya yang Maha Khaliq menjaga wanita-wanita solehah, jauhkan dia dari tipu daya syaitan” batin Ramadhan mengiringi jalan menuju pintu keluar.
“oh ya…nanti malam jangan lupa juga, setelah aku berhasil menghafal beberapa lanjutan ayat, imbalan indahnya cinta bisa aku temukan ditempat tidur, seperti tadi malam sayank…” kedipan mata Ramadhan cukup mengisyaratkan mengerti yang dia maksut.
“ehem…ehem…ehem…maunya…, aku terima tantangannya, aku tunggu episode malam ini yang lebih indah, hati-hati dijalan ya…” tersenyum manja seolah menarik kuat Ramadhan untuk tidak meninggalkannya walau sedetik.
Sepanjang jalan mulut Ramadhan berkomat kamit menghafal ulang ayat 74 sampai 80, ia tidak peduli meskipun bibirnya mulai mengering, walaupun sudah hafal ia tak ingin terlihat canggung didepan istrinya nanti, untuk memastikan Ramadhan melantunkan berulang-ulang. Tak terasa dia berjalan kaki hampir sampai halte bus jurusan uki-grogol, sudah saatnya dia bersiap lari untuk mengejar bus kota yang membuat sebagian orang merasa gerah berada didalamnya, yang selalu sesak dengan himpitan banyak orang, yang membuat stress menghadapi kemacetan selama perjalanan, tapi mungkin tidak bagi Ramadhan. Dia selalu berfikir waktunya bisa berguna selama perjalanan, tidak terbuang sia-sia, mempunyai kesempatan sebagai ajang pengumpulan pahala, ia tidak pernah lupa membawa buku bahan bacaan selama perjalanan atau mungkin merencanakan agenda pekerjaan hari ini, semua itu membuatnya terhibur.
“grogol…grogol…grogol…” teriak konduktur berkumis tebal, tanpa berfikir panjang langsung lompat ketika pintu belakang bus berada tepat didepannya.
“Alhamdulillah…masih banyak bangku kosong” batinnya seakan lega.
Tidak biasanya bangku dibiarkan kosong, mungkin banyak penumpang yang sudah terlanjur naik bus yang ada didepan, selisihnya memang tidak terlalu jauh. Orang berlarian mencari tempat duduk yang terasa nyaman bagi mereka, mungkin ini kesempatan untuk memilih. Akhirnya dipilih bangku paling belakang sebelah kiri dekat jendela kaca, Ramadhan masih teringat ucapan istri tercinta yang membuat suasana hatinya kangen, manjanya begitu menggoda, sudah masuk direlung pikiran yang paling abstrak.
“uhh…aku harus mencoba untuk mengusir pikiran itu, mungkin aku terlalu sayang padanya” mulai dibuka buku agenda kerja hari ini, mungkin ini akan berhasil mengusirnya.
“mas…bisa minta tolong, jendela dibuka sedikit, gerah sekali” pinta tiba-tiba ibu berkaca mata disebelahnya.
“uhh…saya sebelnya begini nih, kalau naik bus kota yang gak nahan tuh gerahnya” protes ibu.
“iya bu…” jawabnya, Ramadhan tak ingin menambah omongan lebih lanjut,“heheheee…kalau gak mau gerah, naik taxi kali” batinnya seraya tersenyum dalam hati.
(Bersambung...)
Minggu, 17 Februari 2008
GERIMIS
GERIMIS
Jakarta, 17 Februari 2008
Hari ini kudapati cahaya matahari menusuk rumput rumput liar, sehingga merubah nuansa segar tanaman yang dibiarkan tumbuh dihalaman rumah itu. Sinar mentari memaksa terobos awan-awan yang gelap, sesekali sang surya mengintip lewat celah-celah awan yang kantongi harapan nan tujuan. Lama-lama pandanganku sedikit tersapu kabur ketika air hujan mengguyur atap rumah sedikit demi sedikit lalu jatuh ketanah. Ya…hari ini gerimis, meskipun Jakarta pagi ini didominasi dengan cuaca cerah namun sedikit awan hitam berkerak kelam tampak didaerah Senayan, seperti hari-hari sebelumnya, sedikit air hujan itu yang selalu membuat sebagian anak manusia yang kekurangan ketahanan tubuh akan mengalami demam.
Aku berdiri menatap gerimis lewat jendela kamarku yang terbuka sejak fajar, aku tak pernah bosan pandangi keindahannya, karena aku suka dengan fenomena alam itu, meskipun kadang bisa membawa kedalam kenangan masa lalu terngiang lagi yang membuat airmataku berlinang.
Ketika kecil aku selalu menatap tak berkedip gerimis itu dengan berdiri diatas dingklik (jawa:kursi kecil dari kayu) dan tangan berpegangan teralis jendela, sembari kudengarkan ibu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disampingku, begitu indah begitu tentram suasana rumah. Tiba-tiba aku berteriak “ibu lihat, kolam ikanku penuh air, kapalku bisa berlayar lagi” aku sudah pandai membuat kapal-kapalan dari kertas, itu karena ayah, memang beliau selalu mengajariku dengan sekali contoh, membuatku tertantang membuktikan untuk bisa menirunya. Mulanya kucoba bongkar kapal kertas buatan ayah, kuperhatikan lipatan demi lipatan dengan seksama, hmm…aku mulai kebingungan waktu lupa lipatan selanjutnya, kulihat ayah cuma tersenyum kecut. “Ayah yakin kamu bisa” itu yang selalu terucap dari mulut beliau. Siang dan malam aku selalu menghafal lipatan demi lipatan, hingga satu hari aku bisa merangkainya sendiri, “sekarang kapal buatanku siap berlayar” ucapku penuh bangga, setiap hari aku menunggu gerimis turun, untuk berikan sedikit air dikolam kecilku. Namun yang ditunggu tak kunjung datang, meskipun begitu aku dengan sabar menunggu dan tersenyum.
Saat gerimis itu pula kenakalan kecilku dimulai, aku masih ingat ketika memecahkan gelas kesayangan ibu saat main bola didalam rumah, ibu sudah memeringatkan berulang kali, namun aku mengacuhkannya, hukuman dari beliau bakal aku terima secepatnya. Aku ingin berlari menghindari cubitan ibu yang pernah sempat membirukan pantatku, tapi kemana aku harus berlari, diluar gerimis. “Ibu sudah bilang, apa kamu tidak punya telinga!!” teriak keras ibu dari dapur membuat nyaliku menciut, aku berusaha lari tunggang langgang, mondar mandir dari ruang tamu ke teras rumah, kudapati pohon jambu air yang tumbuh dengan banyak ranting, sangat lebat sekali daun-daunnya, mungkin bisa menyelamatkan untuk bersembunyi sesaat dari pencarian ibu. Aku terus memanjat keatas sampai tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah rimbunnya pohon itu, “ibu tak melihatku” batinku lega, kemudian kupandangi kanan kiri atas bawah pohon jambu air itu, daun-daunnya tampak hijau menyekat, tak tahunya dibalik keindahannya banyak ulat-ulat menggelantung disana. Tangan kiriku, pergelangan kaki kananku, pundak sebelah kananku, dan punggungku terasa geli, seperti ada benda berjalan menggerayangi sekitar itu, “ibu…ada ulat di tubuhku” teriakku mengagetkan ibu dalam kebingungan pencariannya. Kedua tanganku berusaha menyingkirkan dan membuang ulat-ulat yang menari ditubuhku, hingga sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku terjadi, aku terpelanting kebelakang ketika kakiku tak kuat lagi menahan beban tubuhku, “gedubrakkkkk” aku terjatuh dari pohon itu.
Hari hari setelah itu aku jalani dengan rasa sesal, tak sekedar rasa nyeri dipunggung yang kurasakan, tetapi juga disekujur tubuhku tampak merah-merah dan gatal, kulitku bentol-bentol terkena racun ulat. Ibu dengan tekun mengusap-usap kulitku yang memerah dengan balsam, sesekali mulutnya meniup-niupkan angin disekitar siku tanganku yang terkelupas karena terbentur tanah, rasanya semriwing dan nyaman tapi sayang tak begitu lama. Beliau tekun menenangkan dengan nasehat yang membuatku menyesal tak mendengar peringatan saat itu.
Hingga setelah sembuh masih kudapati gerimis menghiasi suasana indah dihalaman rumahku, seketika aku bersedih ketika melihat ayah menumbangkan pohon jambu itu, “ayah kenapa dipotong pohon itu?” tanyaku, “buahnya gak ada tapi ulatnya banyak sekali nak, sangat membahayakan diri kita” jawabnya. Seandainya ayah tahu apa yang sebenarnya aku renungkan, aku sangat berterima kasih kepada pohon itu, dia telah memberiku pelajaran yang tiada terkira.
Aku masih jongkok terdiam memandang ayah membawa batang pohon jambu yang besar untuk dibuang ke sampah. “Nak…ambilkan sapu untuk ibu” pinta ibu membuyarkan lamunanku. Aku mulai beranjak dan tersenyum menyambut perintahnya.
Perjalanan masa kecilku mencari hikmah sungguh tak terbayangkan, sering melewatinya dengan diiringi gemericik air keberkahan dari langit. Tertawa menangis terdiam berteriak, segalanya aku lewati dengan senyum dan kesedihan, seperti masa usiaku menginjak enam belas tahun, gerimis kali ini berbeda dengan gerimis sebelumnya, satu per satu orang yang ada disekitarku pergi meninggalkanku, sahabatku Lina pergi jauh entah kemana, dia pindah rumah tanpa memberitahuku, seorang gadis tomboy yang sering membuat aku bingung dengan kelakuannya, tak pernah mau mendengarkan omonganku, tapi selalu muncul ketika aku membutuhkannya, kali ini aku semakin tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, gerimis mengiringi kesendirianku.
Tak berhenti kesedihanku sampai disitu, menyusul kenyataan yang tak pernah terbayangkan, tak berselang lama dari hari Lina meninggalkanku, salah satu orang yang aku kagumi kepribadiannya menutupkan mata untuk selamanya, Nenek dari Ibu meninggal dunia, beliau yang sejak kecil menemaniku bermain layang-layang dipantai ketika ayah dan ibu tak dirumah, beliau yang setiap sore menggendongku dengan menyanyikan shalawat badar berulang-ulang sampai aku tertidur, beliau juga yang tak pernah lama membuatkan bubur kinco (jawa:bubur dicampur gula aren cair) kesukaanku setiap kali minta.
Kesedihanku berangsur-angsur membuyar ketika suara gerimis menyamarkan bayang-bayang kelabuku. Dewasa dan terus bertambah dewasa pemikiran menyelubungi akal sadarku, kesedihan yang berlarut-larut akan menenggelamkanku kedalam belenggu nestapa, aku ingin gerimis kali ini tak sekedar memberi pelajaran dihari-hari yang lampau namun juga bisa membawa sinar terang harapan dikemudian hari, menemukan jalan keluar segala bentuk pertanyaan dan kebimbangan dalam batinku.
Aku tak berusaha mengalihkan pandangan dari gerimis itu, masih berdiri dibalik jendela yang kordennya beterbangan kesana kemari, aku amati terus awan yang masih berarak, mau berjalan kemana setelah dari Timur, oh jangan ke utara, disana masih ada pembangunan jalan flyover, aku yakin para pekerja jalanan itu tidak menginginkanmu, “jangan kau arahkan gerimis kesana, Angkasa” batinku. Tiba-tiba istriku memelukku dari belakang, kedua tangannya muncul dari sela-sela dadaku dan memelukku erat, merubah cuaca dingin kembali menghangat dengan dekapannya yang mesra. “Mas…sarapan dulu, nasi gorengnya sudah siap” tutur katanya membuatku membalikkan muka dan menatap matanya yang indah. “iya sayank…kita sarapan yuk” ajakku.
Imagination and written by : afif
Setting : Kamar kos paling tengah, selesai nulis ba’do dhuhur
Jakarta, 17 Februari 2008
Hari ini kudapati cahaya matahari menusuk rumput rumput liar, sehingga merubah nuansa segar tanaman yang dibiarkan tumbuh dihalaman rumah itu. Sinar mentari memaksa terobos awan-awan yang gelap, sesekali sang surya mengintip lewat celah-celah awan yang kantongi harapan nan tujuan. Lama-lama pandanganku sedikit tersapu kabur ketika air hujan mengguyur atap rumah sedikit demi sedikit lalu jatuh ketanah. Ya…hari ini gerimis, meskipun Jakarta pagi ini didominasi dengan cuaca cerah namun sedikit awan hitam berkerak kelam tampak didaerah Senayan, seperti hari-hari sebelumnya, sedikit air hujan itu yang selalu membuat sebagian anak manusia yang kekurangan ketahanan tubuh akan mengalami demam.
Aku berdiri menatap gerimis lewat jendela kamarku yang terbuka sejak fajar, aku tak pernah bosan pandangi keindahannya, karena aku suka dengan fenomena alam itu, meskipun kadang bisa membawa kedalam kenangan masa lalu terngiang lagi yang membuat airmataku berlinang.
Ketika kecil aku selalu menatap tak berkedip gerimis itu dengan berdiri diatas dingklik (jawa:kursi kecil dari kayu) dan tangan berpegangan teralis jendela, sembari kudengarkan ibu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an disampingku, begitu indah begitu tentram suasana rumah. Tiba-tiba aku berteriak “ibu lihat, kolam ikanku penuh air, kapalku bisa berlayar lagi” aku sudah pandai membuat kapal-kapalan dari kertas, itu karena ayah, memang beliau selalu mengajariku dengan sekali contoh, membuatku tertantang membuktikan untuk bisa menirunya. Mulanya kucoba bongkar kapal kertas buatan ayah, kuperhatikan lipatan demi lipatan dengan seksama, hmm…aku mulai kebingungan waktu lupa lipatan selanjutnya, kulihat ayah cuma tersenyum kecut. “Ayah yakin kamu bisa” itu yang selalu terucap dari mulut beliau. Siang dan malam aku selalu menghafal lipatan demi lipatan, hingga satu hari aku bisa merangkainya sendiri, “sekarang kapal buatanku siap berlayar” ucapku penuh bangga, setiap hari aku menunggu gerimis turun, untuk berikan sedikit air dikolam kecilku. Namun yang ditunggu tak kunjung datang, meskipun begitu aku dengan sabar menunggu dan tersenyum.
Saat gerimis itu pula kenakalan kecilku dimulai, aku masih ingat ketika memecahkan gelas kesayangan ibu saat main bola didalam rumah, ibu sudah memeringatkan berulang kali, namun aku mengacuhkannya, hukuman dari beliau bakal aku terima secepatnya. Aku ingin berlari menghindari cubitan ibu yang pernah sempat membirukan pantatku, tapi kemana aku harus berlari, diluar gerimis. “Ibu sudah bilang, apa kamu tidak punya telinga!!” teriak keras ibu dari dapur membuat nyaliku menciut, aku berusaha lari tunggang langgang, mondar mandir dari ruang tamu ke teras rumah, kudapati pohon jambu air yang tumbuh dengan banyak ranting, sangat lebat sekali daun-daunnya, mungkin bisa menyelamatkan untuk bersembunyi sesaat dari pencarian ibu. Aku terus memanjat keatas sampai tanpa sadar aku sudah berada ditengah-tengah rimbunnya pohon itu, “ibu tak melihatku” batinku lega, kemudian kupandangi kanan kiri atas bawah pohon jambu air itu, daun-daunnya tampak hijau menyekat, tak tahunya dibalik keindahannya banyak ulat-ulat menggelantung disana. Tangan kiriku, pergelangan kaki kananku, pundak sebelah kananku, dan punggungku terasa geli, seperti ada benda berjalan menggerayangi sekitar itu, “ibu…ada ulat di tubuhku” teriakku mengagetkan ibu dalam kebingungan pencariannya. Kedua tanganku berusaha menyingkirkan dan membuang ulat-ulat yang menari ditubuhku, hingga sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku terjadi, aku terpelanting kebelakang ketika kakiku tak kuat lagi menahan beban tubuhku, “gedubrakkkkk” aku terjatuh dari pohon itu.
Hari hari setelah itu aku jalani dengan rasa sesal, tak sekedar rasa nyeri dipunggung yang kurasakan, tetapi juga disekujur tubuhku tampak merah-merah dan gatal, kulitku bentol-bentol terkena racun ulat. Ibu dengan tekun mengusap-usap kulitku yang memerah dengan balsam, sesekali mulutnya meniup-niupkan angin disekitar siku tanganku yang terkelupas karena terbentur tanah, rasanya semriwing dan nyaman tapi sayang tak begitu lama. Beliau tekun menenangkan dengan nasehat yang membuatku menyesal tak mendengar peringatan saat itu.
Hingga setelah sembuh masih kudapati gerimis menghiasi suasana indah dihalaman rumahku, seketika aku bersedih ketika melihat ayah menumbangkan pohon jambu itu, “ayah kenapa dipotong pohon itu?” tanyaku, “buahnya gak ada tapi ulatnya banyak sekali nak, sangat membahayakan diri kita” jawabnya. Seandainya ayah tahu apa yang sebenarnya aku renungkan, aku sangat berterima kasih kepada pohon itu, dia telah memberiku pelajaran yang tiada terkira.
Aku masih jongkok terdiam memandang ayah membawa batang pohon jambu yang besar untuk dibuang ke sampah. “Nak…ambilkan sapu untuk ibu” pinta ibu membuyarkan lamunanku. Aku mulai beranjak dan tersenyum menyambut perintahnya.
Perjalanan masa kecilku mencari hikmah sungguh tak terbayangkan, sering melewatinya dengan diiringi gemericik air keberkahan dari langit. Tertawa menangis terdiam berteriak, segalanya aku lewati dengan senyum dan kesedihan, seperti masa usiaku menginjak enam belas tahun, gerimis kali ini berbeda dengan gerimis sebelumnya, satu per satu orang yang ada disekitarku pergi meninggalkanku, sahabatku Lina pergi jauh entah kemana, dia pindah rumah tanpa memberitahuku, seorang gadis tomboy yang sering membuat aku bingung dengan kelakuannya, tak pernah mau mendengarkan omonganku, tapi selalu muncul ketika aku membutuhkannya, kali ini aku semakin tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, gerimis mengiringi kesendirianku.
Tak berhenti kesedihanku sampai disitu, menyusul kenyataan yang tak pernah terbayangkan, tak berselang lama dari hari Lina meninggalkanku, salah satu orang yang aku kagumi kepribadiannya menutupkan mata untuk selamanya, Nenek dari Ibu meninggal dunia, beliau yang sejak kecil menemaniku bermain layang-layang dipantai ketika ayah dan ibu tak dirumah, beliau yang setiap sore menggendongku dengan menyanyikan shalawat badar berulang-ulang sampai aku tertidur, beliau juga yang tak pernah lama membuatkan bubur kinco (jawa:bubur dicampur gula aren cair) kesukaanku setiap kali minta.
Kesedihanku berangsur-angsur membuyar ketika suara gerimis menyamarkan bayang-bayang kelabuku. Dewasa dan terus bertambah dewasa pemikiran menyelubungi akal sadarku, kesedihan yang berlarut-larut akan menenggelamkanku kedalam belenggu nestapa, aku ingin gerimis kali ini tak sekedar memberi pelajaran dihari-hari yang lampau namun juga bisa membawa sinar terang harapan dikemudian hari, menemukan jalan keluar segala bentuk pertanyaan dan kebimbangan dalam batinku.
Aku tak berusaha mengalihkan pandangan dari gerimis itu, masih berdiri dibalik jendela yang kordennya beterbangan kesana kemari, aku amati terus awan yang masih berarak, mau berjalan kemana setelah dari Timur, oh jangan ke utara, disana masih ada pembangunan jalan flyover, aku yakin para pekerja jalanan itu tidak menginginkanmu, “jangan kau arahkan gerimis kesana, Angkasa” batinku. Tiba-tiba istriku memelukku dari belakang, kedua tangannya muncul dari sela-sela dadaku dan memelukku erat, merubah cuaca dingin kembali menghangat dengan dekapannya yang mesra. “Mas…sarapan dulu, nasi gorengnya sudah siap” tutur katanya membuatku membalikkan muka dan menatap matanya yang indah. “iya sayank…kita sarapan yuk” ajakku.
Imagination and written by : afif
Setting : Kamar kos paling tengah, selesai nulis ba’do dhuhur
Selasa, 12 Februari 2008
Cintaku Setipis Bulu Alis Versi Puisi
Akhirnya kutemukan satu masa yang biasa
Tidak seperti kala perpisahan yang mengagumkan
Masih berdiri dibalik jendela terbuka
Sambil kupandangi lebah menghisap bunga
Seakan malaikat tangkupkan tangan
Menyambut gugurnya putik yang beterbangan
Benarkah takdir memisahkan raga
Namun jiwa takkan rapuh menyangga
Sekelebat bayangan hinggap dan sirna
Diterjang ombak sebesar mantra
Tanganku tak mampu menghadang
Disaat keyakinanmu semakin kuat
Semakin juga menguatkan kasih
Aku takkan layu dikala merindu
Jadikan ia pasukan fisabilillah
Jangan kau menyerah untuk berdakwah
Neraka kau tampik, surga kau tadah
Kesetiaan…
Aku ingin kau menemani dalam beribadah
Menjemput pahala yang ada didepan mata
Yaitu…CINTA.
Tidak seperti kala perpisahan yang mengagumkan
Masih berdiri dibalik jendela terbuka
Sambil kupandangi lebah menghisap bunga
Seakan malaikat tangkupkan tangan
Menyambut gugurnya putik yang beterbangan
Benarkah takdir memisahkan raga
Namun jiwa takkan rapuh menyangga
Sekelebat bayangan hinggap dan sirna
Diterjang ombak sebesar mantra
Tanganku tak mampu menghadang
Disaat keyakinanmu semakin kuat
Semakin juga menguatkan kasih
Aku takkan layu dikala merindu
Jadikan ia pasukan fisabilillah
Jangan kau menyerah untuk berdakwah
Neraka kau tampik, surga kau tadah
Kesetiaan…
Aku ingin kau menemani dalam beribadah
Menjemput pahala yang ada didepan mata
Yaitu…CINTA.
Jodoh...Aku Menjemputmu.
Perasaan gelisah masih tertanam dalam hati Kemal, duduk dikursi busa yang terbalut kain bercorak kembang-kembang guna menunggu giliran masuk keruangan Direksi, tampak pintu bertuliskan “Ruang Direktur” tepat berada didepan Kemal duduk menunggu, jantung berdegup semakin kencang tak beraturan, sesekali ia menengadahkan dagu untuk menatap sesaat tulisan itu tapi tak bertahan lama, lalu wajahnya tertunduk lesu dengan masih menyimpan perasaan tanya, tak biasanya seorang karyawan rendahan dipanggil langsung oleh direktur untuk menghadap ke ruangannya, jika orang yang mempunyai kesalahan atau ijin untuk mengundurkan diri atau ada kepentingan lain yang harus minta keputusan Direktur itu lumrah (jawa:wajar) untuk menghadap, tapi Kemal termasuk karyawan biasa yang mempunyai tanggung jawab hanya kepada kepala Divisinya, tak ada kepentingan apa-apa untuk menghadap Direktur, kalaupun ada kesalahan hanya Managernya yang dipanggil, ia pun juga tak ada niat untuk resign (arti:mengundurkan diri).
“mbak…mbak Desi, ada apa sih aku dipanggil pak Prakoso?” tanyanya penuh khawatir, seiringan wanita berambut panjang lurus berjalan didepannya, wanita yang biasa dipanggil mbak Desi itu adalah tukang terima telpon (baca:operator). Biasanya siapa saja yang ada kepentingan telepon masuk atau keluar harus berhadapan dengannya, suaranya memang merdu tak salah jika pak Prakoso menunjuknya sebagai operator, selain suaranya yang sesuai dengan wajah, ia juga cukup cekatan dalam bekerja.
“lah…meneketehe…hayooo dimarahin kali” celetuknya sambil melempar senyum dan berlalu.
“yeee…ditanya serius malah bercanda” balas Kemal.
“bismillah…semoga gak ada apa-apa” ucapnya dalam hati. Kembali menundukkan kepala, meskipun melihat kebawah tapi ia tak memperhatikan apa-apa yang ada dibawahnya. Lalu matanya terpejam tak lama terbuka lagi, mulutnya sambil berkomat-kamit membaca doa agar diberi rasa tenang.
Seketika muncul wanita berjilbab berdiri didepan Kemal, wanita itu memberanikan diri tuk menyapanya, tapi masih ragu.
“maaf mas…sandal yang mas pakai, itu sandal saya” sapanya halus, meskipun kata yang ia ucapkan sedikit, tapi membuat lawan bicara seakan terpaku melihat kesopanan nada bicara yang memikat.
Wanita berjilbab lebar itu menarik senyum yang anggun disertai dengan anggukan kepala tanda hormat membuat orang berfikir 13 kali jika ingin mengacuhkannya, Kemal sejenak berfikir siapa wanita itu yang mengaku-ngaku sandal yang ia pakai adalah sandal miliknya, ia tak pernah melihatnya dalam lingkungan kantor, bagaimana ia masuk, siapa namanya, mungkin terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, dengan segera ia patahkan dengan memandang alas kakinya.
“masyaAllah…aku dari tadi bawa sandal, kenapa gak kerasa ya?!” celetuknya tanpa ada rasa salah.
Memang panggilan mendadak pak Prakoso membuatnya gugup, Kemal mendengar kabar disuruh menghadap penguasa perusahaan tempat ia bekerja setelah selesai melaksanakan shalat sunnah menjelang pertengahan hari. Dengan terburu-buru ia memakai sandal yang ada diMusholla, tanpa melihat sandal siapa yang ia pakai, pikirnya sandal yang berada disitu adalah sandal umum.
Sangat disayangkan sebuah gedung berlantai 10 hanya memiliki satu Musholla yang hanya berkapasitas 50 jamaah, disetiap lantai dihuni satu macam perusahaan, setiap perusahaan minimal memiliki 20 orang pegawai muslim yang aktif shalat berjamaah, bisa dibayangkan jika waktunya shalat wajib tiba banyak yang bersabar menunggu giliran. Tapi tidak apa-apa, menunggu giliran masuk surga lebih hasanah daripada menunggu dalam hal kesesatan, Allah lebih suka menguji umatnya yang taat dengan kesabaran namun Allah akan membalasnya kelak dengan memberikan nikmat lebih dari yang kita bayangkan, itu janjiNya.
Suara pintu terbuka, itu terdengar dari suara pintu ruang direktur, tapi Kemal masih mencoba menenangkan rasa malunya terhadap wanita yang tak ia kenal.
“sekarang giliranmu” ucap pak Karto yang baru saja keluar dari ruangan pak Prakoso, wajahnya berbinar-binar mungkin ia menerima keputusan yang menyenangkan. Kemal menginginkan situasi yang sama menimpa dirinya. Tanpa berfikir panjang Kemal dengan segera masuk keruangan direktur tanpa memakai alas kaki.
“permisi pak…maaf saya menghadap tidak memakai alas kaki, lupa…” sapanya malu sambil nyengir ragu, rasa malu ditambah takut bercampur aduk entah apa jadinya, yang pasti sekujur tubuh gemetar tak tertahankan.
“wis ora popo, aku cuma sebentar saja, mau ngobrol sedikit sama kamu” tangan pak Prakoso menarik pundak Kemal untuk menawarkan duduk diruangannya, bahasa tubuh pak Prakoso langsung dimengerti karyawan yang usianya termuda diperusahaannya itu.
“terima kasih, pak” jawab Kemal, hatinya sedikit rileks karena ucapan pak Prakoso membuat ketegangan menjadi lebur, sapa ramahnya melelehkan ragu yang semula membatu.
“saya ingin menyerahkan surat ini kepadamu dengan tangan saya sendiri, saya ingin kamu menerima tantangan yang saya tawarkan, nanti kamu buka sendiri isinya apa, sudah saatnya saya menunjuk anak muda yang kreatif seperti kamu” ucap pak Prakoso pelan nan tegas.
“saya tidak mengerti maksut bapak?” sahut Kemal.
Kemal adalah seorang anak muda yang sudah empat tahun bekerja diperusahaan itu, ia dikenal sebagai tukang gambar sipil maupun gambar elektro, ia sangat paham membaca gambar apalagi mengakumulasi project lewat gambar tehnik, melihat kemampuan yang dimiliki Kemal, seorang penguasa perusahaan sudah jauh hari meliriknya untuk menawarkan tantangan yang lebih menguji kekreatifannya, mempercayakan untuk menangani project dari awal sampai akhir. Itu memang bukan pekerjaan yang gampang bagi pemuda seusia Kemal, ia harus bisa mandiri berfikir bagaimana caranya project itu terselesaikan dengan cepat dan hemat, itulah yang diinginkan semua perusahaan, mengefisiensikan pengeluaran dan meraup sebanyak-banyaknya keuntungan.
“sudah…surat itu kamu baca dirumah saja, oh ya kapan kamu nikah?” pertanyaan pak Prakoso menyimpang jauh dari apa yang sedang diangankan Kemal, belum tuntas ia bertanya-tanya apa isi yang ada didalam bungkusan amplop coklat yang dipegang, sudah muncul pertanyaan yang mengundang gundah dalam batinnya selama ini.
Semua orang sangat menginginkan pernikahan, begitu juga Kemal, hanya lewat sunah Rasul itulah yang bisa menghalalkan hubungan antara lawan jenis yang saling menyinta, jika sudah waktunya tiba obat untuk tambatan rindu hanyalah halalnya bercinta, jika berkobarnya persahabatan tak cukup lagi mencurahkan isi hati, apalagi yang dicari, jika insan terjerembab dalam keresahan hanya motivasi dari pasangan yang diharapkan, jika malam malam terasa sunyi dan angin malam tak lagi menebarkan hawa hangat, apalagi yang dicari, hanya pernikahanlah jalan menuju keberkahanNya.
“pernikahan itu sama dengan bisnis yang kita jalankan, jika kamu berani mengambil keputusan sekarang ya harus siap dengan resiko yang bakal dihadapi, kita tetap hadapi prosesnya tapi ingat hasil akhir yang kita ambil, kalau bisnis kita hasil akhir adalah keuntungan kalau pernikahan hasil akhir ya pahala dari Allah, yang penting barokah”.
Tak biasanya pak Prakoso berkoar tentang kebajikan, tapi kali ini beda, ia bukan berperan sebagai Direktur yang setiap hari mendoktrin karyawannya untuk bekerja seefisien mungkin demi mengejar laba tapi juga sebagai ustadz penyejuk jiwa disaat seorang karyawan merindukan dakwahan. Apa yang dikatakan beliau memang tak salah,
“itu dia pak, saya masih ada yang dipikirkan, masih ada yang kurang” cetus Kemal.
“kurang opo kowe?”
“kulo kirang kalih pak?!...maksutipun kalih sinten?”
“hwuahahahaaaaa” kelakar pak Prakoso tak bisa ditahan, serentak ruangan yang hanya diisi dua orang saat itu seraya ramai gelak tawa terdengar sampai keluar. Sambil mengucek-ucek mata, pak Prakoso melepaskan kacamata yang ia pakai, beliau masih tertawa cekikikan mendengar guyonan Kemal.
“Kemal…Kemal…diluar sana para bidadari itu antri menunggumu” ucapnya sambil menahan senyum lalu meneguk segelas air putih yang telah tersedia dimejanya.
“amin…semoga begitu” batin Kemal sambil tertunduk malu.
“kamu minum saja teh itu, tadi ada tamu buru-buru pulang, gak jadi diminum, sudah terlanjur dibuatin sama pak Wage, ayo minum” ajakan bapak Direktur yang semakin terlihat kerutan diwajahnya jika tersenyum.
Ini semua berkat pak Wage, karenanya rasa haus Kemal terobati sesaat, hilangnya rasa malu dan bingung terbalaskan dengan mendapat rizqi berupa minuman, tak heran jika semua karyawan termasuk Kemal selalu menaruh syukur kepada pak Wage, beliau yang setiap pagi tak pernah lupa tugas dan kewajibannya, meskipun sekedar office boy diperusahaan itu, ia tak pernah terlambat dalam melayani pak Prakoso dan para karyawannya. Tempat tinggal yang amat jauh tak pernah menghalanginya mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Jarak yang ditempuh dari desa Parung ke Sudirman memakan waktu satu jam dua puluh lima menit, yang membuat semua karyawan salut ia tak pernah mengeluh meskipun mengendarai sepeda motor vespa keluaran tahun 1982, motor tua yang selalu menemani kulitnya yang sudah kisut tersengat panas matahari, motor butut yang selalu membuat kesal jika hujan mengenai busi lalu mogok dijalan.
Pak Prakoso mulai membereskan agenda yang diperlukan untuk pertemuan dengan klien, tiba-tiba suara beep dari handphone-nya mengheningkan beberapa detik obrolan mereka berdua, pak Prakoso berkomat kamit membaca email yang diterima dari ponsel-nya, lalu membereskan kertas berisi penawaran harga yang semula berserakan dimeja, Kemal masih tampak memperhatikan kesibukan pak Direktur, tak lama Kemal mengambil inisiatif ijin keluar ruangan karena merasa pertemuan dengan pak Prakoso sudah cukup, lalu suara dehem disertai senyum ramah pak Prakoso mewakili jawaban setujunya.
Langkah gontai kaki Kemal untuk kembali ke meja kerja masih terasa berat, dengan adanya beban yang masih menyembunyikan jawaban belum pasti dalam batinnya atas pembicaraan dengan pak Prakoso, dari isi amplop coklat yang ia pegang sampai dakwahan nasehat menikah, tapi argumen yang terakhir tak merasa itu sebagai beban, ia merasa tertantang untuk mewujudkannya, tapi entah kapan, mengingat apa yang ia resahkan tak kunjung pergi dan menjelma menjadi hikmah, prioritas utama Kemal yaitu ikhtiar mencari seorang wanita yang mengutamakan ibadah demi tercapainya keluarga yang sakinah, nilai wanita dimata lelaki muslim adalah kecantikan, kekayaan, dan juga keturunan, tapi yang harus dinomor satukan adalah ibadahnya kepada Allah, percuma jika kecantikan dan kekayaan membutakan nafsu manusia, jika itu hilang dimakan usia dan tak kekal, kekhawatiran untuk bertahan apa bisa disombongkan.
Kemal berjalan santai tetapi pikirannya masih menerawangkan sesuatu, ia mulai membaca siapa wanita yang mau diajak menikah dengannya seketika tanpa mengenal pribadi masing-masing, sosok pemuda yang tak mengenal pacaran itu menerka-nerka dalam harap, sejak ditinggalkan Maya sahabatnya yang diam diam menaruh hati dengan Kemal, ia merasa minder bergaul dengan wanita, Kemal selalu berfikir hatinya jahat dimata wanita, sejak Maya menangisi sikap egois Kemal yang ternyata menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat. Kemal memang tak pandai membaca perasaan kaum hawa, seandainya waktu bisa diputar seperti mudahnya memutar mainan gangsingan yang arahnya tinggal ditarik berlawanan, Kemal akan menyambut maksut cinta tak terbaca dimata Maya.
Maya adalah sosok wanita yang memiliki semuanya, kecantikannya tak diragukan lagi, wajah cantik yang alami membuat semua lelaki tak berkedip memandang jika berhadapan dengannya. Kemal merasakan curahan hati ketika resah terasa nyaman terutarakan depan Maya, cara berfikirnya yang bijaksana jarang dipunyai kebanyakan wanita yang menjalani pendidikan psikologi di Universitas Indonesia itu.
“tidak…bukan Maya, dia bukan untukku, maafkan aku Maya, semoga kau bahagia dengan suamimu” batinnya mencoba menghilangkan rasa sesal yang hinggap tak lama pergi. Dan ia bersyukur persahabatannya tidak hancur mengikuti leburnya perjalanan cinta Maya, ternyata persahabatannya masih kekal sampai sekarang.
Kemal sudah duduk dimejanya, menatap laptop yang sedari tadi ditinggalkannya untuk menghadap pak Direktur, laptopnya dibiarkannya nyala, tampak layarnya yang ber-background gelap masih kosong tanpa terbuka program selama ia tak ditempat, Kemal masih senyum-senyum sendiri.
“jodoh adalah salah satu dari sekian anugrah yang menjadi rahasia Ilahi, aku segera datang menjemputmu” kata yang tak terucap dalam suara.
Keyakinan Kemal mulai terbaca dari mengepal tangan kanan yang kuat, ia yakin manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, lelaki yang baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik dan sebaliknya. Mau tak mau ia harus belajar dari kegagalan masa lalu yang tak pandai memahami perasaan wanita, Kemal mulai membuka hati yang dulu keras untuk menjadi lunak, sekeras apapun batu karang akan hancur jika terus menerus terpercik air, ia tak boleh mempertahankan egoisnya, ia tak boleh ragu dan tak boleh jadi pengecut, harus berani mengambil sikap, sudah sepantasnya untuk memfokuskan diri memimpin sebuah keluarga.
Senyumnya melebar dan dibarengi anggukan kepala yang tak terhitung berapa kali ia melakukannya, karena teringat salah satu artikel yang pernah ia baca. Seorang yang tidak mau menikah karena enggan memikul beban beristri, anak-anak dan rumah tangganya adalah seorang penakut dan pengecut. Sebaliknya seorang yang hidup dengan berbagai keluarga dan rumah tangga adalah pemberani, ia adalah orang yang menang dalam kancah pertempuran.
“bismillah…aku melangkah menuju sunnahmu ya Rasul, berkahi ya Allah niat hambaMu, amin” semakin kuat dan bulat tekat yang diyakini Kemal.
Tepukan tangan pak Wage dipundak Kemal yang secara tiba-tiba mengagetkannya, mungkin dari tadi pak Wage memperhatikannya dari kejauhan, sambil menaruh mangkok yang berisi pempek yang sejak pagi dipesan Kemal, pempek yang sudah kelihatan tak hangat lagi itu disajikan dengan pelayanan tulus pak Wage, meskipun kelihatan sudah tak mengundang selera namun perhatian pak Wage yang menghangatkan suasana menjadi tak hambar, ia sengaja menyimpannya didapur karena ia tahu yang mpunya dipanggil keruang pak Prakoso.
“ada apa toh mas, dari tadi senyum-senyum sendiri?”
“gak ada apa-apa pak, cuma teringat sesuatu”
“ya berarti ada apa-apa dong”
“wah pempek yang tadi pagi saya pesan ya, kenapa gak dimakan sekalian pak”
“yah…saya kan sudah dibelikan satu, itu sudah cukup mas”
Setiap kali Kemal menyuruh beli makanan selalu memberi uang dua kali lipat harga makanan itu, biar pak Wage ikut merasakannya. Pak Wage memang terkenal ringan tangan, sering ia menolak imbalan jasa yang diberikan setelah membelikan makanan karyawan, dengan alasan sudah kewajiban melayani mereka. Adalah Kemal yang selalu membuatnya merasa tak enak, pak Wage selalu tak bisa menolak pemberian Kemal, kedekatan Kemal dan pak Wage seperti anak dan bapak, rayuan Kemal untuk memberi imbalan kepadanya tak bisa dikalahkan. Ikhlas memberi kepada sesama harus diterima ikhlas juga bagi penerima, rizqi itu datangnya dari Allah, kalau pak Wage menolak berarti tak mempercayai Kemal yang telah dipasrahi Allah menyampaikan rizqi itu ke pak Wage. Alasan itu pernah terucap dari mulut Kemal, membuat orang tua yang selalu menjadi bilal di musholla kantor ternganga membatin sesuatu, apa yang dikatakan Kemal adalah bijaksana, tak sepantasnya ia menolak itu.
“ya sudah, nanti saya makan, terima kasih ya pak”
“terima kasih juga mas Kemal”
Pak Wage melangkahkan kaki mundur dengan ragu-ragu, mulutnya mau terbuka tapi masih berat seakan terkunci, sepertinya ada yang mau dibicarakan pada Kemal. Namun ia melihat situasi saat ini tak mendukung, Kemal yang kembali dari ruangan Direktur dan menerima sajian pempek yang dipesannya masih tampak konsentrasi memandang monitor laptop. Pak Wage tak berani melanjutkan pembicaraan, dengan segera ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari meja kerja Kemal, mungkin lain waktu bisa mewujudkan keinginannya, batinnya.
“mbak…mbak Desi, ada apa sih aku dipanggil pak Prakoso?” tanyanya penuh khawatir, seiringan wanita berambut panjang lurus berjalan didepannya, wanita yang biasa dipanggil mbak Desi itu adalah tukang terima telpon (baca:operator). Biasanya siapa saja yang ada kepentingan telepon masuk atau keluar harus berhadapan dengannya, suaranya memang merdu tak salah jika pak Prakoso menunjuknya sebagai operator, selain suaranya yang sesuai dengan wajah, ia juga cukup cekatan dalam bekerja.
“lah…meneketehe…hayooo dimarahin kali” celetuknya sambil melempar senyum dan berlalu.
“yeee…ditanya serius malah bercanda” balas Kemal.
“bismillah…semoga gak ada apa-apa” ucapnya dalam hati. Kembali menundukkan kepala, meskipun melihat kebawah tapi ia tak memperhatikan apa-apa yang ada dibawahnya. Lalu matanya terpejam tak lama terbuka lagi, mulutnya sambil berkomat-kamit membaca doa agar diberi rasa tenang.
Seketika muncul wanita berjilbab berdiri didepan Kemal, wanita itu memberanikan diri tuk menyapanya, tapi masih ragu.
“maaf mas…sandal yang mas pakai, itu sandal saya” sapanya halus, meskipun kata yang ia ucapkan sedikit, tapi membuat lawan bicara seakan terpaku melihat kesopanan nada bicara yang memikat.
Wanita berjilbab lebar itu menarik senyum yang anggun disertai dengan anggukan kepala tanda hormat membuat orang berfikir 13 kali jika ingin mengacuhkannya, Kemal sejenak berfikir siapa wanita itu yang mengaku-ngaku sandal yang ia pakai adalah sandal miliknya, ia tak pernah melihatnya dalam lingkungan kantor, bagaimana ia masuk, siapa namanya, mungkin terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, dengan segera ia patahkan dengan memandang alas kakinya.
“masyaAllah…aku dari tadi bawa sandal, kenapa gak kerasa ya?!” celetuknya tanpa ada rasa salah.
Memang panggilan mendadak pak Prakoso membuatnya gugup, Kemal mendengar kabar disuruh menghadap penguasa perusahaan tempat ia bekerja setelah selesai melaksanakan shalat sunnah menjelang pertengahan hari. Dengan terburu-buru ia memakai sandal yang ada diMusholla, tanpa melihat sandal siapa yang ia pakai, pikirnya sandal yang berada disitu adalah sandal umum.
Sangat disayangkan sebuah gedung berlantai 10 hanya memiliki satu Musholla yang hanya berkapasitas 50 jamaah, disetiap lantai dihuni satu macam perusahaan, setiap perusahaan minimal memiliki 20 orang pegawai muslim yang aktif shalat berjamaah, bisa dibayangkan jika waktunya shalat wajib tiba banyak yang bersabar menunggu giliran. Tapi tidak apa-apa, menunggu giliran masuk surga lebih hasanah daripada menunggu dalam hal kesesatan, Allah lebih suka menguji umatnya yang taat dengan kesabaran namun Allah akan membalasnya kelak dengan memberikan nikmat lebih dari yang kita bayangkan, itu janjiNya.
Suara pintu terbuka, itu terdengar dari suara pintu ruang direktur, tapi Kemal masih mencoba menenangkan rasa malunya terhadap wanita yang tak ia kenal.
“sekarang giliranmu” ucap pak Karto yang baru saja keluar dari ruangan pak Prakoso, wajahnya berbinar-binar mungkin ia menerima keputusan yang menyenangkan. Kemal menginginkan situasi yang sama menimpa dirinya. Tanpa berfikir panjang Kemal dengan segera masuk keruangan direktur tanpa memakai alas kaki.
“permisi pak…maaf saya menghadap tidak memakai alas kaki, lupa…” sapanya malu sambil nyengir ragu, rasa malu ditambah takut bercampur aduk entah apa jadinya, yang pasti sekujur tubuh gemetar tak tertahankan.
“wis ora popo, aku cuma sebentar saja, mau ngobrol sedikit sama kamu” tangan pak Prakoso menarik pundak Kemal untuk menawarkan duduk diruangannya, bahasa tubuh pak Prakoso langsung dimengerti karyawan yang usianya termuda diperusahaannya itu.
“terima kasih, pak” jawab Kemal, hatinya sedikit rileks karena ucapan pak Prakoso membuat ketegangan menjadi lebur, sapa ramahnya melelehkan ragu yang semula membatu.
“saya ingin menyerahkan surat ini kepadamu dengan tangan saya sendiri, saya ingin kamu menerima tantangan yang saya tawarkan, nanti kamu buka sendiri isinya apa, sudah saatnya saya menunjuk anak muda yang kreatif seperti kamu” ucap pak Prakoso pelan nan tegas.
“saya tidak mengerti maksut bapak?” sahut Kemal.
Kemal adalah seorang anak muda yang sudah empat tahun bekerja diperusahaan itu, ia dikenal sebagai tukang gambar sipil maupun gambar elektro, ia sangat paham membaca gambar apalagi mengakumulasi project lewat gambar tehnik, melihat kemampuan yang dimiliki Kemal, seorang penguasa perusahaan sudah jauh hari meliriknya untuk menawarkan tantangan yang lebih menguji kekreatifannya, mempercayakan untuk menangani project dari awal sampai akhir. Itu memang bukan pekerjaan yang gampang bagi pemuda seusia Kemal, ia harus bisa mandiri berfikir bagaimana caranya project itu terselesaikan dengan cepat dan hemat, itulah yang diinginkan semua perusahaan, mengefisiensikan pengeluaran dan meraup sebanyak-banyaknya keuntungan.
“sudah…surat itu kamu baca dirumah saja, oh ya kapan kamu nikah?” pertanyaan pak Prakoso menyimpang jauh dari apa yang sedang diangankan Kemal, belum tuntas ia bertanya-tanya apa isi yang ada didalam bungkusan amplop coklat yang dipegang, sudah muncul pertanyaan yang mengundang gundah dalam batinnya selama ini.
Semua orang sangat menginginkan pernikahan, begitu juga Kemal, hanya lewat sunah Rasul itulah yang bisa menghalalkan hubungan antara lawan jenis yang saling menyinta, jika sudah waktunya tiba obat untuk tambatan rindu hanyalah halalnya bercinta, jika berkobarnya persahabatan tak cukup lagi mencurahkan isi hati, apalagi yang dicari, jika insan terjerembab dalam keresahan hanya motivasi dari pasangan yang diharapkan, jika malam malam terasa sunyi dan angin malam tak lagi menebarkan hawa hangat, apalagi yang dicari, hanya pernikahanlah jalan menuju keberkahanNya.
“pernikahan itu sama dengan bisnis yang kita jalankan, jika kamu berani mengambil keputusan sekarang ya harus siap dengan resiko yang bakal dihadapi, kita tetap hadapi prosesnya tapi ingat hasil akhir yang kita ambil, kalau bisnis kita hasil akhir adalah keuntungan kalau pernikahan hasil akhir ya pahala dari Allah, yang penting barokah”.
Tak biasanya pak Prakoso berkoar tentang kebajikan, tapi kali ini beda, ia bukan berperan sebagai Direktur yang setiap hari mendoktrin karyawannya untuk bekerja seefisien mungkin demi mengejar laba tapi juga sebagai ustadz penyejuk jiwa disaat seorang karyawan merindukan dakwahan. Apa yang dikatakan beliau memang tak salah,
“itu dia pak, saya masih ada yang dipikirkan, masih ada yang kurang” cetus Kemal.
“kurang opo kowe?”
“kulo kirang kalih pak?!...maksutipun kalih sinten?”
“hwuahahahaaaaa” kelakar pak Prakoso tak bisa ditahan, serentak ruangan yang hanya diisi dua orang saat itu seraya ramai gelak tawa terdengar sampai keluar. Sambil mengucek-ucek mata, pak Prakoso melepaskan kacamata yang ia pakai, beliau masih tertawa cekikikan mendengar guyonan Kemal.
“Kemal…Kemal…diluar sana para bidadari itu antri menunggumu” ucapnya sambil menahan senyum lalu meneguk segelas air putih yang telah tersedia dimejanya.
“amin…semoga begitu” batin Kemal sambil tertunduk malu.
“kamu minum saja teh itu, tadi ada tamu buru-buru pulang, gak jadi diminum, sudah terlanjur dibuatin sama pak Wage, ayo minum” ajakan bapak Direktur yang semakin terlihat kerutan diwajahnya jika tersenyum.
Ini semua berkat pak Wage, karenanya rasa haus Kemal terobati sesaat, hilangnya rasa malu dan bingung terbalaskan dengan mendapat rizqi berupa minuman, tak heran jika semua karyawan termasuk Kemal selalu menaruh syukur kepada pak Wage, beliau yang setiap pagi tak pernah lupa tugas dan kewajibannya, meskipun sekedar office boy diperusahaan itu, ia tak pernah terlambat dalam melayani pak Prakoso dan para karyawannya. Tempat tinggal yang amat jauh tak pernah menghalanginya mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Jarak yang ditempuh dari desa Parung ke Sudirman memakan waktu satu jam dua puluh lima menit, yang membuat semua karyawan salut ia tak pernah mengeluh meskipun mengendarai sepeda motor vespa keluaran tahun 1982, motor tua yang selalu menemani kulitnya yang sudah kisut tersengat panas matahari, motor butut yang selalu membuat kesal jika hujan mengenai busi lalu mogok dijalan.
Pak Prakoso mulai membereskan agenda yang diperlukan untuk pertemuan dengan klien, tiba-tiba suara beep dari handphone-nya mengheningkan beberapa detik obrolan mereka berdua, pak Prakoso berkomat kamit membaca email yang diterima dari ponsel-nya, lalu membereskan kertas berisi penawaran harga yang semula berserakan dimeja, Kemal masih tampak memperhatikan kesibukan pak Direktur, tak lama Kemal mengambil inisiatif ijin keluar ruangan karena merasa pertemuan dengan pak Prakoso sudah cukup, lalu suara dehem disertai senyum ramah pak Prakoso mewakili jawaban setujunya.
Langkah gontai kaki Kemal untuk kembali ke meja kerja masih terasa berat, dengan adanya beban yang masih menyembunyikan jawaban belum pasti dalam batinnya atas pembicaraan dengan pak Prakoso, dari isi amplop coklat yang ia pegang sampai dakwahan nasehat menikah, tapi argumen yang terakhir tak merasa itu sebagai beban, ia merasa tertantang untuk mewujudkannya, tapi entah kapan, mengingat apa yang ia resahkan tak kunjung pergi dan menjelma menjadi hikmah, prioritas utama Kemal yaitu ikhtiar mencari seorang wanita yang mengutamakan ibadah demi tercapainya keluarga yang sakinah, nilai wanita dimata lelaki muslim adalah kecantikan, kekayaan, dan juga keturunan, tapi yang harus dinomor satukan adalah ibadahnya kepada Allah, percuma jika kecantikan dan kekayaan membutakan nafsu manusia, jika itu hilang dimakan usia dan tak kekal, kekhawatiran untuk bertahan apa bisa disombongkan.
Kemal berjalan santai tetapi pikirannya masih menerawangkan sesuatu, ia mulai membaca siapa wanita yang mau diajak menikah dengannya seketika tanpa mengenal pribadi masing-masing, sosok pemuda yang tak mengenal pacaran itu menerka-nerka dalam harap, sejak ditinggalkan Maya sahabatnya yang diam diam menaruh hati dengan Kemal, ia merasa minder bergaul dengan wanita, Kemal selalu berfikir hatinya jahat dimata wanita, sejak Maya menangisi sikap egois Kemal yang ternyata menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat. Kemal memang tak pandai membaca perasaan kaum hawa, seandainya waktu bisa diputar seperti mudahnya memutar mainan gangsingan yang arahnya tinggal ditarik berlawanan, Kemal akan menyambut maksut cinta tak terbaca dimata Maya.
Maya adalah sosok wanita yang memiliki semuanya, kecantikannya tak diragukan lagi, wajah cantik yang alami membuat semua lelaki tak berkedip memandang jika berhadapan dengannya. Kemal merasakan curahan hati ketika resah terasa nyaman terutarakan depan Maya, cara berfikirnya yang bijaksana jarang dipunyai kebanyakan wanita yang menjalani pendidikan psikologi di Universitas Indonesia itu.
“tidak…bukan Maya, dia bukan untukku, maafkan aku Maya, semoga kau bahagia dengan suamimu” batinnya mencoba menghilangkan rasa sesal yang hinggap tak lama pergi. Dan ia bersyukur persahabatannya tidak hancur mengikuti leburnya perjalanan cinta Maya, ternyata persahabatannya masih kekal sampai sekarang.
Kemal sudah duduk dimejanya, menatap laptop yang sedari tadi ditinggalkannya untuk menghadap pak Direktur, laptopnya dibiarkannya nyala, tampak layarnya yang ber-background gelap masih kosong tanpa terbuka program selama ia tak ditempat, Kemal masih senyum-senyum sendiri.
“jodoh adalah salah satu dari sekian anugrah yang menjadi rahasia Ilahi, aku segera datang menjemputmu” kata yang tak terucap dalam suara.
Keyakinan Kemal mulai terbaca dari mengepal tangan kanan yang kuat, ia yakin manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, lelaki yang baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik dan sebaliknya. Mau tak mau ia harus belajar dari kegagalan masa lalu yang tak pandai memahami perasaan wanita, Kemal mulai membuka hati yang dulu keras untuk menjadi lunak, sekeras apapun batu karang akan hancur jika terus menerus terpercik air, ia tak boleh mempertahankan egoisnya, ia tak boleh ragu dan tak boleh jadi pengecut, harus berani mengambil sikap, sudah sepantasnya untuk memfokuskan diri memimpin sebuah keluarga.
Senyumnya melebar dan dibarengi anggukan kepala yang tak terhitung berapa kali ia melakukannya, karena teringat salah satu artikel yang pernah ia baca. Seorang yang tidak mau menikah karena enggan memikul beban beristri, anak-anak dan rumah tangganya adalah seorang penakut dan pengecut. Sebaliknya seorang yang hidup dengan berbagai keluarga dan rumah tangga adalah pemberani, ia adalah orang yang menang dalam kancah pertempuran.
“bismillah…aku melangkah menuju sunnahmu ya Rasul, berkahi ya Allah niat hambaMu, amin” semakin kuat dan bulat tekat yang diyakini Kemal.
Tepukan tangan pak Wage dipundak Kemal yang secara tiba-tiba mengagetkannya, mungkin dari tadi pak Wage memperhatikannya dari kejauhan, sambil menaruh mangkok yang berisi pempek yang sejak pagi dipesan Kemal, pempek yang sudah kelihatan tak hangat lagi itu disajikan dengan pelayanan tulus pak Wage, meskipun kelihatan sudah tak mengundang selera namun perhatian pak Wage yang menghangatkan suasana menjadi tak hambar, ia sengaja menyimpannya didapur karena ia tahu yang mpunya dipanggil keruang pak Prakoso.
“ada apa toh mas, dari tadi senyum-senyum sendiri?”
“gak ada apa-apa pak, cuma teringat sesuatu”
“ya berarti ada apa-apa dong”
“wah pempek yang tadi pagi saya pesan ya, kenapa gak dimakan sekalian pak”
“yah…saya kan sudah dibelikan satu, itu sudah cukup mas”
Setiap kali Kemal menyuruh beli makanan selalu memberi uang dua kali lipat harga makanan itu, biar pak Wage ikut merasakannya. Pak Wage memang terkenal ringan tangan, sering ia menolak imbalan jasa yang diberikan setelah membelikan makanan karyawan, dengan alasan sudah kewajiban melayani mereka. Adalah Kemal yang selalu membuatnya merasa tak enak, pak Wage selalu tak bisa menolak pemberian Kemal, kedekatan Kemal dan pak Wage seperti anak dan bapak, rayuan Kemal untuk memberi imbalan kepadanya tak bisa dikalahkan. Ikhlas memberi kepada sesama harus diterima ikhlas juga bagi penerima, rizqi itu datangnya dari Allah, kalau pak Wage menolak berarti tak mempercayai Kemal yang telah dipasrahi Allah menyampaikan rizqi itu ke pak Wage. Alasan itu pernah terucap dari mulut Kemal, membuat orang tua yang selalu menjadi bilal di musholla kantor ternganga membatin sesuatu, apa yang dikatakan Kemal adalah bijaksana, tak sepantasnya ia menolak itu.
“ya sudah, nanti saya makan, terima kasih ya pak”
“terima kasih juga mas Kemal”
Pak Wage melangkahkan kaki mundur dengan ragu-ragu, mulutnya mau terbuka tapi masih berat seakan terkunci, sepertinya ada yang mau dibicarakan pada Kemal. Namun ia melihat situasi saat ini tak mendukung, Kemal yang kembali dari ruangan Direktur dan menerima sajian pempek yang dipesannya masih tampak konsentrasi memandang monitor laptop. Pak Wage tak berani melanjutkan pembicaraan, dengan segera ia memutuskan untuk berjalan menjauh dari meja kerja Kemal, mungkin lain waktu bisa mewujudkan keinginannya, batinnya.
(bersambung...)
Jumat, 08 Februari 2008
Bongkah Batu Selamatkan dr Api Neraka
Kata yg pantas untuk menyebut lelaki itu adalah kesederhanaan, kesehariannya dipenuhi tingkah laku yg membuat aku terkesan, kesenangannya yg slalu berjalan memakai sandal jepit, kemanapun dia pergi, membuatku tercengang akan sebuah pertanyaan, kenapa bisa dia melakukan itu dan alasan apa, jawaban sederhana tapi dalam maknanya keluar dari mulut yg setiap saat bergetar menyebut nama Allah, sandal jepit selalu mengingatkan dan mengajaknya akan sentuhan aliran air suci yang menyentuh tubuh, yaitu berwudhu. MasyaAllah…semoga Allah tidak mengirimkan laknat kepada orang yang bertaqwa kepadaMu.
Hari yang panas tak pernah bersahabat bagi siapapun, siang itu dia berjalan kaki penuh semangat memenuhi panggilan pekerjaan di perusahaan yg dia idam-idamkan, hari yang menentukan dia diterima atau tidak di posisi itu, petaka datang tidak jauh dari halte bus biasa dia berdiri, dia terjatuh tersandung sebongkah batu yg cukup besar, menyita waktu yang tidak sedikit akan luka yang diderita, sesampai tujuan dengan wajah cemas dia masuk dan menanyakan jadwal interview untuk dirinya, kecewa dan kesal dia tahan setelah mendengar jawaban personalia menggugurkan dia dalam daftar calon pegawai baru di perusahaan itu hanya karena terlambat sepuluh menit.
Jam 11:25 terlihat jelas di arloji yang melingkar ditangannya, bergegas dia keluar dan pulang tanpa keluhan yg berlanjut, berjalan dan terus berjalan hingga melintasi area pertokoan yg menyediakan berbagai makanan, tiba-2 dia mengaduh kesakitan, kakinya mencium sebongkah batu besar cukup kencang, darah yg sebelumnya berhenti mengalir kembali dipaksa keluar diluka yg sama.
Setelah berhasil menyumbat luka dengan sobekan kain putih, kembali dia meneruskan perjalanan pulang. Pertigaan jalan yang dipenuhi keramaian lalu lalang kendaraan, dia sempatkan titip hati iba kepada seorang anak kecil yang mengemis dijalanan, uang yang tersisa disakunya semoga bisa mengurangi beban yang dipikul anak itu, harapannya. Dia baru sadar kalau mata kaki itu buta, lagi-2 dia tersandung sebongkah batu memaksa dia berhenti diarea masjid dekat rumahnya, “ya Allah…apa maksut semua ini, hari ini aku tersandung 3 bongkah batu ditempat yg berbeda”, batinnya.
Tersentak kaget seorang bapak tua menepuk pundaknya setelah keluar dari masjid, “anak muda…aku tau apa yang kau risau dan keluhkan hari ini, sesungguhnya 3 bongkah batu itu menyelematkanmu dari siksa api neraka, batu pertama menyeka waktumu untuk datang terlambat ke interview, jika kamu diterima akan dihadapkan kebimbangan bahwa peraturannya tidak diperbolehkan shalat jum’at karena alasan menyita banyak waktu pekerjaan, batu kedua lagi-lagi menyita waktumu, karena beberapa menit setelah kau jatuh ada sekelompok gadis yang berjalan didepanmu mengenakan pakaian yang serba terbuka, sesungguhnya aurat itu sebagai perangkap syaitan.” dia menghela nafas setelah mendengar penjelasan itu. “Batu yang ketiga membolehkan kau mempunyai rasa iba dan peduli pada seorang anak kecil, tapi setelah itu dia tak rela sehingga membuatmu terluka, karena beberapa saat yang lalu jika kau tak berhenti membersihkan luka itu, kau akan melihat kekerasan dalam RT, seorang suami memukul istri, mungkin Allah tidak ingin kau dihadapkan pada sikap emosi yang berlebihan untuk membela seorang wanita, insyaAllah puasamu paruh hari ini terselamatkan dr batal. Sesungguhnya maha suci Allah yang telah mengaturnya.”
Terdiam dan termenung akan sesungguhnya dirinya takkan berani mengeluh jika terjadi musibah pasti Sang Raja Cinta Allah SWT akan memberi hikmah dibalik itu semua, barokAllah azza wa jalla…
Hari yang panas tak pernah bersahabat bagi siapapun, siang itu dia berjalan kaki penuh semangat memenuhi panggilan pekerjaan di perusahaan yg dia idam-idamkan, hari yang menentukan dia diterima atau tidak di posisi itu, petaka datang tidak jauh dari halte bus biasa dia berdiri, dia terjatuh tersandung sebongkah batu yg cukup besar, menyita waktu yang tidak sedikit akan luka yang diderita, sesampai tujuan dengan wajah cemas dia masuk dan menanyakan jadwal interview untuk dirinya, kecewa dan kesal dia tahan setelah mendengar jawaban personalia menggugurkan dia dalam daftar calon pegawai baru di perusahaan itu hanya karena terlambat sepuluh menit.
Jam 11:25 terlihat jelas di arloji yang melingkar ditangannya, bergegas dia keluar dan pulang tanpa keluhan yg berlanjut, berjalan dan terus berjalan hingga melintasi area pertokoan yg menyediakan berbagai makanan, tiba-2 dia mengaduh kesakitan, kakinya mencium sebongkah batu besar cukup kencang, darah yg sebelumnya berhenti mengalir kembali dipaksa keluar diluka yg sama.
Setelah berhasil menyumbat luka dengan sobekan kain putih, kembali dia meneruskan perjalanan pulang. Pertigaan jalan yang dipenuhi keramaian lalu lalang kendaraan, dia sempatkan titip hati iba kepada seorang anak kecil yang mengemis dijalanan, uang yang tersisa disakunya semoga bisa mengurangi beban yang dipikul anak itu, harapannya. Dia baru sadar kalau mata kaki itu buta, lagi-2 dia tersandung sebongkah batu memaksa dia berhenti diarea masjid dekat rumahnya, “ya Allah…apa maksut semua ini, hari ini aku tersandung 3 bongkah batu ditempat yg berbeda”, batinnya.
Tersentak kaget seorang bapak tua menepuk pundaknya setelah keluar dari masjid, “anak muda…aku tau apa yang kau risau dan keluhkan hari ini, sesungguhnya 3 bongkah batu itu menyelematkanmu dari siksa api neraka, batu pertama menyeka waktumu untuk datang terlambat ke interview, jika kamu diterima akan dihadapkan kebimbangan bahwa peraturannya tidak diperbolehkan shalat jum’at karena alasan menyita banyak waktu pekerjaan, batu kedua lagi-lagi menyita waktumu, karena beberapa menit setelah kau jatuh ada sekelompok gadis yang berjalan didepanmu mengenakan pakaian yang serba terbuka, sesungguhnya aurat itu sebagai perangkap syaitan.” dia menghela nafas setelah mendengar penjelasan itu. “Batu yang ketiga membolehkan kau mempunyai rasa iba dan peduli pada seorang anak kecil, tapi setelah itu dia tak rela sehingga membuatmu terluka, karena beberapa saat yang lalu jika kau tak berhenti membersihkan luka itu, kau akan melihat kekerasan dalam RT, seorang suami memukul istri, mungkin Allah tidak ingin kau dihadapkan pada sikap emosi yang berlebihan untuk membela seorang wanita, insyaAllah puasamu paruh hari ini terselamatkan dr batal. Sesungguhnya maha suci Allah yang telah mengaturnya.”
Terdiam dan termenung akan sesungguhnya dirinya takkan berani mengeluh jika terjadi musibah pasti Sang Raja Cinta Allah SWT akan memberi hikmah dibalik itu semua, barokAllah azza wa jalla…
Cinta Itu Merah
Mama selalu katakan "cinta itu tumbuh dengan sendiri",
Papa selalu bilang "cinta itu muncul dari terbiasa".
Jauh juga ya perjalanan cinta,
ketika cinta jauh,
tapi sungguh terasa dekat.
Cinta gak seharusnya bahagia,
kalau bisa kenapa gak?
Dua insan bisa berdiri masing-masing tanpa cinta,
bertahan lama kah?
Semoga mama papa tau,
cinta itu merah,
gak luntur jadi hitam atau putih.
Kamis, 07 Februari 2008
Terima Kasih Pak..
Dear panutan yang ngerangkep guru
May 2002
May 2002
Lelaki setengah baya menghiasi kehidupanku,
aku masih ingat ketika belajar berjalan, bicara, berhadapan dengan berbagai orang penting (sebutan dikantorku),
terima kasih atas ketoprak humor, ilmu, kesabaran, nonton bioskop, dan masih banyak lagi.
tapi sekarang aku merasakan jauh jarak kita,
aku gak tahu apa yang direncanakan,
yang pasti sesuatu yang terbaik,
itu ada di dirinya,
aku berharap tetap jadi murid yang haus pelajaran darimu.
Rabu, 23 Januari 2008
Dialog Rasulullah dg Iblis
Segala puji hanya milik Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa dilimpahkan kepada seorang Nabi yang Ummi, Muhammad saw., dan kepada keluarganya yang bersih serta seluruh sahabatnya yang mulia.
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal r.a., dari Ibnu Abbas r.a. yang berkisah: Kami bersama Rasulullah saw. di rumah salah seorang sahabat Anshar, dimana saat itu kami di tengah-tengah jamaah. Lalu ada suara orang memanggil dari luar, "Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku."Rasulullah bertanya kepada para jamaah, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu?
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal r.a., dari Ibnu Abbas r.a. yang berkisah: Kami bersama Rasulullah saw. di rumah salah seorang sahabat Anshar, dimana saat itu kami di tengah-tengah jamaah. Lalu ada suara orang memanggil dari luar, "Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku."Rasulullah bertanya kepada para jamaah, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu?
"Mereka menjawab, "Tentu Allah dan Rasul Nya lebih tahu."Lalu Rasulullah saw. menjelaskan, "Ini adalah iblis yang terkutuk semoga Allah senantiasa melaknatnya."Kemudian Umar r.a. meminta izin kepada Rasulullah sembari berkata, "Ya Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk membunuhnya?"Beliau menjawab, "Bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa ia termasuk makhluk yang tertunda kematiannya sampai batas waktu yang telah diketahui (hari Kiamat)? Akan tetapi sekarang silakan kalian membukakan pintu untuknya.
Sebab ia diperintah untuk datang ke sini, maka pahamilah apa yang ia ucapkan dan dengarkan apa yang bakal ia ceritakan kepada kalian."Ibnu Abbas berkata: Kemudian dibukakan pintu, lalu ia masuk di tengah-tengah kami. Ternyata ia berupa orang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Ia berjenggot sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda. Kedua kelopak matanya terbelah ke atas (tidak ke samping). Sedangkan kepalanya seperti kepala gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti taring babi. Sementara kedua bibirnya seperti bibir kerbau. Ia datang sambil memberi salam. 'Assalamu'alaika ya Muhammad, Assalamu'alaikum ya Jamaa'atal mus1imin," kata iblis.Nabi menjawab, "Assalamu lillah ya la'iin (Keselamatan hanya milik AlIah wahai makhluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluanmu tersebut wahai Iblis?"
"Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa," tutur iblis.“Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk?" Tanya Rasulullah.Iblis menjawab, "Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Mahaagung, dimana utusan itu berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw. sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucu Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur.
"Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa," tutur iblis.“Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk?" Tanya Rasulullah.Iblis menjawab, "Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Mahaagung, dimana utusan itu berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw. sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucu Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur.
Maka demi Kebesaran dan Keagungan Allah, jika engkau menjawabnya dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang.' Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawabnya dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku."Rasulullah mulai melemparkan pertanyaan kepada iblis, "Jika engkau bisa menjawab dengan jujur, maka coba ceritakan kepadaku, siapa orang yang paling engkau benci?"Iblis menjawab dengan jujur, "Engkau, wahai Muhammad, adalah orang yang paling aku benci dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu.""Lalu siapa lagi yang paling engkau benci?" tanya Rasulullah.
"Seorang pemuda yang bertakwa dimana ia mencurahkan dirinva hanya kepada Allah swt.," jawab Iblis."Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang alim yang wara' (menjaga diri dari syubhat) lagi sabar," jawab iblis."Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang yang senantiasa melanggengkan kesucian dari tiga kotoran (hadats besar, kecil dan najis; pent.)," tutur iblis"Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang fakir yang senantiasa bersabar, yang tidak pernah menuturkan kefakirannya ke pada siapa pun dan juga tidak pernah mengeluh penderitaan yang dialaminya." jawab iblis."Lalu dari mana engkau tahu kalau ia bersabar?" tanya Rasulullah
"Wahai Muhammad, bila ia masih dan pernah mengeluhkan penderitaannya kepada makhluk yang sama dengannya selama tiga hari, maka Allah tidak akan mencatat perbuatannya dalam kelompok orang-orang yang bersabar," jelas Iblis."Lalu siapa lagi, wahai lblis?" tanya Rasul."Orang kaya yang bersyukur," tutur iblis."Lalu apa yang bisa memberi tahu kepadamu bahwa ia bersyukur?" tanya Rasulullah"Bila saya melihatnya ia mengambil kekayaannya dari apa saja yang dihalalkan dan kemudian disalurkan pada tempatnya," tutur iblis."Bagaimana kondisimu apabila ummatku menjalankan shalat?" tanya Rasulullah."Wahai Muhammad, saya langsung merasa gelisah dan gemetar," jawab iblis."Mengapa wahai makhluk yang terkuluk?" tanya Rasulullah."Sesungguhnya apabila seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud, maka Allah akan mengangkat satu derajat (tingkat).
"Wahai Muhammad, bila ia masih dan pernah mengeluhkan penderitaannya kepada makhluk yang sama dengannya selama tiga hari, maka Allah tidak akan mencatat perbuatannya dalam kelompok orang-orang yang bersabar," jelas Iblis."Lalu siapa lagi, wahai lblis?" tanya Rasul."Orang kaya yang bersyukur," tutur iblis."Lalu apa yang bisa memberi tahu kepadamu bahwa ia bersyukur?" tanya Rasulullah"Bila saya melihatnya ia mengambil kekayaannya dari apa saja yang dihalalkan dan kemudian disalurkan pada tempatnya," tutur iblis."Bagaimana kondisimu apabila ummatku menjalankan shalat?" tanya Rasulullah."Wahai Muhammad, saya langsung merasa gelisah dan gemetar," jawab iblis."Mengapa wahai makhluk yang terkuluk?" tanya Rasulullah."Sesungguhnya apabila seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud, maka Allah akan mengangkat satu derajat (tingkat).
Apabila mereka berpuasa, maka saya terikat sampai mereka berbuka kembali. Apabila mereka menunaikan manasik haji, maka saya jadi gila. Apabila membaca al-Qur'an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. Apabila bersedekah maka seakan-akan orang yang bersedekah tersebut mengambil kapak lalu memotong saya menjadi dua," jawab iblis."Mengapa demikian wahai Abu Murrah (julukan iblis)?" tanya Rasulullah."Sebab dalam sedekah ada empat perkara yang perlu diperhatikan: Dengan sedekah itu, Allah akan menurunkan keberkahan dalam hartanya, menjadikan ia disenangi di kalangan makhluk Nya, dengan sedekah itu pula Allah akan menjadikan suatu penghalang antara neraka dengannya dan akan menghindarkan segala bencana dan penyakit," tutur iblis menjelaskan.
"Lalu bagaimana pendapatnu tentang Abu Bakar?" tanya Rasulullah."Ia sewaktu jahillyyah saja tidak pernah taat kepadaku, apalagi sewaktu dalam Islam," tutur iblis."Bagaimana dengan Umar bin Khaththab?" tanya Rasulullah."Demi Allah, setiap kali saya bertemu dengannya, mesti akan lari darinya," jawab iblis."Bagaimana dengan Utsman?" tanya Rasulullah."Saya merasa malu terhadap orang yang para malaikat saja malu kepadanya," jawab iblis."lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib?" tanya Rasulullah."Andaikan saya bisa selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya, ia meninggalkanku dan saya pun meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak pernah melakukan hal itu sama sekali," tutur iblis.
"Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan ummatku bahagia dan mencelakakanmu sampai pada waktu yang ditentukan," tutur Rasulullah. "Tidak dan tidak mungkin, dimana ummatmu bisa bahagia sementara saya senantiasa hidup dan tidak akan mati sampai pada waktu yang telah ditentukan. Lalu bagaimana engkau bisa bahagia terhadap ummatmu, sementara saya bisa masuk kepada mereka melalui aliran darah dan daging, sedangkan mereka tidak bisa melihatku. Demi Tuhan Yang telah menciptakanku dan telah menunda kematianku sampai pada hari mereka dibangkitkan kembali (Kiamat), sungguh saya akan menyesatkan mereka seluruhnya, baik yang bodoh maupun yang alim, yang awam maupun yang bisa membaca al Qur'an, yang nakal maupun yang rajin beribadah, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlas (sangat-sangat ikhlas)," tutur iblis."Siapa menurut engkau hamba-hamba Allah yang mukhlas itu?" tanya Rasulullah.
"Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan ummatku bahagia dan mencelakakanmu sampai pada waktu yang ditentukan," tutur Rasulullah. "Tidak dan tidak mungkin, dimana ummatmu bisa bahagia sementara saya senantiasa hidup dan tidak akan mati sampai pada waktu yang telah ditentukan. Lalu bagaimana engkau bisa bahagia terhadap ummatmu, sementara saya bisa masuk kepada mereka melalui aliran darah dan daging, sedangkan mereka tidak bisa melihatku. Demi Tuhan Yang telah menciptakanku dan telah menunda kematianku sampai pada hari mereka dibangkitkan kembali (Kiamat), sungguh saya akan menyesatkan mereka seluruhnya, baik yang bodoh maupun yang alim, yang awam maupun yang bisa membaca al Qur'an, yang nakal maupun yang rajin beribadah, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlas (sangat-sangat ikhlas)," tutur iblis."Siapa menurut engkau hamba-hamba Allah yang mukhlas itu?" tanya Rasulullah.
Iblis menjawab dengan panjang lebar, "Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa orang yang masih suka dirham dan dinar (harta) adalah belum bisa murni karena Allah swt. Apabila saya melihat seseorang sudah tidak menyukai dirham dan dinar, serta tidak suka dipuji, maka saya tahu bahwa ia adalah orang yang mukhlis karena Allah, lalu saya tinggalkan. Sesungguhnya seorang hamba selagi masih suka harta dan pujian, sedangkan hatinya selalu bergantung pada kesenangan-kesenangan duniawi, maka ia akan lebih taat kepadaku daripada orang-orang yang telah saya jelaskan kepadamu. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta harta itu termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta kedudukan adalah termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu, saya memiliki tujuhpuluh ribu anak, sedangkan setiap anak dari jumlah tersebut memiliki tujuhpuluh ribu setan. Di antara mereka ada yang sudah saya tugaskan untuk menggoda ulama, ada yang saya tugaskan untuk menggoda para pemuda, ada yang saya tugaskan menggoda orang-orang yang sudah tua. Anak-anak muda bagi kami tidak ada masalah, sedangkan anak-anak kecil lebih mudah kami permainkan sekehendak saya.
Di antara mereka juga ada yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang yang tekun beribadah, dan ada juga yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang zuhud. Mereka keluar masuk dari kondisi ke kondisi lain, dari satu pintu ke pintu lain, sehingga mereka berhasil dengan menggunakan cara apa pun. Saya ambil dari mereka nilai keikhlasan dalam hatinya, sehingga mereka beribadah kepada Allah dengan tidak ikhlas, sementara mereka tidak merasakan hal itu. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa Barshish seorang rahib (pendeta) yang berbuat ikhlas karena Allah selama tujuhpuluh tahun, sehingga dengan doanya ia sanggup menyelamatkan orang-orang yang sakit. Akan tetapi saya tidak berhenti menggodanya sehingga ia sempat berbuat zina dengan seorang perempuan, membunuh orang dan mati dalam kondisi kafir? Inilah yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab Nya dengan firman-Nya:"(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: Kafirlah kamu maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, 'Sesungguhnya aku cuci tangan darimu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam." (Q.s. al Hasyr: 16)
Di antara mereka juga ada yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang yang tekun beribadah, dan ada juga yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang zuhud. Mereka keluar masuk dari kondisi ke kondisi lain, dari satu pintu ke pintu lain, sehingga mereka berhasil dengan menggunakan cara apa pun. Saya ambil dari mereka nilai keikhlasan dalam hatinya, sehingga mereka beribadah kepada Allah dengan tidak ikhlas, sementara mereka tidak merasakan hal itu. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa Barshish seorang rahib (pendeta) yang berbuat ikhlas karena Allah selama tujuhpuluh tahun, sehingga dengan doanya ia sanggup menyelamatkan orang-orang yang sakit. Akan tetapi saya tidak berhenti menggodanya sehingga ia sempat berbuat zina dengan seorang perempuan, membunuh orang dan mati dalam kondisi kafir? Inilah yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab Nya dengan firman-Nya:"(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: Kafirlah kamu maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, 'Sesungguhnya aku cuci tangan darimu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam." (Q.s. al Hasyr: 16)
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu dari saya, saya adalah orang yang berbohong pertama kali. Orang yang berbohong adalah temanku. Barangsiapa bersumpah atas Nama Allah dengan berbohong maka ia adalah kekasihku. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa saya pernah bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan atas Nama Allah, 'Bahwa saya akan memberi nasihat kepada kalian berdua.' Maka sumpah bohong itu menyenangkan hatiku. Sedangkan menggunjing dan mengadu domba adalah buah santapan dan kesukaanku. Kesaksian dusta adalah penyejuk mataku dan kesenanganku. Barangsiapa bersumpah dengan menceraikan istrinya (talak) maka hampir tidak akan bisa selamat, sekalipun hanya sekali. Andaikan itu benar, yang karenanya orang membiasakan lidahnya mengucapkan kata-kata tersebut, istrinya akan menjadi haram. Kemudian dari pasangan tersebut menghasilkan keturunan sampai hari Kiamat nanti yang semuanya hasil dari anak-anak zina. Sehingga seluruhnya masuk neraka hanya gara-gara satu ucapan.
Wahai Muhammad, sesungguhnya diantara ummatmu ada orang yang menunda-nunda shalatnya dari waktu ke waktu. Ketika ia hendak menjalankan shalat maka saya selalu berada padanya dan mengganggu sembari berkata kepadanya, 'Masih ada waktu, teruskan engkau sibuk dengan urusan dan pekerjaan yang engkau lakukan.' Sehingga ia menunda shalatnya, dan kemudian shalat di luar waktunya. Akibatnya dengan shalat yang dikerjakan di luar waktunya itu ia akan dipukul di kepalanya. Kalau saya merasa kalah, maka saya mengirim kepadanya salah seorang dari setan-setan manusia yang akan menyibukkan waktunya. Kalau dengan usaha itu saya masih kalah, maka saya tinggalkan sampai ia menjalankan shalat. Ketika dalam shalatnya saya berkata kepadanya, 'Lihatlah ke kanan dan ke kiri.' Akhirnya ia melihat. Maka pada saat itu wajahnya saya usap dengan tangan saya, kemudian saya menghadap di depan matanya sembari berkata, 'Engkau telah melakukan apa yang tidak akan menjadi baik selamanya.'Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang banyak menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul kepalanya dengan shalat tersebut.
Kalau dalam shalat ia sanggup mengalahkan saya, sementara ia shalat sendirian, maka saya perintah untuk tergesa-gesa. Maka ia mengerjakan shalat seperti ayam yang mencocok benih-benih untuk dimakan dan segera meninggalkannya. Kalau ia sanggup mengalahkan saya, dan shalat berjamaah, maka saya kalungkan rantai di lehernya. Ketika ia sedang ruku' saya tarik kepalanya ke atas sebelum imam bangun dari ruku' dan saya turunkan sebelum imam turun. Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang melakukan shalat seperti itu, maka batal shalatnya, dan di hari Kiamat nanti Allah akan menyalin kepalanya dengan kepala keledai. Kalau dengan cara tersebut saya masih kalah, maka saya perintahkan meremas-remas jari-jemarinya sehingga bersuara, sedangkan ia sedang shalat, karenanya ia termasuk orang-orang yang bertasbih kepadaku padahal ia sedang shalat. Kalau dengan cara tersebut masih juga tidak mempan, maka saya tiup hidungnya sehingga ia menguap, sementara ia sedang shalat.
Kalau ia tidak menutupi mulutnya dengan tangannya maka setan masuk ke dalam perutnya, sehingga ia semakin rakus dengan dunia dan berbagai perangkapnya. Ia akan selalu mendengar dan taat kepadaku.Bagaimana ummatmu bisa bahagia wahai Muhammad, sementara saya memerintah orang-orang miskin untuk meninggalkan shalat, dan saya berkata kepadanya, 'Shalat bukanlah kewajiban kalian, shalat hanya kewajiban orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.' Saya pun berkata kepada orang yang sakit, 'Tinggalkan shalat, karena shalat bukanlah kewajibanmu. Shalat hanyalah kewajiban orang-orang yang diberi nikmat kesehatan. Sebab Allah sudah berfirman, , “... dan tidak apa apa bagi seorang yang sedang sakit ...,“(Q.s. an Nur: 61).
Kalau engkau sudah sembuh baru melakukan shalat.' Akhirnya ia mati dalam kondisi kafir. Apabila ia mati dengan meninggalkan shalat ketika sedang sakit, maka ia akan bertemu Allah dengan dimurkai.Wahai Muhammad, jika saya menyimpang dan berdusta kepadamu, maka hendaknya engkau memohon kepada Allah agar saya dijadikan debu yang lembut. Wahai Muhammad, apakah engkau masih juga merasa gembira terhadap ummatmu, sementara saya bisa memurtadkan seperenam dari ummatmu untuk keluar dari Islam?"Kemudian Rasulullah meneruskan pertanyaannya, "Wahai makhluk yang terkutuk, siapa teman dudukmu?""Orang-orang yang suka makan riba," jawab iblis."Lalu siapa teman dekatmu?" tanya Rasululah kembali."Orang yang berzina," jawabnya. "Siapa teman tidurmu?" tanya Rasulullah."Orang yang mabuk," jawabnya."Siapa tamumu?" tanya Rasulullah."Pencuri," jawabnya. "Siapa utusanmu?" tanya Rasulullah."Tukang sihir," jawabnya.
'Apa yang menyenangkan pandangan matamu?" tanya Rasulullah."Orang yang bersumpah dengan talak," jawab iblis."Siapa kekasihmu?" tanya Rasulullah."Orang yang meninggalkan shalat Jum'at," jawabnya."Wahai makhluk yang terkutuk, apa yang mengakibatkan punggungmu patah?" Tanya Rasulullah."Suara ringkik kuda untuk berperang membela agama Allah," jawabnya.“Apa yang menjadikan tubuhmu meleleh?" tanya Rasulullah."Tobatnya orang yang bertobat" jawabnya.“Apa yang membuat hatimu panas?" tanya Rasulullah."Banyaknya istighfar kepada Allah, baik di malam atau siang hari," jawabnya.“Apa yang membuatmu merasa malu dan hina?" tanya Rasulullah."Sedekah secara rahasia," jawabnya"Apa yang menjadikan matamu buta?" tanya Rasulullah."Shalat di waktu sahur," jawabnya.“Apa yang dapat mengendalikan kepalamu?" tanya Rasulullah."Memperbanyak shalat berjamaah," tuturnya.
"Siapa orang yang paling bisa membahagiakanmu?" tanya Rasulullah"Orang yang sengaja meninggalkan shalat," tuturnya."Siapa orang yang paling celaka menurut engkau?" tanya Rasulullah"Orang-orang yang kikir," jawabnya"Apa yang menyita pekerjaanmu?" tanya Rasulullah."Majelis orang-orang alim," jawabnya."Bagaimana cara engkau makan?" Tanya Rasulullah"Dengan tangan kiriku dan jari-jemariku," jawabnya"Di mana engkau mencari tempat berteduh untuk anak anakmu di waktu panas?" tanya Rasulullah"Di bawah kuku manusia," jawab iblis"Berapa kebutuhan yang pernah engkau minta kepada Tuhamnu?" tanya Rasulullah."Sepuluh macam," jawabnya"Apa saja itu wahai makhluk terkutuk?" tanya RasulullahIblis pun menjawabnya, "Saya memintaNya agar saya bisa berserikat dengan anak-cucu Adam dalam harta kekayaan dan anak-anak mereka. Akhirnya Tuhan mengizinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah:"Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka." (Q.s. al Isra': 64).
Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari setan ketika bersetubuh dengan istrinya, maka setan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku. Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya. Itulah maksud firman Allah:“Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki." (Q.s. al Isra': 64).
Saya memohon kepada Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Saya memohon agar saya punya al-Qur'an, maka syair adalah al-Qur'anku. Saya memohon agar saya punya adzan, maka terompet adalah panggilan adzanku. Saya memohon kepadaNya agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya memiliki teman-teman yang menolongku, maka kelompok al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku. Dan saya memohon agar saya mendapatkan teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfakkan harta kekayaannya untuk kemaksiatan adalah teman dekatku. Ia kemudian membaca firman Allah, “Sesungguhnya pemboros pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.s. al Isra': 27)."Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Andaikan tidak setiap apa yang engkau ucapkan itu didukung oleh ayat-ayat dari Kitab Allah tentu aku tidak akan membenarkanmu."Lalu iblis berkata lagi, "Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam, sementara mereka tidak bisa melihatku.
Kemudian Allah menjadikan aku bisa mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku bisa berjalan ke mana pun sesuai kemauan diriku dan dengan cara bagaimana pun. Kalau saya mau dalam sesaat pun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku, 'Engkau bisa melakukan apa saja yang kau minta.' Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari Kiamat. Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada orang yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari Kiamat.Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Atamah (Isya'). Andalkan tidak karenanya tentu manusia tidak akan tidur lebih dahulu sebelum menjalankan shalat. Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan (ibadah) dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamerkan di tengah-tengah manusia, sehingga semua manusia tahu.
Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahalanya. Sehingga yang tersisa hanya satu pahala. Sebab setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala. Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal, dimana ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang berada di majelis pengajian dan ketika khathib sedang berkhuthbah. Sehingga mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikit pun untuk selamanya.Setiap kali ada perempuan keluar mesti ada setan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi kepada orang-orang yang melihatnya. Kedua setan itu kemudian berkata kepadanya, 'Keluarkan tanganmu.' Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya.Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak bisa menyesatkan sedikit pun. Akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi.
Andaikan saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak membiarkan segelintir manusia pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan dua kalimat syahadat, 'Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya.' Tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak untuk memberikan hidayah sedikit pun kepada siapa saja. Akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanat dari Tuhan. Andaikan engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang kafir pun di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai argumentasi (hujjah) Tuhan terhadap makhluk-Nya. Sementara saya hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah menjadi orang celaka.
Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya."Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah:"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat Yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." (Q.s. Hud: 118 9).
Kemudian beliau melanjutkan dengan firman Allah yang lain:"Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku." (Q.s. al Ahzab: 38).
Lantas Rasulullah saw. berkata lagi kepada iblis, "Wahai Abu Murrah (iblis), apakah engkau masih mungkin bertobat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjaminmu masuk surga.”Ia menjawab, "Wahai Rasulullah, ketentuan telah memutuskan dan Qalam pun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari kiamat nanti. Maka Mahasuci Tuhan Yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan khatib para penduduk surga. Dia telah memilih dan mengkhususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang celaka dan khatib para penduduk neraka. Saya adalah makhluk yang celaka lagi terusir.
Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu, dan saya mengatakan sejujurnya."Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, awal dan akhir, dhahir dan bathin. Dan semoga shalawat dan salam sejahtera tetap diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sehabatnya serta para Utusan dan para Nabi.
---(ooo)---
Syeikh Muhyiddin Ibnu 'Araby
Rabu, 16 Januari 2008
Cintaku Setipis Bulu Alis
Bismillahirrahmanirahim.
Cerita ini terinspirasi dari seorang teman, cukup memukau pribadinya, aku salut sama kamu prent, caramu menjalin silaturahmi dengan sesama kadang gak bisa diterima dengan akal, khususnya bergaul dengan mahluk Allah yang halus perawainya yaitu wanita, mereka memang lemah tapi sebenarnya sangat kuat. Aku nilai sih jahat banget mengatakan itu, cuma ya begitulah janji, harus ditepati, perjanjian dengan Tuhan lebih utama, tapi syukurlah akhirnya Mulya bisa mengambil hikmah, terima kasih juga buat Mulya yang mau meluangkan waktu untuk share, semoga sukses selalu buat gadis yang bernama lengkap Putri Kamulyan Restu, pesanku cuma satu terus beribadah ya, jadilah yang tercantik di surga jangan cuma diangkasa, denger-denger udah gak jadi Pramugari ya???
****
Masih berdiri tenang didepan Salaf, mata Mulya tajam memandang seakan menerobos alam fikirannya, Mulya ingat hari ini adalah pertemuan mereka, sekaligus awal dari perpisahan jarak antara mereka yang cukup jauh dan lama, Basoka (singkatan:Bandara Soekarno Hatta) adalah suatu tempat yang menjadi saksi bisu perpisahan mereka, mungkin hukumnya wajib dimasukkan dalam album kelabu.
“rupanya telponku kemarin gak sia-sia, kau datang tepati janjimu dengan memakai jilbab yang aku sarankan” ucap Salaf seketika.
Mulya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, jilbab warna hijau muda memang sangat cocok dengan kulit Mulya yang kuning langsat, leher jenjangnya tampak sopan terbalut kain yang ada pernik-pernik perak dibelakangnya, kebiasaan tersenyum dalam segala situasi membuat kecantikannya tambah beberapa kilo.
“sekali pun aku gak pernah berfikir kamu berbohong, sejak kita kenal, kamu gak pernah sekalipun memupuskan harapanku” lanjutnya, mata Salaf memalingkan pandangan dari Mulya, antrian orang masuk keruang executive lounge bandara lebih menarik daripada mempermasalahkan kecantikan Mulya, Salaf tak mau jika perasaan sucinya terkotori rayuan syaitan.
Angin kencang membelai lembut menyibakkan ujung kain yang terbentuk atas keanggunan gadis berwajah lembut, sekarang makin sipitkan mata yang tak mau berkedip, mulutnya seakan mengucapkan kata tapi tak mampu bicara, telapak tangannya saling tumpuk menyilang lambang kesopanan orang-orang jawa untuk berhadapan dengan orang yang disayangi maupun dihormati.
“hari ini cerah, aku gak tau ada rencana apa Allah untuk diriku, sejak semalam aku gak bisa tidur, setelah shalat Tahajjud aku lantunkan ayat Al Qur’an sampai menjelang fajar” ucap Mulya sedikit tersendat.
“Yakin berangkat ke Banjarmasin, mas? Alasan apa yang menguatkan untuk meninggalkan Jakarta? mas anggap Mulya apa selama ini? Apa Mulya menjadi pengganggu? Mulya semakin tidak mengerti dengan sikapmu, mas tahu perasaanku tapi akhirnya mas juga yang menguburkan cin…ta… itu” ucap tertatih-tatih dibarengi hembusan nafas yang cukup panjang guna menimbulkan rasa plong dihati. Tapi tidak dalam kenyataannya, masih ada duri yang menancap didadanya, masih terasa sesak.
Berdesir merana hati seakan menggugurkan bunga-bunga cinta yang terlanjur bersemi ditaman kalbu, harapan yang dulu pernah terbesit akan yakin terbalaskan cinta Salaf, kini tenggelam sebelum berlabuh ke dermaga tujuan. Sejak bertemu pandangan pertama lah yang menggelantungi fikiran Mulya.
Salaf adalah seorang lelaki yang tak mudah mengatakan cinta, pemuda yang taat beribadah itu membuat partikel terkecil dalam pembuluh darah Mulya mengetok palu memutuskan untuk bersimpati kepada Salaf, ditambah perhatian yang lebih membuat hati Mulya terbang melayang ke surga. Hari ini adalah hari yang na’as ketika dalam peraduan dua insan salah satunya dianggap tak bersambut.
“aku gak mungkin berdiri di tiang yang kuyakin tak pernah ada, meskipun aku selalu merindukannya” batin Mulya, sekejap matanya terpejam dan tak lama terbuka lagi.
“sebelum mas pergi, sudikah jawab pertanyaanku dengan jujur?” pinta Mulya dengan suara pelan. Seketika Salaf mengangguk tanda setuju.
“apa mas mencintai Mulya?”
“iya…aku mencintaimu” jawab Salaf.
“aku bahagia mendengarnya, seberapa besar cinta mas? Kenapa mas malah memilih pergi jauh dari Mulya?”
“cintaku kepada Mulya tak sebesar kekaguman seorang nelayan memandang luasnya lautan, tak setebal rasa bangga Gajah Mada mencintai Nusantara, cintaku hanya setipis bulu alis yang kamu punya, maafkan aku” tegas dan lugas Salaf mengutarakan perasaannya.
Setetes air tiba-tiba keluar dari mata indah Mulya yang tertutup, dibiarkannya mengalir dipipi, tak ada niat untuk menghapusnya. Betapa ia tak percaya seorang pangeran yang sering muncul dalam mimpi hanya segitu besarnya rasa trisno (jawa:suka) kepadanya. Tak pernah terbayangkan rasa sakit yang bergejolak dalam batinnya, mungkin hatinya seolah dicacah-cacah dengan belati yang ketul (jawa:tumpul). Merajut kesedihan apakah mungkin bakal berkesudahan secara mudah, apakah ini yang ditakdirkan Allah pada hambanya yang hina, begitu cinta ada didepan mata kenapa Kau menjauhkan dari dekapan, merpati yang terlanjur sayang dengan tuannya bisa dipastikan kembali dalam sangkar yang dicintainya. Tapi Salaf bukan merpati, dia seorang hamba Allah yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab. Mungkin ini awal dari kehidupan mereka, awal dari kebahagian batin akan dicoba dengan beling-beling (baca:pecahan kaca) yang berserakan dibawah alas kakinya. Justru beling itulah nantinya yang akan menjadi hikmah luar biasa. Bismillah…
“aku pergi untuk memenuhi janji, janji kepada Allah, aku ingin sedikit mewujudkan rasa syukurku kepadaNya, pak Kyai Fahrur menyarankan untuk menjalankan puasa Dala’il (arti:puasa yang dilakukan setiap hari kecuali tasyrik dalam jangka waktu tertentu atau seumur hidup bagi kalangan sufi dengan catatan telah mendapat ijazah dari Ulama), sebagai tempat konsentrasi ibadah aku memilih Martapura, cinta kepada Allah hukumnya wajib…Mulya, cintaku kepadaNya melebihi segala-galanya” amat tegas penjelasan Salaf, bertambah deras air mata yang jatuh dipipi Mulya mendengar penjelasan itu.
“apa janji itu gak bisa dipenuhi dijakarta?” kenapa harus jauh dari keluarga dan ju..ga…Mulya…???” tanya Mulya dan tiba-tiba bibirnya tersenyum menandakan sedikit lega serta bangga, bangga kepada sosok pemuda yang dicintai begitu mengagumkan pribadinya. Sangat bersyukur Allah mempertemukannya dengan pemuda yang tak hanya tampan tetapi juga memiliki religi yang kuat.
Tangan Mulya menyambut sapu tangan yang sejak tadi diulurkan Salaf, mulai menghapus sedikit demi sedikit linangan air mata, Maha Suci Allah yang telah menciptakan wanita dengan keunikannya, suka dan duka susah dibedakan, keduanya sering ditandai dengan isakan tangis dan derai airmata, tak berapa lama bertambah mengembang senyum gadis cantik itu untuk mulai membuka mata hati menyadari itu semua.
“mungkin dijakarta sulit konsentrasi, disamping itu aku juga membantu dakwah paman Mudasir disana, aku perlu kekhusu’kan Mulya, selama 5 tahun kita bakal terpisah luasnya lautan, jika Allah mengijinkan kita bertemu lagi, aku ingin Mulya jadi pendampingku untuk berjuang dijalan Allah, mau kan jadi istriku??” ajakan Salaf merubah harapan cinta Mulya yang semula sirna kini kembali terbit, alasan Salaf yang begitu bijaksana membuat hati Mulya kembali menampakkan otot-otot kuat, memandang kehidupan cerah jika sabar menunggu 5 tahun kedepan. Amin…
“tidak perlu dijawab mau atau gak menjadi istri mas, Mulya rasa mas sudah bisa menebak jawabannya, Mulya bangga dengan mas, ketika pemuda sekarang bersahabat akan gemerlapnya dunia dengan sibuk mengumpulkan harta tapi mas memilih dekat kepada Allah dengan sibuk mengumpulkan pahala, semoga Allah mengijabahi (arti:mengabulkan) niat tulus mas, Mulya adalah hamba yang tak sempurna, tak berhak juga menghalangi janji mas kepada Allah, Mulya ikhlas berpisah selama 5 tahun, Mulya akan sabar menunggu” jawab gadis jelita yang mempunyai tinggi 170 cm itu.
Suara riuh ramai orang berlalu lalang diarea Basoka tak menyurutkan pertemuan mengharukan dua insan, seandainya saling adu pandang mereka dimengerti orang-orang sekitar, mungkin suasana hati haru mendung bisa mengalahkan cerahnya awan yang menyelimuti bandara siang itu. *** cape nulisnya bersambuang aja deh ***
**** Sedikit prosa nich ****
Ketika dawai cinta dipetik oleh Sang Pembawa Berkah dari surga, mengalun indah berjuta makna, menawarkan madu yang tiada lagi tersisa, hanya cinta sejati yang menjadi tambatan luka, dua insan mencoba menggugurkan dosa-dosa, berikan kekuatan untuk menyempurnakan, Ya Allah tamparlah rayuan yang mengundang karma, jauhkanlah kami dari kesalahan sebagaimana Kau mejauhkan antara Timur dan Barat, basuhkanlah nurani kami yang kotor dengan air salju yang menyejukkan jiwa, BarokAllah Azza Wajalla.
ShodaqAllahul’adzim.
Cerita ini terinspirasi dari seorang teman, cukup memukau pribadinya, aku salut sama kamu prent, caramu menjalin silaturahmi dengan sesama kadang gak bisa diterima dengan akal, khususnya bergaul dengan mahluk Allah yang halus perawainya yaitu wanita, mereka memang lemah tapi sebenarnya sangat kuat. Aku nilai sih jahat banget mengatakan itu, cuma ya begitulah janji, harus ditepati, perjanjian dengan Tuhan lebih utama, tapi syukurlah akhirnya Mulya bisa mengambil hikmah, terima kasih juga buat Mulya yang mau meluangkan waktu untuk share, semoga sukses selalu buat gadis yang bernama lengkap Putri Kamulyan Restu, pesanku cuma satu terus beribadah ya, jadilah yang tercantik di surga jangan cuma diangkasa, denger-denger udah gak jadi Pramugari ya???
****
Masih berdiri tenang didepan Salaf, mata Mulya tajam memandang seakan menerobos alam fikirannya, Mulya ingat hari ini adalah pertemuan mereka, sekaligus awal dari perpisahan jarak antara mereka yang cukup jauh dan lama, Basoka (singkatan:Bandara Soekarno Hatta) adalah suatu tempat yang menjadi saksi bisu perpisahan mereka, mungkin hukumnya wajib dimasukkan dalam album kelabu.
“rupanya telponku kemarin gak sia-sia, kau datang tepati janjimu dengan memakai jilbab yang aku sarankan” ucap Salaf seketika.
Mulya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, jilbab warna hijau muda memang sangat cocok dengan kulit Mulya yang kuning langsat, leher jenjangnya tampak sopan terbalut kain yang ada pernik-pernik perak dibelakangnya, kebiasaan tersenyum dalam segala situasi membuat kecantikannya tambah beberapa kilo.
“sekali pun aku gak pernah berfikir kamu berbohong, sejak kita kenal, kamu gak pernah sekalipun memupuskan harapanku” lanjutnya, mata Salaf memalingkan pandangan dari Mulya, antrian orang masuk keruang executive lounge bandara lebih menarik daripada mempermasalahkan kecantikan Mulya, Salaf tak mau jika perasaan sucinya terkotori rayuan syaitan.
Angin kencang membelai lembut menyibakkan ujung kain yang terbentuk atas keanggunan gadis berwajah lembut, sekarang makin sipitkan mata yang tak mau berkedip, mulutnya seakan mengucapkan kata tapi tak mampu bicara, telapak tangannya saling tumpuk menyilang lambang kesopanan orang-orang jawa untuk berhadapan dengan orang yang disayangi maupun dihormati.
“hari ini cerah, aku gak tau ada rencana apa Allah untuk diriku, sejak semalam aku gak bisa tidur, setelah shalat Tahajjud aku lantunkan ayat Al Qur’an sampai menjelang fajar” ucap Mulya sedikit tersendat.
“Yakin berangkat ke Banjarmasin, mas? Alasan apa yang menguatkan untuk meninggalkan Jakarta? mas anggap Mulya apa selama ini? Apa Mulya menjadi pengganggu? Mulya semakin tidak mengerti dengan sikapmu, mas tahu perasaanku tapi akhirnya mas juga yang menguburkan cin…ta… itu” ucap tertatih-tatih dibarengi hembusan nafas yang cukup panjang guna menimbulkan rasa plong dihati. Tapi tidak dalam kenyataannya, masih ada duri yang menancap didadanya, masih terasa sesak.
Berdesir merana hati seakan menggugurkan bunga-bunga cinta yang terlanjur bersemi ditaman kalbu, harapan yang dulu pernah terbesit akan yakin terbalaskan cinta Salaf, kini tenggelam sebelum berlabuh ke dermaga tujuan. Sejak bertemu pandangan pertama lah yang menggelantungi fikiran Mulya.
Salaf adalah seorang lelaki yang tak mudah mengatakan cinta, pemuda yang taat beribadah itu membuat partikel terkecil dalam pembuluh darah Mulya mengetok palu memutuskan untuk bersimpati kepada Salaf, ditambah perhatian yang lebih membuat hati Mulya terbang melayang ke surga. Hari ini adalah hari yang na’as ketika dalam peraduan dua insan salah satunya dianggap tak bersambut.
“aku gak mungkin berdiri di tiang yang kuyakin tak pernah ada, meskipun aku selalu merindukannya” batin Mulya, sekejap matanya terpejam dan tak lama terbuka lagi.
“sebelum mas pergi, sudikah jawab pertanyaanku dengan jujur?” pinta Mulya dengan suara pelan. Seketika Salaf mengangguk tanda setuju.
“apa mas mencintai Mulya?”
“iya…aku mencintaimu” jawab Salaf.
“aku bahagia mendengarnya, seberapa besar cinta mas? Kenapa mas malah memilih pergi jauh dari Mulya?”
“cintaku kepada Mulya tak sebesar kekaguman seorang nelayan memandang luasnya lautan, tak setebal rasa bangga Gajah Mada mencintai Nusantara, cintaku hanya setipis bulu alis yang kamu punya, maafkan aku” tegas dan lugas Salaf mengutarakan perasaannya.
Setetes air tiba-tiba keluar dari mata indah Mulya yang tertutup, dibiarkannya mengalir dipipi, tak ada niat untuk menghapusnya. Betapa ia tak percaya seorang pangeran yang sering muncul dalam mimpi hanya segitu besarnya rasa trisno (jawa:suka) kepadanya. Tak pernah terbayangkan rasa sakit yang bergejolak dalam batinnya, mungkin hatinya seolah dicacah-cacah dengan belati yang ketul (jawa:tumpul). Merajut kesedihan apakah mungkin bakal berkesudahan secara mudah, apakah ini yang ditakdirkan Allah pada hambanya yang hina, begitu cinta ada didepan mata kenapa Kau menjauhkan dari dekapan, merpati yang terlanjur sayang dengan tuannya bisa dipastikan kembali dalam sangkar yang dicintainya. Tapi Salaf bukan merpati, dia seorang hamba Allah yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab. Mungkin ini awal dari kehidupan mereka, awal dari kebahagian batin akan dicoba dengan beling-beling (baca:pecahan kaca) yang berserakan dibawah alas kakinya. Justru beling itulah nantinya yang akan menjadi hikmah luar biasa. Bismillah…
“aku pergi untuk memenuhi janji, janji kepada Allah, aku ingin sedikit mewujudkan rasa syukurku kepadaNya, pak Kyai Fahrur menyarankan untuk menjalankan puasa Dala’il (arti:puasa yang dilakukan setiap hari kecuali tasyrik dalam jangka waktu tertentu atau seumur hidup bagi kalangan sufi dengan catatan telah mendapat ijazah dari Ulama), sebagai tempat konsentrasi ibadah aku memilih Martapura, cinta kepada Allah hukumnya wajib…Mulya, cintaku kepadaNya melebihi segala-galanya” amat tegas penjelasan Salaf, bertambah deras air mata yang jatuh dipipi Mulya mendengar penjelasan itu.
“apa janji itu gak bisa dipenuhi dijakarta?” kenapa harus jauh dari keluarga dan ju..ga…Mulya…???” tanya Mulya dan tiba-tiba bibirnya tersenyum menandakan sedikit lega serta bangga, bangga kepada sosok pemuda yang dicintai begitu mengagumkan pribadinya. Sangat bersyukur Allah mempertemukannya dengan pemuda yang tak hanya tampan tetapi juga memiliki religi yang kuat.
Tangan Mulya menyambut sapu tangan yang sejak tadi diulurkan Salaf, mulai menghapus sedikit demi sedikit linangan air mata, Maha Suci Allah yang telah menciptakan wanita dengan keunikannya, suka dan duka susah dibedakan, keduanya sering ditandai dengan isakan tangis dan derai airmata, tak berapa lama bertambah mengembang senyum gadis cantik itu untuk mulai membuka mata hati menyadari itu semua.
“mungkin dijakarta sulit konsentrasi, disamping itu aku juga membantu dakwah paman Mudasir disana, aku perlu kekhusu’kan Mulya, selama 5 tahun kita bakal terpisah luasnya lautan, jika Allah mengijinkan kita bertemu lagi, aku ingin Mulya jadi pendampingku untuk berjuang dijalan Allah, mau kan jadi istriku??” ajakan Salaf merubah harapan cinta Mulya yang semula sirna kini kembali terbit, alasan Salaf yang begitu bijaksana membuat hati Mulya kembali menampakkan otot-otot kuat, memandang kehidupan cerah jika sabar menunggu 5 tahun kedepan. Amin…
“tidak perlu dijawab mau atau gak menjadi istri mas, Mulya rasa mas sudah bisa menebak jawabannya, Mulya bangga dengan mas, ketika pemuda sekarang bersahabat akan gemerlapnya dunia dengan sibuk mengumpulkan harta tapi mas memilih dekat kepada Allah dengan sibuk mengumpulkan pahala, semoga Allah mengijabahi (arti:mengabulkan) niat tulus mas, Mulya adalah hamba yang tak sempurna, tak berhak juga menghalangi janji mas kepada Allah, Mulya ikhlas berpisah selama 5 tahun, Mulya akan sabar menunggu” jawab gadis jelita yang mempunyai tinggi 170 cm itu.
Suara riuh ramai orang berlalu lalang diarea Basoka tak menyurutkan pertemuan mengharukan dua insan, seandainya saling adu pandang mereka dimengerti orang-orang sekitar, mungkin suasana hati haru mendung bisa mengalahkan cerahnya awan yang menyelimuti bandara siang itu. *** cape nulisnya bersambuang aja deh ***
**** Sedikit prosa nich ****
Ketika dawai cinta dipetik oleh Sang Pembawa Berkah dari surga, mengalun indah berjuta makna, menawarkan madu yang tiada lagi tersisa, hanya cinta sejati yang menjadi tambatan luka, dua insan mencoba menggugurkan dosa-dosa, berikan kekuatan untuk menyempurnakan, Ya Allah tamparlah rayuan yang mengundang karma, jauhkanlah kami dari kesalahan sebagaimana Kau mejauhkan antara Timur dan Barat, basuhkanlah nurani kami yang kotor dengan air salju yang menyejukkan jiwa, BarokAllah Azza Wajalla.
ShodaqAllahul’adzim.
Kamis, 10 Januari 2008
KeberkahanMu Adalah Cita-citaku
Aku tak peduli sekeliling
Berjalan ikuti angin berhembus didepanku
Mata terus menetes air ketabahan
Menguap ketika jatuh ke bumi
Ingin rasanya kuhabiskan
Bersumpah tak akan bawanya di surga
Aku enggan menyapa yang terlewat
Sedikit berlari menjauhi semua
Masih…
Kubiarkan peluh bercampur debu
Tampak lusuh pandangan mereka
“Sempurnakan ibadah wahai hambaKu”
Atas nama Allah dan Rasul-rasulNya
Emoh menitipkannya
Berlari kencang mengantongi pahala
Kuinjak duri-duri kehormatan dunia
Hingga darah hitam mengucur
Alhamdulillah masih bisa bersyukur
Menjelang petang beban masih berat
Harta, tahta, dan wanita
Pergilah…
Biarkan aku sendiri
Aku tak kuat lagi berlari
Kau tarik keatas sehingga tersentak
Kau cabik-cabik kutahan nafas
Kau rontokkan ulu hatiku
Kau telanjangi aku tanpa tedeng aling-aling
Seakan dunia berwarna orange
Apakah itu neraka
Apakah itu surga
Apakah hanya mataku yang berbohong
Ya Allah…
Aku kembali kepadamu aku ikhlas
Aku berserah kepadamu aku ridho
Aku masih dalam keadaan hampa
Jadikan aku sebagai insan sejati
Jadikan sajadah sebagai alas sujudku
Ya Allah…
KeberkahanMu atas ibadahku adalah cita-citaku
Ijinkan aku terus bermunajat
Sampai hembusan terakhir
Ya Rabbi…
Berikan kekuatan bagi hambamu
Untuk terus berpuasa
Sampai mataku tertutup
Untuk melihat sinar mentari
Sampai mati
ShodaqAllahul ‘adzim.
Berjalan ikuti angin berhembus didepanku
Mata terus menetes air ketabahan
Menguap ketika jatuh ke bumi
Ingin rasanya kuhabiskan
Bersumpah tak akan bawanya di surga
Aku enggan menyapa yang terlewat
Sedikit berlari menjauhi semua
Masih…
Kubiarkan peluh bercampur debu
Tampak lusuh pandangan mereka
“Sempurnakan ibadah wahai hambaKu”
Atas nama Allah dan Rasul-rasulNya
Emoh menitipkannya
Berlari kencang mengantongi pahala
Kuinjak duri-duri kehormatan dunia
Hingga darah hitam mengucur
Alhamdulillah masih bisa bersyukur
Menjelang petang beban masih berat
Harta, tahta, dan wanita
Pergilah…
Biarkan aku sendiri
Aku tak kuat lagi berlari
Kau tarik keatas sehingga tersentak
Kau cabik-cabik kutahan nafas
Kau rontokkan ulu hatiku
Kau telanjangi aku tanpa tedeng aling-aling
Seakan dunia berwarna orange
Apakah itu neraka
Apakah itu surga
Apakah hanya mataku yang berbohong
Ya Allah…
Aku kembali kepadamu aku ikhlas
Aku berserah kepadamu aku ridho
Aku masih dalam keadaan hampa
Jadikan aku sebagai insan sejati
Jadikan sajadah sebagai alas sujudku
Ya Allah…
KeberkahanMu atas ibadahku adalah cita-citaku
Ijinkan aku terus bermunajat
Sampai hembusan terakhir
Ya Rabbi…
Berikan kekuatan bagi hambamu
Untuk terus berpuasa
Sampai mataku tertutup
Untuk melihat sinar mentari
Sampai mati
ShodaqAllahul ‘adzim.
Jumat, 04 Januari 2008
Ibu Dan Cita-Cita
Duduk termenung dalam sebuah harap, ditemani beberapa tangkai bunga matahari masih terhias didalam vas bunga keramik yang terukir sepasang bocah kecil, ibu setengah baya menimang-nimang seorang bayi yang akan menjadi kebanggaannya dimasa depan. Remang remang cahaya lampu ublik tak menyurutkan semangat do’anya. Gelegar guntur sesekali muncul membuat miris hati yang mendengarnya. “Astaghfirullahal ‘adzim” ucapnya sambil mendekap kepala bayi yang masih sedikit ditumbuhi rambut itu.
Lambat laun hatinya semakin tegar menghadapi bunyi yang menggetarkan kaca jendela tepat beliau duduk. “aku tak akan pernah berhenti menimangmu anakku, sebelum kau tertidur pulas, kau harus tetap tegar itu hanya halilintar, kau tak boleh takut kecuali kepada Allah” katanya sambil tersenyum menatap bayinya, berbalas pandang manja bayi tak berdosa itu seolah mengerti apa yang beliau maksut, nyaman dalam pangkuan ibunya, bayi itu tak menangis seperti bayi kebanyakan ketika kaget mendengar suara keras.
Sudah terlalu lama beliau mendendangkan Shalawat Badar, tak terasa sampai gernangan air telah membanjiri halaman rumah yang lebih pendek dari jalan raya. Tiga pohon jambu delima tak mampu mempertahankan daun dan ranting-rantingnya yang telah rapuh, hanya sekejap angin membawanya terbang kesana kemari. Sore itu bertambah sunyi ketika hujan deras menyamarkan suara adzan Maghrib yang terdengar kejauhan dari surau. Tak ada pengeras suara karena sejak tadi siang listrik di desa Donorojo padam.
****
Butiran air tiba-tiba berlinang dimatanya, masih teringat pada saat dan situasi yang sama setahun kemarin mendengar kabar dari seberang sana. Sang suami tercinta mendahului menghadap Sang Maha Khaliq, tertembak tepat dijantungnya oleh pemberontak dalam sebuah misi mengungkap kejahatan perdagangan wanita yang melibatkan pejabat setempat. Sedikit isakan tangis membuat tanya si bayi ada apa dengan ibu.
“anakku…maukah kau bersumpah demi ibu, demi cita-cita besar ibu, ibu tak pernah menyimpan dendam, tapi ibu tidak terima jika kejahatan masih menodai hati yang damai” ucapnya terbata-bata sambil menghela nafas panjang.
Lambat laun hatinya semakin tegar menghadapi bunyi yang menggetarkan kaca jendela tepat beliau duduk. “aku tak akan pernah berhenti menimangmu anakku, sebelum kau tertidur pulas, kau harus tetap tegar itu hanya halilintar, kau tak boleh takut kecuali kepada Allah” katanya sambil tersenyum menatap bayinya, berbalas pandang manja bayi tak berdosa itu seolah mengerti apa yang beliau maksut, nyaman dalam pangkuan ibunya, bayi itu tak menangis seperti bayi kebanyakan ketika kaget mendengar suara keras.
Sudah terlalu lama beliau mendendangkan Shalawat Badar, tak terasa sampai gernangan air telah membanjiri halaman rumah yang lebih pendek dari jalan raya. Tiga pohon jambu delima tak mampu mempertahankan daun dan ranting-rantingnya yang telah rapuh, hanya sekejap angin membawanya terbang kesana kemari. Sore itu bertambah sunyi ketika hujan deras menyamarkan suara adzan Maghrib yang terdengar kejauhan dari surau. Tak ada pengeras suara karena sejak tadi siang listrik di desa Donorojo padam.
****
Butiran air tiba-tiba berlinang dimatanya, masih teringat pada saat dan situasi yang sama setahun kemarin mendengar kabar dari seberang sana. Sang suami tercinta mendahului menghadap Sang Maha Khaliq, tertembak tepat dijantungnya oleh pemberontak dalam sebuah misi mengungkap kejahatan perdagangan wanita yang melibatkan pejabat setempat. Sedikit isakan tangis membuat tanya si bayi ada apa dengan ibu.
“anakku…maukah kau bersumpah demi ibu, demi cita-cita besar ibu, ibu tak pernah menyimpan dendam, tapi ibu tidak terima jika kejahatan masih menodai hati yang damai” ucapnya terbata-bata sambil menghela nafas panjang.
“atas nama Tuhan dan RasulNya, ibu bersumpah akan didik serta bekali dirimu dengan akhlaq mulia dan berjiwa ksatria, seperti pesan terakhir mendiang ayahmu, ibu ingin jika kau besar nanti teruslah berpuasa sebelum kau raih segalanya, jangan bersenang-senang dulu sampai kau temukan kedamaian” sumpah tulus dari dalam hati yang bergejolak, menawarkan tantangan yang membuat para syaitan enggan mendekati sang jabang bayi, bersedekap para malaikat mendo’akan terkabulnya sumpah seorang ibu. Secara bersamaan dua kilatan petir membelah langit yang kelam ikut mengamininya… ***bersambung*** (Novel : Dalam Darahku Mengalir Cinta)
Langganan:
Postingan (Atom)